Islam dan Lingkungan: Refleksi Teologis, Peran Manusia Sebagai Khalifah dalam Ekosistem

0
259

oleh: Rhandy Asmi Apriadi

Seperempat dari abad ini kita sudah sangat akrab membahas tentang masalah lingkungan hidup, berbicara tentang efek ruma kaca, sampah rumah tangga, limbah industri, pemanasan global hingga deforesrasi yang terjadi hampir di berbagai seluruh penjuru bumi. Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan berhubungan timbal balik, sebuah komponen sistem yang sangat kompleks dan merupakan kesatuan ruang antara makhluk hidup dan abiotik lainnya. Tentu hal ini menjadi tantangan besar dan menjadi pekerjaan rumah yang sangat panjang bagi kita sebagai manusia itu sendiri. Kita sulit berlaku adil terhadap kehidupan terutama dengan lingkungan alam kita sendiri. Secara harfiah manusia sudah ada dan terbentuk dengan alaminya menjadi seorang Antroposentrisme yaitu paham yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik tersebut. Manusia menganggap seluruh makhluk hidup lainnya hanya sebagai instrumental, dengan kata lain manusia memandang makhluk hidup lainnya karena fungsi bukan karena perannya dalam lingkungan yang kemampuannya dapat melayani manusia. Antroposentrisme diduga kuat berakar pada ajaran agama-agama Monotheis (paham yang meyakini bahwa hanya ada satu tuhan) termasuk Islam sendiri yang dituduh mengembangkan ajaran tersebut. Akar permasalahan krisis lingkungan dan alam di senyalir berawal dari filsafat Antroposentrisme dalam jiwa-jiwa manusia di bumi ini. Dari Arnold Joseph Toynbee sebagai mana dikutip oleh Martin Harun dalam pengantar buku AgamaRamahLingkungan, menegaskan bahwa agama-agama monetheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang lahi. Sehingga tak ada yang mampu menahan ketamakan manusia.

Menelusuri Jejak Antroposentrisme dari filsafat barat ke etika islam

Berangkat dari tuduhan-tuduhan di atas, maka timbul beberapa pertanyaan yang cukup layak untuk dikaji dan dijawab dalam tulisan ini. Apakah benar islam mengajarkan antroposentrisme? Bagaimana konsep ekologi yang di tawarkan dalam islam? Dan bagaimana pandangan islam tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan hidup? Apakah kita sadar dan paham terhadap prinsip ekologi yang di tawarkan dalam agama Islam? Dalam sejarahnya filsafat Antroposentrisme berawal dari filsafat pelepasan manusia dari kungkungan tuhan. Pada abad pertengahan tepatnya, alam pikiran dunia barat dipenuhi dengan pikiran mitologis. Yakni berdasarkan pada mitologi Yunani. Pada saat itu barat benar-benar terkungkung di dalam paham keagamaan bahwa seolah-olah tuhan itu membelenggu manusia. Muncullah pandangan antroposentrisme sebagai pendobrak pandangan keagamaan mitologi secara revolusioner. Pandangan antroposentrisme atau juga lazim dikenal dengan humanisme beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada tuhan, melainkan manusia. Manusialah penguasa realitas, yang menentukan nasibnya sendiri dan kebenaran. Antroposentrisme sejatinya hadir dengan datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya bahwa hukum alam bersifat mutlak. Antroposentrisme menjadi sebuah filosofi terkait dengan manusia yang berasal dari tradisi pencerahan Eropa. Bisa dikatakan bahwa antroposentrisme, merupakan anak kandung dari ateisme. Antroposentrisme dapat diklasifikasikan sebagai tahapan dari musim semi ateisme, yang mana letaknya ini berada pada satu tahap di bawah ateisme. Kemudian, isme di sini sama-sama menafikan Tuhan, hal terburuknya ialah ketika antroposentrisme menguat dan menjadi sangat ekstrem, maka kemungkinan terburuknya, ia akan berubah dan mengarah pada ateisme. Menurut Resmussen-sebagaimana dikutip oleh mary evelyn dan john A. Grim bahwa akar dari segala permasalahan lingkungan diduga berawal dari filsafat antroposentrisme.

