28.8 C
Mataram
Friday, May 23, 2025
spot_img

Feminisme Kartini: Dari Pingitan, Terbitlah Terang

Kartini bukanlah sosok nasionalis yang berbicara perihal bendera maupun kemerdekaan Indonesia seperti Cut Nyak Dien di Aceh, juga tidak ikut berperang melawan penjajah seperti Martha Tiahahu di Maluku. Melainkan, Kartini melawan agama yang ditafsirkan untuk menundukkan perempuan dan adat Jawa yang menuntut perempuan untuk lebih baik diam dan dianggap tidak pantas berbicara oleh bangsawan-bangsawan di zaman kolonialisme yang lebih mementingkan status sosial daripada nalar manusia.

Sosok Kartini, perempuan yang selalu dirayakan pada tanggal 21 April itu, nyatanya banyak “di-make-up” Orde Baru karena meninggal dunia di usia muda, 25 tahun. Kartini dibuat seolah-olah anggun dalam balutan kebaya hingga sekarang kita menggunakan kebaya dan riasan di setiap hari perayaannya. Kartini dibuat lemah lembut, padahal nyatanya ia cukup kasar dan pembangkang pada suaminya. Ia tidak berjalan berjongkok kepada suaminya seperti yang perempuan-perempuan Jawa lainnya lakukan, juga tidak menggunakan bahasa Jawa krama inggil untuk tunduk, melainkan mendorong penggunaan bahasa Jawa ngoko untuk menghapus tradisi feodal yang selama ini mengakar kuat di lingkungan masyarakat Jawa.

Kartini adalah seorang feminis

Banyak yang menyangkal fakta bahwa Kartini adalah seorang feminis, bahkan menyebutnya bukanlah pahlawan emansipasi dan menyatakan bahwa buku Kartini yang sangat terkenal berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang atau dalam bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht tidak didasari oleh pandangan feminisme, tetapi oleh Islam dan Al-Qur’an sendiri. Hal ini bukan tanpa dasar, Kartini memiliki ayat favorit dalam Al-Qur’an yang diduga menjadi inspirasi pembuatan buku tersebut, yaitu Al-Baqarah: 257:

اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا

Artinya: “Allah pelindung orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”

Potongan ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah di atas tentunya tidak asing di telinga kita, karena selalu ada di tiap-tiap penyambutan di berbagai acara, baik itu pengajian, ceramah, bahkan pidato dengan harapan agar perjalanan dari ketidaktahuan, kebodohan, kesesatan, atau kegelapan rohani, menuju pemahaman, berakal, kebenaran, dan pencerahan rohani.

Ucapan bahwa Kartini adalah seorang feminis juga bukan isapan jempol belaka. Raden Ajeng Kartini (1879–1904) adalah anak kedua perempuan dari Bupati Jepara. Ayahnya sangat berpikiran maju karena menginginkan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk belajar dan berpendidikan. Tentunya, hal tersebut merupakan kesempatan emas yang tidak bisa didapatkan oleh orang lain. Akan tetapi, Kartini tidak diizinkan untuk belajar di universitas seperti saudara laki-lakinya yang melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Kartini justru ditempatkan di sebuah “sangkar emas”—begitulah penyebutan Kartini untuk istana ayahnya dalam salah satu suratnya—yang kemudian dalam adat-istiadat Jawa disebut sebagai pingitan.

Di dalam pingitan tersebut, sembari menunggu seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, Kartini meluangkan waktu untuk membaca buku tentang feminisme dan perang serta paham-paham kiri. Kartini juga menulis surat-surat untuk beberapa tokoh, termasuk di antaranya seorang sosialis/feminis Belanda bernama Stella Zeehandelaar. Di dalam surat-surat itu, Kartini menguapkan segala amarahnya terhadap segala keadaan yang membatasi kebebasan geraknya, dan tentunya yang menghalangi dirinya untuk memperjuangkan kepentingan emansipasi perempuan Jawa.

Kartini merumuskan gagasan-gagasannya dengan intisari sebagai berikut: “Kaum perempuan adalah salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya. Dengan sosok ibu yang terpelajar, bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak menjadi lebih baik. Tidak hanya perempuan kalangan miskin, perempuan kalangan atas pun harus diberi kesempatan untuk mencari nafkah sendiri dan menemukan pekerjaan yang cocok bagi mereka dalam berbagai instansi, baik itu perawat, bidan, dan guru. Selain itu, poligami harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum perempuan.”

Melalui surat-surat Kartini yang kemudian disusun menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang, berhasil menarik minat banyak orang Belanda akan suara Kartini yang tak terdengar tentang kehidupan seorang putri di Jawa yang tiba-tiba terbuka. Dengan kata lain, suara Kartini terdengar melalui tulisan-tulisannya.

Cita-cita dan semangat Kartini akan perjuangan terhadap emansipasi perempuan dan pendidikan terwujud dengan membuka sekolah anak perempuan pertama, meskipun Kartini sendiri tidak dapat mengenyam pendidikan ke Belanda. Perjuangan Kartini di masanya cukup untuk menjadikan Kartini seorang feminis pemberani. Meskipun pada akhirnya Kartini tunduk pada feodalisme dengan menjadi istri keempat dari seorang Bupati Rembang, dalam suratnya Kartini tidak pernah menuliskan luka batinnya.

Feminisme Kartini di Zaman Sekarang

Saat ini adalah masa di mana media sosial berkembang begitu cepat, akan tetapi tidak dibarengi dengan perkembangan pemikiran kaum feodal dan patriarki yang begitu kolot. Media sosial kerap menjadi ajang diskriminasi terhadap perempuan dan budaya patriarki yang masih kental di Indonesia hingga saat ini.

Setiap tanggal 21 April, banyak kaum feminis di Indonesia menjadikan Kartini sebagai patokan untuk menerapkan feminisme di masa sekarang. Perjuangan Kartini melawan diskriminasi membakar semangat perempuan masa kini untuk berani melawan stereotip tentang anggapan untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga.

Di era digital ini, perempuan modern bisa bekerja dan berkarya selayaknya laki-laki. Mulai dari tingkat bawah hingga duduk di kursi pemerintahan, sampai pada kerja kantoran maupun pekerja kasar, kaum perempuan telah berhasil menempatkan posisi mereka “setara” dengan kaum laki-laki dalam hal apa pun. Setara bukan berarti bermaksud menyaingi pengaruh laki-laki, karena secara fakta laki-laki lebih kuat tenaganya dari perempuan, akan tetapi setara dalam artian tidak ada yang kalah maupun menang, tidak ada yang lemah maupun kuat. Semuanya memiliki porsi masing-masing untuk menjalani kehidupan, dan menciptakan kehidupan yang adil, aman, dan damai.

Kartini-Kartini masa kini tentunya akan terus berjuang melawan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Kita patut bersyukur karena paham-paham Kartini dan dampak yang telah ia timbulkan sampai kita rasakan hingga saat ini. Akhir kata, suka tidak suka, Kartini adalah pahlawan nasional yang berjasa bagi seluruh perempuan Indonesia.

(Kontributor: Veronica)

Media
Mediahttps://mediaunram.com
MEDIA merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Universitas Mataram yang bergerak di bidang jurnalistik dan penalaran.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles