MATARAM, MEDIA – Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022, tentang larangan pengeras suara azan. Tidak hanya itu, pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga menjadi sorotan publik usai mengibaratkan suara azan dengan suara anjing.
Terkait itu, dosen sosiologi Universitas Mataram (Unram) Doktor Saipul Hamdi turut berkomentar. Menurutnya, larangan mengeraskan suara toa di masjid atau musala relevan dengan kondisi di ibukota.
“Jakarta adalah kota plural atau kota metropolitan. Barangkali maksud menteri agama supaya suara-suara di luar bisa diatur,” katanya dalam kanal Youtube Saipul Hamdi “PULHAM” Media.
Doktor Saipul mengatakan, fungsi azan dan solawat memang menandakan waktu untuk beribadah, namun yang menjadi persoalannya adalah, setiap waktu azan terdapat semacam kontestasi masjid.
“Karena masjid di Jakarta saling berdekatan, sehingga suara azan saling bertabrakan. Ketika suara azannya bersamaan, maka suara-suara lain akan tertutup,” kata pria yang menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Sehingga, lanjutnya, hal itu menjadi keresahan masyarakat Jakarta atau masyarakat kota. Namun hal itu tidak sesuai dengan konteks perkampungan. Dia mencontohkan konteks keislaman di daerah Lombok. Menurutnya, masyarakat di Lombok merasa senang ketika mendengarkan suara azan.
“Bila perlu harus lebih besar lagi, karena Lombok adalah mayoritas islam dan azan juga menjadi kebutuhan masyarakat kampung,” ungkapnya.
Lebih jauh Direktur Islamic Culture and Society (ICS) Unram mengatakan, sebaiknya pakar hukum menyarankan pemerintah terkait persoalan larangan pengeras. Pemerintah perlu membuat peraturan semacam larangan pengeras suara azan untuk konteks Jakarta atau daerah perkotaan. Misalnya, durasi waktu ngaji dan solawat sebelumnya 10 menit, maka perlu diatur menjadi 5 menit. “Sedangkan suara ketika solat silakan suarannya di dalam masjid,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, pemerintah juga perlu membuat somasi pada daerah perkotaan. “Barangkali orang cape atau kerja sampai malam, tiba-tiba sebelu subuh sudah azan, sehingga mengganggu kesehatan orang apalagi yang tinggal berdekatan dengan masjid,” jelasnya.
Doktor Saipul mengatakan, sekarang zaman serba canggih, orang bisa mengatur alarm suara azan. “Kalau bicara fungsi, praktek keagamaan perlu penyusaian dengan kebutuhan zaman,” lanjut salah satu peneliti internasional.
Doktor Saipul juga menjelaskan keislaman masyarakat kota dengan kampung, misalnya dari segi tradisi selesai sholat, memutar lagu-lagu keislaman. Hal ini perlu diatur bagi masyarakat perkotaan.
Menurutnya, pemerintah tidak perlu mengatur atau melarangan penggunaan pengeras suara azan di daerah perkampungan. “Karena suara azan adalah kebutuhan bagi masyarakat perkampungan apalagi masyarakat perkampungan adalah masyarakat mayoritasnya islam,” jelasnya.
Dia juga menyanyangkan pernyataan menteri agama yang membanding-bandingkan suara azan dengan suara anjing. Menurutnya itu tidak pas, karena suara azan mengandung nilai-nilai spritual.
“Berani tidak pemerintah mengatur praktek keagaman selain agama islam?” pungkasnya. (enr, kjr)