Sejak kemunculan Virus Covid-19 akhir 2019 lalu telah banyak berdampak kepada semua lini kehidupan, hampir semua negara terdampak akibat pandemi ini, sehingga hampir semua pemerintahan negara-negara Dunia disibukkan dengan kebijakan terutama untuk mengatasi Pandemi Covid-19 ini, tidak heran jika berbagai kebijakan diterapkan seperti karantina wilayah, pembatasan sosial, bahkan kebijakan memberhentikan secara total semua kegiatan sosial atau disebut dengan lockdown.
Francis Fukuyama dalam The Pandemic and Political Order menjelaskan bahwa keberhasilan dalam menangani pandemi yaitu kapasitas negara, kepercayaan sosial, dan kepemimpinan.
Kepemimpinan memiliki peran krusial dalam menghadapi situasi krisis, tidak heran jika di berbagai negara yang memiliki kepemimpinan yang efektif mencatatkan keberhasilan dalam menghadapi situasi pandemi, pemimpin dengan kebijakan yang adaptif, komunikasi yang efektif, tata kelola pemerintahan yang baik, berorientasi pada problem solving membangun kepercayaan dan kepedulian, mengedepankan kepentingan yang lebih besar dan yang tidak kalah penting mampu membangun harapan menjadi kunci dari keberhasilan dalam menghadapi situasi pandemi.
Kepemimpinan dengan kebijakan yang adaptif menjadi salah satu kunci keberhasilan menghadapi situasi krisis.
Di Indonesia sendiri sejak awal kemunculan Covid-19 di Wuhan Tiongkok, kebijakan yang diambil oleh pemerintah cukup kontradiktif dengan kondisi yang ada, berbanding terbalik dengan negara-negara lain yang mempersiapkan posisi ancang-ancang dalam menghadapi situasi terburuk dalam menghadapi pandemi, pemerintah malah disibukkan dengan mempromosikan kepada wisatawan asing untuk datang berlibur ke Indonesia bahkan menjadikannya kelakar dengan menyebutkan bahwa orang indonesia kebal Virus Corona karena doyan nasi kucing.
Hal ini membuktikan bahwa sedari awal pemerintah sudah gagal dalam memberikan kebijakan yang adaptif dengan kondisi wabah yang berpotensi menjadi pandemi waktu itu, alhasil kelalaian itu harus dibayar mahal ketika pemerintah menyatakan bahwa Virus Corona sudah masuk Indonesia dengan mengumumkan dua kasus pasien positif Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020 lalu (Detiknews.com)
Sejak itu, kasus terinfeksi Covid-19 terus mengalami kenaikan dengan menyebar di berbagai wilayah Indonesia, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah seperti PSBB, opsi pembatasan sosial berskala besarpun diambil, kebijakan PSBB yang diambil pemerintah tidak mencerminkan bentuk komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.
Seringkali diantara pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki pandangan yang sama dalam merumuskan kebijakan, alih-alih memberikan solusi pemerintah bahkan membuat masyarakat semakin bingung dengan kebijakan yang inskonsisten, pemerintah disibukkan dengan pergantian istilah-istilah kebijakan yang diambil, dimulai dari PSBB (pembatasan sosial berskala besar), PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) PPKM Mikro, PPKM Darurat, PPKM level 4 dan lain sebagainya.
Tak heran jika munculnya berbagai spekulasi bahwa pemerintah cenderung tidak ingin menggunakan kata lockdown untuk menghindari tanggung jawab lantaran UU kekarantinaan sudah mengatur bahwa segala kebutuhan masyarakat wajib dipenuhi pemerintah selama pemberlakuan karantina wilayah.
Hal ini mengingat bahwa pemerintah dalam mengambil kebijakan selama pandemi selalu berusaha menggabungkan dua aspek yaitu kesehatan dan ekonomi padahal mustahil untuk mengharapkan kedua aspek tersebut berjalan bersamaan ditengah krisis kesehatan seperti sekarang ini. Namun yang jelas dari kebijakan pemerintah selama ini mencerminkan bentuk komunikasi publik yang buruk.
