Home Feature Meang, Surga yang Dijadikan Neraka

Meang, Surga yang Dijadikan Neraka

0

Lombok Barat, MEDIA – Angin sepoi-sepoi, rerumputan hijau, bukit yang menjulang, dan pantai pasir putih. Ditambah penduduk yang ramah, dan suasana pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan menjadikan siapapun nyaman ketika berkunjung.

 

Itulah pemandangan pertama yang kita temui ketika pertama kali menginjakkan kaki di Meang. Meang merupakan sebuah wilayah di Dusun Pangseng, Desa Penggantap, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

 

Media Unram berkesempatan mengunjungi “surga” tersembunyi di Lombok Barat ini, Rabu (1/2). Bersama rombongan dari senior jurnalis kompas.com, kami ke sana memakan waktu sekitar 1 jam 40 menit dari Kota Mataram menggunakan sepeda motor.

 

Namun sayang, akses jalan di sekitar Meang sangat tidak ramah, banyak bolong dan belum diaspal. Kondisi jalan ibarat buah simalakama: berdebu ketika panas, berlumpur ketika hujan. Jalan tersebut nampaknya menjadi masalah utama masyarakat setempat.

Karena jalan itulah seorang ibu bernama Harni Permata Sari (23) terpaksa melakukan proses pelahiran yang tidak layak. Ya, dia terpaksa melahirkan bayinya di jalan karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan dia dan calon buah hati menuju puskemas terdekat.

 

Peristiwa yang dialami Harni direkam dan beredar di jagat maya, dan menjadi sorotan masyarakat. Pada akhirnya bayi yang dilahirkan Harni akhirnya meninggal dunia usai dirujuk ke RSUD Praya, Lombok Tengah, Senin (21/2).

 

Dilansir dari kompas.com, Harni bukan orang pertama yang mengalami hal demikian. Salah seorang warga setempat inisial HR mengatakan, setiap masyarakat Meang sakit atau ingin melahirkan tandu adalah solusinya.

 

“Soalnya mobil ambulan ndak bisa masuk. Motor aja susah apalagi ambulan,” katanya.

 

“Surga yang dijadikan neraka” mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Meang saat ini. Keindahan alam seolah ditelan dengan ragamnya masalah.

 

Tidak hanya soal kesehatan, tetapi juga listrik, ekonomi, juga pendidikan. Akar permasalahan tersebut hanya satu, yakni akses jalan.

 

“Jagung yang kita tanam, gara-gara akses jalan yang begini, kalau hujan udah ndak bisa ke sawah,” tutur HR.

 

Lebih jauh HR mengatakan, musim hujan merupakan salah satu hal yang ditakutkan masyarakat Meang. Pasalnya, jalan yang rusak digenangi oleh air, sungai yang menjadi pembatas antara persawahan dan muara penduduk pun ikut meluap. Bahkan listrik pun kadang-kadang mati.

 

“Kalau hujan memang luar biasa perjuangan kita, misalnya sungai yang meluap, itu bisa berhari-hari dia. Mau tidak mau harus menunggu surut, kadang sampai dua atau tiga hari baru surut,” ungkap warga lain, FR.

 

FR mengisahkan, saaat sekolah dasar dirinya berangkat dari sebelum matahari keluar. “Itu pun kita nyampe waktu keluar main. Nyampe rumah juga bisa sampai asar bahkan. Kalau sekarang ada SDN 11 Buwun Emas, tapi itu sekolah musiman. Kalau hujan gak sekolah sudah, karena gurunya juga gak bisa kesini,” bebernya.

 

Bukan tanpa inisiatif, warga Meang justru sering melakukan gotong royong membenahi jalan, tapi apalah daya jika hujan turun, Tuba habis, ikan tak dapat.

 

“Sudah terlalu banyak janji, kemarin tahun 2020 jalan ini sudah diukur, katanya mau diperbaiki dan udah dianggarkan, tapi ngukur aja dikerjain, sampai sekarang gak jadi-jadi. Bukannya gak ada gotong royong, tetap gotong royong, tapi kalau hujan kan sia-sia,” saut HR

 

Bukan hanya Martabak yang dihidangkan dengan paket komplit, tetapi begitu juga Meang, dibalik keindahan surga ini, begitu dalamnya neraka yang warga Meang rasakan.   

 

Rasa kesal mungkin sudah menghantui warga Meang, namun hal tersebut tak membuat mereka surut untuk melangsungkan hidup. Berharap adalah hal yang senantiasa sudah tertanam di benak mereka, sudah banyak usaha yang mereka kerahkan untuk meminta hak mereka dipenuhi, namun sampai sekarang belum juga terpenuhi. Mereka tidak meminta lebih, mereka hanya meminta akses jalan yang memadai.

 

Tercatat sekitar 11 orang ibu sedang mengandung di Meang, Warga dengan penuh harap supaya akses jalan segera diperbaiki, sebab mereka tak lagi menginginkan ada Harni-Harni berikutnya.

 

“Sebenarnya kan masalah-masalah yang ada di Meang ini muaranya pada akses jalan yang buruk, Baik itu kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Kalau akses jalannya memadai insya allah masalah-masalah ini bisa teratasi. Kita ndak minta lebih kok, perbaiki jalan udah cukup,” tegas Fz salah seorang pemuda di Meang.

 

Sayang sekali, dengan potensi sumber daya alamnya, Meang seharusnya mampu berpartisipasi  memajukan pariwisata Ntb. Namun sampai sekarang Meang jauh dari kata diperhatikan oleh pemerintah.

 

Padahal Meang tak pernah gagal dalam hal memanjakan mata, atmosfer pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, derunya angin terdengar seperti bernyanyi untuk kita. Entah mengapa, jika hendak berkunjung ke Meang tidak dianjurkan duduk beristirahat dijalan menikmati derunya angin, sebab derunya  seolah membawa terbang jauh pikiran kita hingga tertidur.

 

rerumputan hijau dan persawahan bak Palouse, Bukit-bukit menjulang yang tak kalah jauh dari pegunungan di Negara-negara Nordik. Hamparan laut biru kehijauan dilengkapi dengan pasir putih seolah menjadi magnet bagi siapapun yang melihatnya.

Bukan hanya itu, Penduduk yang ramah, kehadiran sapi, burung yang berterbangan makin menambah kesan bahwa Meang adalah Surga bagi setiap orang yang menginginkan ketenangan.     

 

Namun semua keindahan tersebut redup, bahkan sirnah dilahap oleh ragamnya masalah. (Zhr)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version