Antara Keistimewaan Manusia dan Tanggung Jawab Ekologis

Terdapat ayat-ayat al-Quran yang di sinyalir mengandung nilai dan paham antroposentrisme. Pertama adalah konsep manusia sebagai makhluk yang paling Istimewa terdapat dalam Ayat keempat surah At-Tin berbunyi, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Ada juga terdapat dalam surat al-isra ayat 70 berbunyi: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk lain yang telah kami ciptakan” ayat serupa terdapat pula pada ayat-ayat lainnya seperti surat Al-Infitar ayat 7-8, Surat At-tagabun ayat 3, surat Al-Nahl ayat 78, dan Surat Al-Rum ayat 7. Kedua, ayat-ayat yang menggambarkan manusia sebagai makhluk berakal terdapat dalam surat Al-Baqarah Ayat 75 yang berbunyi “Maka, apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka agar percaya kepadamu, sedangkan segolongan mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahui (nya)?” dan masih banyak ayat lainnya yang berbicara bahwa manusia makhluk berakal. Di antaranya terdapat dalam QS. Al-Anfal :21, QS Al-Hajj: 46, QS. AL-Ra’d :2, QS. Hud: 123. Dengan demikian, banyak yang beranggapan bahwa makhluk lainnya lebih rendah dari manusia karena tidak berakal. Ketiga yaitu, manusia Digambarkan sebagai makhluk paling kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan sebab, alam semesta ini di ciptakan hanya untuk semesta hal tersebut terdapat pada ayat surat al-Baqarah: 22,29., al-jatsiyah: 13, dan di surat Luqman:20. Keempat adalah ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagaimana manifestasi wakil Allah di bumi. Terdapat dalam surat al-Baqarah:30, surat al-an’nam:165 dan QS. Shad:26. Keempat dasar keagamaan ini kemudian melebur menjadi stu dalam bingkai teologi lingkungan yang terkesan antroposentris. Gejala-gejala tersebut jelas Nampak terlihat Ketika dijumpai dalam kehidupan nyata akan perilaku masyarakat yang tidak mencerminkan perilaku ekologis. Keempat prinsip tersebut akan di bedah melalui pendekatan tanasub al-ayat yaitu ilmu Al-Qur’an yang membahas persesuaian atau hubungan antara satu ayat dengan ayat lain, baik yang berada di depan atau di belakangnya.

Harapannya cara penafsirannya atomistic (pendekatan atau studi yang berfokus pada analisis sistem kompleks dengan memperhitungkan komponen-komponen terkecil penyusunnya, yaitu atom). Dapat dihindari agar ditemukan maqasid (tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukum-Nya) tentang pesan-pesan ekologis. Terkait keistimewaan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna konteks dalam ayat-ayat di atas hanya dipahami sebatas kesempurnaan fisik dan jaminan kesempurnaan manusia terwujud Ketika dimensi spiritual dan amaliahnya terpenuhi sebagaimana di jelaskan dalam tafsir al-Qurthubi seorang ulama, ahli hadis dan ahli tafsir Al-Qur’an. Ia merupakan seorang pemikir dalam Mazhab Maliki yang menghasilkan sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang dikenal sebagai Tafsir Al-Qurthubi. Dengan demikian maka dimensi non-fiksi justru lebih penting. yaitu aspek keimanan (shaleh secara individual) dan aspek amal shalih (secara sosial). Sebagaimana dinyatakan dalam surat al-nahl: ayat 97. Ketika Ibnu Kasir menafsirkan kalimat tersebut dan terdapat tiga variable dalam ayat tersebut terkait dengan kehidupan yang berkualitas yaitu: berbuat baik, religiusitas dan kehidupan yang berkualitas. Ketiga variable tersebut merupakan mata rantai yang tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Al-Qattan memaknai amal shalih yaitu amal baik termasuk urusan-urusan kemasyarakatan dan lingkungan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesempurnaan fisik manusia merujuk pada kesempurnaan amal shaleh. Dalam hubungan dengan lingkungan alam. Kesempurnaan manusia juga tidak menjadi variable dominan al-Qur’an. Manusia sejatinya hanya bagian kecil dari lingkungan alam ini. Keterbatasan kesempurnaan manusia di tegaskan dalam surat al-isra ayat 37-38, dan surat al-Alaq 6-7. Dua ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita tentang keterbatasan dan kekurangsempurnaan manusia terhadap alam ini. Dan, terkadang manusia sering kali melapaui batasnya dalam mengelola alam. al-qhurtubi dalam tafsirannya jelas menyatakan posisi kelemahan manusia di hadapan alam. Bumi dan gunung adalah bagian dari ekosistem yang tidak boleh dieksploitasi sesuai kemauan dan kesenangan manusia. Sebab, dieksplorasi sekuat apapun, manusia tetap tidak akan mampu menaklukkan alam itu sendiri. terkait dengan ayat-ayat yang mengedepankan keistimewaan akal manusia. Ayat-ayat di atas juga dituduh sebagai basis antroposentrisme dalam Islam.

