Jika berbicara tentang Negara, di dalam pemerintahan ada Badan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam sebuah lingkaran demokrasi. Ada banyak tuntutan kepada pemerintah agar dapat memberikan pendidikan yang menyeluruh kepada anak bangsa agar negara menjadi maju sesuai dengan amanat UUD 1945. Yang paling gencar meneriakkan tuntutan ini adalah kalangan intelektual, termasuk mahasiswa.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) adalah Badan Eksekutif dan Legislatif kampus yang pada dasarnya memiliki peran yang sama persis dengan pemerintah, yakni harus memenuhi aspirasi dari rakyat kampus. Tidak bisa dipungkiri bahwa tuntutan akan pendidikan adalah kebutuhan pokok bagi setiap kalangan. Atas dasar itulah, kita dapat menarik kesimpulan bahwa para mahasiswa sebagai rakyat di lingkungan kampus memiliki tuntutan yang sama dengan rakyat di lingkungan bangsa dan Negara. DPM yang baik harus dapat memenuhi aspirasi ini namun kenyataannya (?) masih menjadi tanda tanya besar dibenak mahasiswa.
Setiap program kerja harus memiliki visi untuk pengembangan diri setiap mahasiswa, harus memiliki unsur untuk belajar (dalam arti yang sebenarnya), harus berupa suatu aksi untuk bergerak. Dengan kata lain, kalau misalnya tidak bisa dielakkan kenyataan bahwa BEM memang terlahir untuk mengadakan acara-acara dan gerakan moral maka setiap kegiatan atau acara yang dilaksanakan oleh Badan Eksekutif harus memiliki tujuan edukatif dan sebagai ruang atau lahan untuk studi.
Berbicara tentang lembaga tertinggi kampus, yakni BEM dan DPM dilingkup Universitas Mataram, tidak akan ada habisnya. Tahun ini penuh akan kemunduran, lembaga-lembaga tertinggi ini semestinya menjadikan pengalaman tahun sebelumnya sebagai pembelajaran. Narasi yang dibangun oleh dua lembaga ini berujung stuck dan tidak ada perubahan dari tahun kemarin.
Trias politika adalah gaung-gaung lembaga tertinggi di tingkat Univesitas Mataram dalam menghidupkan dinamika bernegara di dalam kampus, namun oposisi selazimnya belum hidup misalnya pengawasan dan lembaga terawasi. BEM dan DPM mestinya mengambil peran dalam mewujudkan hidupnya demokrasi mahasiswa di kampus.
Sekarang bagaimana agar setiap kegiatan atau acara itu menjadi lahan dan ruang untuk studi? Ya, jelas, lakukanlah kegiatan yang memiliki konsep dan memiliki aksi-aksi susulan yang berkelanjutan. Contoh yang dapat penulis berikan adalah melakukan kegiatan atau acara yang memang membuka ruang seluas-luasnya untuk belajar dan mengembangkan diri. Sudah semestinya BEM membuat suatu acara yang memiliki program pengkajian, bukan acara tontonan belaka.
Program kerja yang memang memberikan jawaban terhadap isu-isu yang diangkat, bukan malah menjadikan isu-isu itu sebagai pembenaran untuk diadakannya acara hiburan semata. Ingin mengadakan acara seni budaya, pahamilah terlebih dahulu apa seni budaya itu dengan melakukan berbagai diskusi dan riset mendalam serta pengejawantahan usaha pengkajian itu dalam sebuah acara yang memang berisi.
Lalu selanjutnya lakukan pengarsipan dan dokumentasi yang baik, yang nantinya memang bisa menjadi bahan koreksi, bahan bahasan, bahan kajian selanjutnya. Begitu juga dengan acara-acara dan kegiatan lainnya. Lakukan kegiatan dengan wacana yang memang memberangkatkan kita semua (mahasiswa) kepada pemahaman tentang isu yang ada. Visi dan misi pencerdasan tidak boleh berhenti atau selesai pada hari H acara dilaksanakan, tetapi mesti ada aksi lanjutan untuk mencampai kesempurnaan tujuan.
Mengulas tentang kedua lembaga tertinggi kampus ini mungkin terlalu lancang kalau misalnya mengatakan bahwa semua kegiatannya tidak memberikan edukasi. Karena pada kenyataannya, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh BEM yang memang bertujuan memberikan edukasi atau usaha ‘pertolongan’ bagi masyarakat.
Contohnya seperti kepedulian terhadap situasi pandemi covid-19, korban yang terdampak musibah, dan sebagainya. Akan tetapi, lagi-lagi berhadapan pada kenyataan bahwa aksi-aksi seperti itu stuck dan berhenti di saat itu saja tidak ada buah yang bisa dihasilkan dalam kegiatan yang diselenggarakannya. Semisal kegiatan-kegiatan seminar yang dilakukan, mungkin ini menjadi argumen simpanan bagi pihak yang dituding untuk membela diri.