Selain seorang pemimpin yang harus mengeluarkan kebijakan yang adaptif dan bentuk komunikasi yang efektif, dimasa pandemi sekarang ini juga dibutuhkan orientasi dari setiap kebijakan yang berfokus pada problem solving guna meminimalisir setiap dampak dari pandemi baik secara sosial, ekonomi maupun politik, di berbagai negara yang mencatatkan keberhasilan dalam menghadapi kondisi pandemi menunjukkan totalitas kebijakan yang diambil dalam bidang politik, sosial ekonomi atau keuangan, seperti Jerman selama wabah pandemi Covid-19.
Pemerintah Jerman sudah mengeluarkan sekitar 19,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), Indonesia sendiri dalam menghadapi kondisi pandemi, pemerintah sudah mengeluarkan sekitar 4,2 persen dari PDB (Bisnis.com) angka yang relatif kecil.
Tidak berhenti sampai disitu, ditengah kondisi pandemi ketika rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, di saat betapa sulitnya mengakses fasilitas kesehatan yang memadai, di saat terus meningkatnya korban yang diakibatkan terinfeksi Covid-19, pemerintah justru menambah alokasi anggaran untuk infrastruktur, sehingga wajar saja ketika masyarakat mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menghadapi kondisi pandemi.
Apakah pembangunan infrastruktur jauh lebih penting daripada sekedar bersungguh-sungguh menyelamatkan rakyat dimasa pandemi ? jawabannya tentu ada pada pemerintah sendiri.
Kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi pada problem solving juga dapat kita lihat dari lembaga-lembaga pemerintahan sendiri, ditengah kondisi darurat lembaga seperti DPR terkesan memanfaatkan situasi kesulitan mobilitas sosial akibat diberlakukannya sejumlah aturan, DPR justru disibukkan dengan pembahasan sejumlah Undang-Undang kontroversial sebut saja UU Sapujagat atau Omnibuslaw yang banyak menerima penolakan dari berbagai kalangan masyarakat hingga berujung pada aksi demo yang dilakukan di berbagai Daerah.
Entah urgensi apa yang mendasari DPR yang mempercepat pembahasan UU Omnibuslaw tersebut sehingga kualitas dari UU tersebut banyak dipertanyakan mengingat bahwa banyaknya UU yang harus disatukan dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam buku yang berjudul Legislasi masa pandemi: catatan kinerja Legislasi DPR 2020Â yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjelaskan bahwa kinerja DPR di tahun 2020 selain gagal memenuhi target legislasi, situasi pandemi yang sebenarnya bisa menjadi momentum pembuktian anggota legislatif untuk sungguh-sungguh dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, maupun anggaran justru dimasa pandemi menjadi momentum lahirnya UU kontroversial dan menjadi lumbung korupsi baru, hal ini menunjukkan bahwa lembaga seperti DPR tidak peka dengan kondisi krisis.
Ditengah kondisi pandemi  Covid-19 yang terus mencatatkan angka kenaikan terinfeksi Covid-19, ditengah kesulitan masyarakat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ditengah perjuangan para Nakes yang menjadi garda terdepan dalam menghadapi kondisi krisis kesehatan, ditengah kondisi yang tidak pernah memberikan kepastian kapan pandemi ini usai, pemerintah seharusnya mampu membangun sebuah harapan kedepannya yang akan lebih baik lagi bukan malah justru sebaliknya.
Publik dipertontonkan dengan perilaku para pemimpin negara yang sibuk dengan syahwat politik, sibuk memperkaya diri dengan melakukan korupsi, apalagi mempertontonkan pejabat publik yang terkesan kebal hukum, disaat aturan protokol kesehatan tegas kepada masyarakat justru lembek kepada para pejabat.
Kondisi demikian jika akan berlanjut maka akan sangat berisiko pada munculnya distrust atau ketidakpercayaan lagi rakyat kepada para pemimpinnya.
Sesungguhnya munculnya ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpinnya sudah mengindikasikan bahwa negara ini tidak hanya sedang mengalami krisis kesehatan akan tetapi krisis kepemimpinan dalam penyelenggaraan negara yang bertanggung jawab sosial.