Benar bahwa akal adalah anugerah luar biasa yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan akal manusia diharapkan mampu mengelola alam dan lingkungan dengan baik. Karena sejatinya penciptaan manusia bermotif pemakmur atau pembangun bumi dan bukan untuk sebaliknya, merusak bumi ini. Hal ini ditegaskan Allah dalam surat al-Hud ayat 61, dalam hal ini Ibnu Kasir menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman dan maknanya bahwa manusia di mandatkan untuk melakukan Pembangunan dan mengelola bumi. Dalam hal ini, menurut Harun Nasution. Akal manusia adalah pelengkap wahyu dan panca Indera bagi manusia dalam memahami alam itu sendiri. lebih dari itu, al-Qur’an sendiri tidak menafikan peran pengamatan dan penalaran akal dalam memahami alam ini. Namun demikian, dalam banyak variannya al-Qur’an juga mencela manusia ketika tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik. Penggunaan akal dengan baik dalam konteks pemeliharaan lingkungan dan alam ini adalah mengetahui yang baik dan buruk dalam mengelola alam ini. Namun jika akal ini tidak digunakan sebagaimana mestinya maka posisi manusia sama bahkan lebih rendah (hina) dari makhluk yang bernama binatang. Al-Qur’an juga banyak menyuruh kerja akal untuk memahami kerusakan lingkungan dan alam. dalam konteks ini refleksi akal sangat ditekankan agar pembangunan di bumi ini berjalan secara berkelanjutan.hal tersebut dapat dilihat dalam surat al-Rumi ayat 9 dan surat al-Jasyiah ayat 13. pada kenyataannya manusia meruapakan makhluk lingkungan. Manusia membutuhkan lingkungan (spesies lain) dan sebaliknya, lingkungan membutuhkan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejatinya Islam adalah agama yang sangat peduli dengan persoalan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan.

Manusia sebagai sesama ciptaan Allah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan besar yang bersifat kompleks dari sistem ekologi alam. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Ra’du ayat 4. ayat ini ditafsiri oleh Ibnu Katsir dengan ungkapan bahasa yang lebih lugas, ayat tersebut dapat dipahami dan dikatakan bahwa: “Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem sebagai penyangga kehidupan”. Dengan demikian jelas manusia sebagai khalifah bukanlah penguasa bumi, melainkan penerus yang secara fungsional untuk memelihara dan memakmurkan bumi ini. Lebih lanjut dijelaskan kekhalifahan berarti manusia menjadi memegang mandat Tuhan untuk menyelenggarakan kehidupan bertanggung jawab. Hakikat khalifah menurut al-Maudhu ialah manusia bukan pemilik, apalagi penguasa, segala yang di atas bumi, namun hanya sebagai wakil dari sang pemilik sejati yaitu Allah. Kelebihan utamanya adalah adanya kemampuan manusia untuk berfikir atau kepemilikan akal yang sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Kelebihan kedua adalah keberadaan kehendak bebas pada manusia. Bagaimanapun juga, al-Qur’an telah menegaskan manusia diberi kebebasan untuk beriman atau kafir, dengan masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi tersendiri. berbeda dengan alam semesta yang secara otomatis mentaati Allah swt, manusia dapat memilih untuk taat atau ingkar kepada Allah swt.

Refleksi Teologis atas Peran Manusia sebagai Wakil Tuhan

Dalam pandangan Ibnu Arabi, dunia manusia dan mikrokosmos adalah serupa. Ibnu Arabi sering menyebutkan denga istilah dunia kecil (mikrokosmos) bagi manusia dan dunia besar (makrokosmos) bagi alam semesta. Mikrokosmos adalah sebuah kesadaran sedangkan makrokosmos hanyalah suatu intstrumen pasif dalam kuasa Tuhan. Dalam ilustrasi yang sangat indah, manusia bagi alam semesta ini adalah ibarat ruh bagi jasad manusia. Dalam al-Futtuhat al-Makkiyah, sebagaimana dikutip Chittick, Ibnu Arabi menjelaskan dengan nada jelas: “Bedakan dirimu sendiri dari kosmos dan bedakan kosmos dari dirimu. Bedakan yang lahir dan yang batin, dan yang batin dari yang lahir. Bagi kosmos kalian adalah ruh kosmos, dan kosmos adalah bentuk lahiriyah kalian. Bentuk ini yang tidak mempunyai makna apa pun tanpa ruh. Oleh sebab itu, kosmos tidak memiliki arti tanpa kalian”. Sepenggal kalimat di atas menegaskan bahwa antara manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya dilukiskan ibarat tubuh dan ruh yang saling melengkapi.