Sekarang yang perlu dipertanyakan “apakah setiap seminar yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa di kampus kita ini memiliki arsip tulisan (notulensi) pembahasan yang dilakukan dalam tulisan?” Jika ada, “apakah kesimpulan dari seminar itu telah dilakukan atau direalisasikan dalam kehidupan?” Kalau iya, “apakah telah dilakukan pengkajian mendalam atau riset lanjutan untuk menemukan permasalahan-permasalahan baru atau solusi konkret terhadap isu-isu yang dikaji tersebut?”
Kalau boleh menebak dengan arogan, paling-paling hanya menulis di notebook penerbitan buletin yang isinya hanya berupa pressrelase kegiatan atau sedikit tulisan artikel yang mendalam, atau lebih parah hanya rencana untuk turun ke jalan.
Apakah ada karya ilmiah atau karya akademis dari mahasiswa sendiri yang membahas tentang kegiatan-kegiatan seminar yang dilaksankaan itu beserta pembahasan isu-isunya? Sudah berapa banyak buku atau dokumentasi yang telah dihasilkan oleh para aktivis kita sekarang ini, yang terlibat dalam berbagai pelaksanaan kegiatan terkait dengan program kegiatan beserta isu-isunya? Paling-paling hanya blog atau website, yang jika dibuka hanya berisikan informasi jadwal sebagai bentuk usaha publikasi. Bukan sebagai usaha penyebaran informasi melalui media dengan tujuan kepentingan pendidikan (edukasi).
Pengamatan yang intens dari penulis sebagai masyarakat umum kampus terhadap kinerja BEM dan DPM, tak ada salahnya pula bahwa penjabaran paragraf di atas bisa kita letakkan sebagai hipotesa awal, paling tidak sebagai warning bagi kita semuanya (termasuk penulis sendiri) bahwa aksi-aksi dari mahasiswa kita pada masa sekarang ini sedang berada di dalam kebuntuan (Buta Narasi). Mengapa penulis berhipotesa demikian? Ya, memang pada kenyataannya bahwa setiap kegiatan atau program yang dilaksanakan, umumnya hanya sekadar menjadi suatu aksi ‘puncak’.
Penulis jelaskan lebih lanjut bahwa hari H atau waktu pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut seolah menjadi puncak gunung besar, puncak dari semua rencana yang telah disusun dalam program kerja, yang tidak ada kelanjutannya ketika acara itu selesai dilaksanakan.
Sekali lagi penulis tegaskan: acara atau kegiatan hanya sebagai puncak dari proses penyusunan rencana dalam program kerja (atau bahkan mungkin tidak ada di dalam proker, melainkan hanya berupa puncak dari proses penyusunan acara di dalam kepanitiaan yang telah dibentuk).
Tidak ada proses pemahaman tentang ‘seberapa penting’ sebuah kegiatan atau acara yang diadakan. Tidak ada proses pengkajian dan pendalaman materi terkait substansi dari kegiatan, yang kemudian menyebabkan pelaksanaan hari H-nya itu tidak memberikan kepuasan kepada kelompok-kelompok yang hobi mengkritik (orang-orang iseng, seperti penulis sendiri).
Proses-proses ini semestinya dilakukan di awal, juga di akhir. Dan karena proses awal yang buruk itu, berakibat kepada tidak adanya keberlanjutan atau aksi susulan dari kegiatan yang telah dilakukan. Seminar dan diskusi hanya sekadar menjadi kegiatan diskusi sesaat ketika diskusi itu dilaksanakan.
Yang lebih mengherankan adalah hingga sekarang belum ada gebrakan yang dilakukan oleh dua lembaga tertinggi ini, DPM yang semestinya menjadi mitra oposisi eksekutif malah stuck dalam peniadaan rasionalisasi jika beracu kepada Negara yaitu lembaga eksekutif tidak boleh menjalankan agenda atau program kerja sebelum melakukan temu upaya merasionalisasikannya kepada legislatif.
Penulis menebak pasti dalam agenda akhir BEM adalah diadakannya kegiatan berupa ‘pesta’. ‘Pesta’ ini sebagai bentuk perayaan berakhirnya masa aktif anggota-anggota BEM, dan dengan bangga pula menyatakan telah melakukan sesuatu yang berarti, padahal sesuatu yang dikatakan berarti itu hanyalah berupa kegiatan-kegiatan tanpa konsep, yang diadakan dalam bentuk tontonan dan acara hiburan semata.
Sebelum penulis mengakhir tulisan cinta ini, izinkan penulis bersaksi bahwa tulisan ini semata-mata rasa cinta dan sayang kepada seluruh mahasiswa Universitas Mataram dan sebagai bentuk pengejawantahan nilai tridarma perguruan tinggi dalam diri penulis. (*)
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mataram.