Oleh: Satria Tesa, S.H (Direktur Madisa Institut)
Reputasi besar negara hukum (rechtsstaat) secara teoritik termahsyurkan dalam wacana juga yang di “obral” para penguasa. Konsepsi indah dalam “tulisan” buku dan jurnal ketatanegaraan, yang sangatlah berbeda pada penerapan serta implikasinya. Dalam reputasi kesejarahannya, konsep negara berdasarkan hukum hadir sebagai kemenangan nalar kebebasan manusia yang karena sejarahnya “babak belur” dihantam otorianisme dan sistem-sistem pendahulunya. Cita-cita mulianya yang menghendaki pemulihan besar-besaran kemanusiaan, setiap saat terdistorsi penyelewengan demi penyelewengan dalam berbagai aspek. Terlupanya manusia dan nilai-nilainya dalam kebijakan publik, penegakan hukum berbanding lurus dengan tumbuh subur dan berjamurnya kejahatan, (baik kejahatan oleh pemangku kebijakan juga kejahatan yang timbul pada subjek kebijakan) menguggat sakralitas, pilar rechtstaat yang dicetus A.V. Dicey seperti, supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), terjaminya hak-hak manusia oleh undang-undang dan adanya peradilan yang fair digugat secara serius oleh publik diera Postmodrnisme.
Postmodrnisme tidak lagi memposisikan hukum sebagai Dewi Themis (Dewi Keadilan) yang memegang pedang dan timbangan dengan mata tertutup sebagaimana kecenderungan aliran tradisional (baca: modrn). Dewi Themis pada kenyataannya senang bermain mata dengan pedang dan timbangannya. “Ia bukan dewi yang tulus, tetapi sebaliknya culas dan pilih kasih. Atas nama timbangan (keadilan) ia ayunkan pedangnya pada kaum miskin dan minoritas yang termarjinalkan. Sidang-sidang pengadilan menjadi sandiwara dengan biaya mahal demi memberi legitimasi pada kekuasaan,” tulis Shidharta dalam bukunya Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Charles Sampford mengilustrasikan fenomena itu dengan memperkenalkan istilah disorder of law.
Pemikiran Postmodrnisme hukum merupakan perlawanan atas pemikiran kaum tradisionalis yang memposisikan hukum sebagai Dewi Themis yang memegang timbangan dan pedangnya dalam keadaan mata tertutup. Digugatnya status quo “persamaan kedudukan didepan hukum” dalam pemikiran itu dalam kenyataannya (das sein) sejatinya lebih dulu diajukan oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah yang acapkali berhadapan dengan “culas” dan “pilih kasihnya” otoritas yang mengemban fungsi pelayanan dan perlindungan masyarakat. Masyarakat ekonomi menengah kebawah merasakan “kezhaliman”, ketidakadilan dan ketimpangan akses untuk keadilan (acess to justice) begitu sangat telanjang. Hal ini selaras dengan fakta kemerosotan kepercayaan publik pada Pemerintah dan Lembaga Penegak hukum.
Kemerosotan kepercayaan masyarakat itu kemudian berbanding lurus dengan menguatnya mafia peradilan yang berdiri dari bangunan teori: lingkaran setan penegakkan hukum. Keadilan harus tegak meski langit runtuh (Fiat justitia ruat caelum) tidak lebih diksi manis “melangit” yang jauh dari bumi. Keadilan di bumi tunduk pada kuasa kekuasaan, kuasa kapital (modal) bahkan kuasa preman atau bandit. Mengenai ini, Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarki menulis bahwa kuasa oligarki “bisa membeli negara, membayar polisi, membayar jaksa, menyuap hakim dan menggerakan demonstran untuk melindungi kepentingannya.”
Ada baiknya istilah disorder of law (kerancuan hukum) diajukan. Bahwa ketika tatanan sistem kita rapuh atau membusuk (trias politica) dalam pengertian chek and balance (keserasian, keseimbangan dan hubungan saling mengawasi) antara eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak diwujudkan dan dijaga maka saling menyandra, mengunci dan melindungi (kompromi) kepentingan diantaranya tidak terelakan. Kondisi itu mengilhami upaya distorsi atau penyimpangan kepentingan masyrakat, terabaikannya hak-hak publik, sampai pemberangusan kehidupan masyarakat melalui klaim “alat-alat” negara dan tangan-tangan pemerintah. Kris Wijoyo Soepandji dalam bukunya Ilmu Negara Perspektif Geopolitik Masa Kini menggambarkan secara dramatis, kondisi tersebut yang memunculkan penumpang gelap. Senada dengan Kris, AM. Hendropriyono mengatakan bahwa, ketidakmampuan Pemerintah menjaga wibawahnya selalu menjadi tempat lahir, tumbuh dan berkembangnya premanisme dan banditisme. Preman dan bandit inilah yang merasa posisinya lebih tinggi dan berkuasa dari negara.