Antara Amanah dan Arogansi

Analisa-analisa di atas akhirnya semakin meneguhkan bahwa sejatinya atroposentrisme tidak ditemukan apalagi diajarkan dalam Islam. Dalam ekologi Islam, justru menempatkan manusia secara proporsional. Meskipun manusia mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain keberadaannya masih menjadi bagian dari lingkungan dan bukan berada di luar ekosistem. Bahwa lingkungan alam ini diciptakan manusia bukanlah pandangan keliru. Namun manusia bukanlah pemilik alam ini. Dengan demikian manusia tidak boleh mengeksploitasi alam dengan seenaknya sendiri. Islam melarang keras paham antroposentrisme dalam pengelolaan lingkungan. Sebab antroposentrisme sejatinya identik dengan mental orang-orang paganis. Dan benih-benih antroposentrisme justru lahir dari orang-orang paganistis. Sebab dalam paham ini manusia meyakini hanya manusia lah yang paling berkuasa. Tidak ada kekuatan kecuali kekuatan manusia. Akibatnya timbul sikap manusia yang meremehkan dan merendahkan makhluk lain. Hal tersebut telah di kecam oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 6-12. Dalam ayat tersebut mengisyaratkan korelasi kuat antara paganis, antroposentis dan kerusakan lingkungan. Indikator orang-orang pagan adalah keras kepala, keras hati, penuh kamuflase dan angkuh dalam pengelolaan lingkungan. Mereka selalu berdalih membangun bumi, padahal sejatinya mereka merusak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerusakan alam yang parah saat ini akarnya bukan pada antroposentrisme Islam (theogenik), namun pada pola tingkah manusia yang kelewat batas (antrogenik).

Dari Kesadaran Religius ke Tanggung Jawab Alam

Hubungan manusia sebagaimana hamba Allah dan diutus menjadi Khalifah di muka bumi memiliki posisi saling terkait kuat, karena dalam tugas manusia sebagai khalifah memiliki wewenang mengelola dan mengatur bumi beserta isinya. Sedangkan tugas manusia sebagai hamba, manusia melakukan segala aktivitas sesuai dengan aturan Allah dan bertanggungjawab atas semua tindakannya. Munculnya teori Darwin tentang survival of the fiftest telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih unggul dari makhluk lainnya, sehingga manusia berusaha menguasai alam dan mampu menklukan alam. Hal tersebutlah menyebabkan terjadinya kerusakan alam di berbagai belahan bumi. Dampak dari teori Darwin semakin menunjukkan bahwa manusia tidak lagi menjadi makhluk yang bergantung kepada alam, melainkan manusia menjadi faktor penentu atas keberlangsungan alam. Islam telah melarang manusia untuk melakukan eksploitasi dan pengerusakan terhadap alam dan spesies tumbuhan serta hewan. Seperti halnya dalam surat Al-A’raf [7] 31. Makna dalam kandungan ayat tersebut menyatakan bahwa islam telah mengatur manusia dalam mengelola dan memanfaatkan alam dengan porsi dan batasan agar tidak merusak alam, tidak boros (mubazir), tidak serakah dan tidak menyia-nyiakannya yang tidak diperlukan.

Pemikiran Agama Islam dalam beberapa prinsip dasar yang terkait lingkungan dan menjadi basis elaborasi konsep ekologis dalam islam. Pandangan manusia sebagai khalifah tidaklah menjadikan manusia sebagai pemegang mutlak pada dirinya dan alam, karena segala sesuatu yang dimiliki manusia berasal dari Tuhan, dan tugas manusia hanyalah menjaga dan memelihara serta menggunakan sesuai kebutuhannya. Konsep khalifah sebagai yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa dalam ajaran islam memiliki relevansi dan perhatian yang sangat besar terhadap konsep ekologis dan lingkungan hidup. Sehingga untuk itu, ajaran islam mengenai konsep ekologis dan lingkungan hidup perlu dikonstruksi sebagai sistem, keyakinan akan nilai-nilai dan cita-cita lingkungan hidup, yang dapat dipahami, ditransformasikan dan di internalisasikan oleh seluruh umat untuk diperjuangan guna mewujudkan cita cita tersebut. Dari uraian dan analisis di atas dapat diambil kesimpulan pada tulisan ini bahwa antroposentrisme sejatinya lahir bukan dari agama Islam. Pandangan antroposentrisme muncul disebabkan metode penafsiran yang parsial dan atomistik. Islam memandang manusia dengan lingkungan alam bersifat simbiosa mutual dan manusia secara fungsional merupakan makhluk pembangun (khalifah) yang amanah dan ber-ihsan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here