Alhasil hukum yang terpampang sebagai “panglima” kehidupan bernegara dan bermasyarakat meminjam istilah Kuntowibisono memasuki titik terendah dari apa yang kita sebut hilangnya ruhani hukum, yang membuat kehidupan hukum tidak imajinatif, semrawut dan kumuh yang menyulut kehancuran visi misi hukum yang mengarah pada kondisi kehancuran supremasi hukum. Julia Kristeva seperti dikutip Rachmad Safaat dalam bukunya Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menguak istilah abjek hukum untuk mengkonfirmasi kondisi tersebut. Julia menulis: “Suatu kondisi atau keadaan ketika setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk mempermainkan hukum. Dari keadaan itu jelas ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada yang tidak punya malu dan ada apa saja didalamnya.”
Hukum kemudian tidak punya kemampuan menata dirinya sendiri (Salman dan Susanto). Alih-alih menata tujuannya merumuskan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Dikotomi kelas-kelas sosial dalam masyarakat tidak hanya terikat pada akses ekonomi, melainkan akses pada “perlindungan hukum”. Karenanya, menjadi keniscayaan kelompok masyarakat rentan dan masyarakat ekonomi menengah kebawah serta masyarakat pinggiran kesusahan mengakses keadilan hukum. Hingga jadi santapan kezhaliman hukum itu sendiri.
Kuasa Kejahatan Kerah Putih
Republik Indonesia mempunyai ikatan kesejarahan yang kuat dengan Belanda. Ikatan kesejarahan yang kuat terbangun erat karena negeri ini merupakan “bekas” kolonialisme Belanda yang berlangsung selama berabad-abad. Dalam kenyataan itulah memori tentang kongsi (perseketuan) dagang yang bernama Vereenigde Oostinddische Compagnie (VOC) atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur, yang didirikan 20 Maret 1602 dan bubar pada 31 Desember 1799 memiliki ikatan kesejarahan yang kuat dengan republik ini. Tidak berlebihan wajah asli dari kolonialisme Belanda sejak 1602 berhingga 1799 diwujudkan dalam corak, tubuh, dan karakteristik VOC. VOC merupakan bagian dari skenario penjajahan menggunakan pemain pengganti. “VOC iyalah negara dalam negara yang selama 197 tahun mengkololonialisasi “pendahulu” NKRI.
Sepintas sejarah VOC diajukan dalam kepentingan mengajukan “bahan sejarah” dari kolonialisme yang dapat dipelajari negara ini, bahwa VOC yang sangat digdaya selama ratusan tahun itu bubar dan ditutup karena kejahatan kerah putih yang terlembaga dalam internalnya sendiri, yakni korupsi. Negara ini potensial runtuh karena korupsi.
Kejahatan kerah putih (white collar crime) atau kejahatan berdasi unsur terpentingnya, kedudukan atau jabatan. Acapkali disebut kejahatan jabatan (occupational crime), yang merupakan kejahatan yang terjadi dilembaga pemerintahan, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang atau individu. Hazel Croal yang menemukan istilah tersebut mendevinisikan kejahatan kerah putih sebagai perwujudan penyalahgunaan jabatan yang legitim oleh hukum. Kejahatan jenis ini, sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa memproduksi hukum dan keputusan-keputusan politik. Secara konseptual dan metode penegakan hukum, kejahatan kerah putih berbeda jauh dengan kejahatan jalanan (street crime). Biasanya kejahatan jalanan ditegakkan dengan “luarbiasa”, sedang kejahatan kerah putih “biasa saja”.
Korupsi (corruption), Kolusi (collusion) dan Nepotisme (nepotism) atau KKN adalah kejahatan kerah putih. Kejaahatan jenis ini berjamur dalam setiap lembaga atau instansi penentu kebijakan. KKN seolah-olah “arah baru” membangun negeri ini. Sebagai contoh, bahwa korupsi di negeri ini benar-benar menghawatirkan. Ia bak fenomena gunung es yang setiap saat bisa mencair. Hanya presiden dan wakil presiden saja yang nampak kebal dari korupsi, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa dan Petinggi Polisi, Jaksa Hakim, Auditur BPK dalam sejarah negeri ini silih berganti mendekam dalam jeruji besi (baca, oknum). Tidak ada lagi lembaga yang bersih dari korupsi petingginya. Sedang objek korupsi tidak lagi mengenal medan yang harus dijauhkan dari korupsi. Korupsi bansos diera pendemi, korupsi bantuan Rumah Ibadah, Korupsi untuk fakir miskin merupakan contoh yang mengerikan. Koruptornya sekaliber Menteri, hingga Kepala Dinas yang menngunakan bantuan bencana kebakaran, untuk dikorupsi, seperti yang terjadi di Kabupaten Bima, (lihat korupsi bansos kebencanaan di Kabupaten Bima yang Kepala Dinas Sosialnya Tersanka, oleh Kejari Bima, namun tidak ditahan).
Inskonsitensi penegakan hukum, rendahnya keteladanan dari pimpinan atau ikan selalu busuk dimulai kepala, keserakahan, “korupsi politik” dan penegakan hukum korupsi “by orderan”, atau berbisnis penegakan hukum merupakan berbagai variabel yang memupuk korupsi. Negara tidak benar serius dan autentik menegakan hukm atas korupsi atau kejahatan kerah putih. Wajar dalam data-data korupsi menunjukan kita kalah perang melawan korupsi. Dilansir dari katadata.co.id, (2022) bahwa KPK telah menangani korupsi sebanyak 1.194 kasus dimulai tahun 2004 hingga 2021. Penyuapan merupakan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK yakni, 775 kasus, disusul korupsi pengadaan barang dan jasa sebanyak 266 kasus. KPK juga mencatat bahwa 455 kasus terjadi di Pemerintah Kabupaten/Kota, disusul korupsi pada instansi kementerian 395 kasus dan Pemerintah Provinsi sebanyak 158 kasus.
Menurut hemat penulis, pelaku kejahatan kerah putih adalah preman atau bandit politik. Sedang penyokong atau pelindung kejahatan kerah putih adalah kolonial. Kolonial dalam perspektif kekuasaan mencampuradukan public police (kebijakan publik) dengan kepentingan KKN. Adalah sepatutnya ini diajukan, merujuk pendapat AM. Hendropriyono, yang mengatakan bahwa: ketidakmapuan Pemerintah menjaga wibawahnya tempat subur bertumbuhnya premanisme dan banditisme. Bahwa Preman dan Bandit politik tersebut itu bisa sok berkuasa melampaui negara pada satu sisi, sedang pada sisi lain merampas kewenangan negara menjalankan pemerintahan dan penegakan hukum.
Arah Baru Pemberantasan Kejahatan Kerah Putih
Menegakan konsep negara hukum secara auatentik dan fair, menginternalisasi asas pemerintahan yang baik dan bersih, memulihkan integritas penegakan hukum, mengaktualkan tujuan negara sebagai paradigma negara memberantas kejahatan kerah putih dan ijtihad menigkatkan Indeks Prestasi Komulatif negeri ini, serta legacy politik negara menjaga wibawah harusnya jadi idiologi “semesta” pemberantasan kerah putih.
Negara ini perlu sistem yang berintegritas dan aparatur yang mengerti cara menghormati integritas untuk serius membersihkan itu. Bahwa kita semua sadar dalam perspektif manapun kejahatan kerah putih membuat surplus kekayaan pada satu sisi (pelaku dan kroni), dan meninggikan devisit kemiskinan (kesenjangan pembangunan) pada sisi lainnya. Tentu ikhtiat ini harus dimulai dari “Kepala” nya pengemban kebijakan. Jika tidak tawaran revolusioner untuk negara ini “impor” sumber daya manusia harus dilakukan. Barangkali para pengemban kebijakan publik yang diimpor bisa dan mau menyapu kejahatan kerah putih, yang meruntuhkan pilar negara hukum yang juga mengobok-obok rakyat.
-27 Mei 2022, Ditulis Untuk Menghormati Kehidupan-