Oleh: Abdul Fattah
“Kebebasan merupakan udara yang tanpanya kita tidak bisa bernapas. Namun, seperti halnya udara kita tidak memperhatikannya sampai pada suatu ketika jika kebebasan itu dicabut, barulah kita merasakan pentingnya udara kebebasan itu”
– Albert Camus
Kebebasan dan hak-hak demokratis yang kini kita peroleh adalah buah dari pohon perjuangan yang disiram dari darah, dipupuk dengan daging serta disinari regangan nyawa. Revolusi demokratis Prancis yang bersemboyan kebebasan, esetaraan dan persaudaraan itu dimulai dengan eksekusi terhadap raja, simbol kekuasaan despotis pelumat kebebasan.
Dalam lembaran sejarah bangsa, perjuangan kemerdekaan didahului dengan tersedianya kebebasan yang diusahakan melalui perjuangan berdarah para humanis Belanda. Berkat usaha itu, pemerintah kolonial memperbaiki kekuasaanya yang menghisap dengan “obat” kebijakan politik etis (politik balas budi). Berbekal kebebasan, founding father menyusun dasar dari “tumpahan darah dan daging” untuk bangunan megah negara merdeka.
Indonesia negara penyintas kolonialisme malah melingkarkan kebebasan dengan tali tiang gantungan. Revisi KP dilatari semangat dekolonialisasi. Namun sejumlah pasal dalam RUU KUHP malah menyingkap rupa kolonial, yakni melalui sejumlah pasal yang berpotensi memberangus kebebasan. Akibat nila setitik, rusaklah susu sebelanga.
Pasal-pasal tersebut terdiri dari Pasal 191 tentang Makar Terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah, Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 256 tentang Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum, Pasal 351 dan 352 tentang Penghinaan Terhadap Kekuasaan. Pasal tersebut berakar urat pada pemerintahan kolonial.
Semangat dekolonialisasi yang diklaim mendasari revisi RKUHP malah terbantah oleh muatan pasal-pasal diatas. Selain semangat dasarnya sendiri, pasal-pasal diatas juga menghianati konstitusi dan mencoreng marwah Mahkamah Konstitusi (MK).
MK telah memutus sejumlah pasal di atas inkonstitusional. Di antaranya Putusan MK No 013- 022/PUUIV/2006 tentang pasal penghinaan Presiden yang dinyatakan bertentangan dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat,hak atas informasi, dan prinsip kepastian hukum. Ketentuan yang kini dipertahankan itu pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda.
Pasal tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah yang sah juga menabrak konstitusi dan hak asasi. MK melalui putusan No. 6/PUUV/2007 menyatakan pasal tersebut tidak menjamin kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu memberikan perlindungan yang berlebihan terhadap pemerintah serta mengurangi, menghalangi, membatasi dan berpotensi mencabut hak asasi manusia (HAM). Secara historis pasal ini diberlakukan terhadap warga negara Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda. Ketentuan pidana ini dikenal dengan haatzaai artikelen, yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi HAM seharusnya menerima ketentuan dalam Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) No 34, poin 38 yang menyebutkan pemerintah tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi negara.
Ketentuan mengenai kritikan yang diatur lebih lanjut dalam RKUHP sebenarnya sekedar apologi, sebuah pretensi rendahan. Pemerintah hendak menjaga kesan demokratis dan keterbukaan terhdap kritik dengan melibatkan ketentuan-ketentuan tersebut. Padahal nyatanya, tanpa ketentuan-ketentuan tersebutpun, ada teramat banyak aktivis, akademisi, mahasiswa dan rakyat yang haknya atas kebebasan berpendapat dirampas. Lebih dari itu, dalam beberapa kasus, hak mahasiswa untuk hidup dirampas oleh bedil dan tangan besi aparat yang bedil serta seluruh atribut yang melekat dalam diriinya itu didanai oleh rakyat, orangtua-orangtua mahasiswa yang mereka renggut hak-haknya. Kritik sesungguhnya harus tajam menghujam, tidak seperti yang dipahami oleh pemerintah yang membangun, kritik harus membongkar,mendestruksi secara radikal.
Selain permasalahan historis dan yuridis sebagaimana yang telah terurai diatas, terkandung permasalahan filosofis atas pasal-pasal diatas.
Manusia Konkrit dan Entitas Abstrak
Secara filosofis, intensi dasar HAM adalah melindungi manusia-manusia kongkrit. Atas kepentingan tersebut, diandaikan keberadaan -apa yang oleh Yuval Noah Harari istilahkan- “fiksi bersama” bahwa tersemat seperangkat hak dalam diri manusia. Institusi kekuasaan pra-HAM dan pra-demokrasi cenderung menindas manusia-manusia kongkrit atas dasar penghormatan terhadap sesuatu yang abstrak. Hal abstrak tersebut dapat berupa negara, jabatan tertentu yang menyemat kekuasaan, ideologi, agama, bahkan ide. HAM dalam artian konsep politis dan yuridis lahir dari akumulasi ketertindasan manusia konkrit oleh hal-hal abstrak tersebut.
Dengan kembali melindungi hal-hal abstrak seperti lembaga negara, pemerintah tidak hanya mengingkari konsepsi universal HAM yang terbentuk dari akumulasi penindasan manusia, melainkan membuka celah untuk kembali menindas manusia-manusia kongkrit demi menjaga kehormatan sesat sesuatu yang abstrak.
PBB dalam laporan khusus tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar. Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.
Tuhan vs Nafsu Manusia
Secara filosofis, puncak pengetahuan adalah ketidaktahuan. manusia adalah entitas yang bergumul dengan kesalahan. Melalui RKUHP, khususnya pasal-pasal yang berpotensi membatasi kiritik terhadap pemerintah, logika atau rasio yang mendasarinya menempatkan pemerintah tidak lagi sebagai entitas yang bergumul dengan kesalahan, melainkan sesuatu agung yang kalis dari kesalahan. Legislator dan para yuris penyusun RKUHP kembali mendudukan pemerintah pada posisi primitif, yakni pada takhta raja pra demokrasi, yang mewakili tuhan. Sebab hanya tuhan yang sempurna dan kalis dari kesalahan.
Meminjam rumusan filosofis Rene Descartes, konsep Tuhan digunakan sebagai penjamin kebenaran. Manusia mungkin dan dapat sampai pada kebenaran oleh berkat keberadaan Tuhan. Sebaliknya, kesalahan tidak bersumber dari ketiadaan Tuhan, melainkan dari dominasi nafsu dan hasrat manusia. Dalam perumusan sejumlah pasal bermasah RKUHP, pemerintah menyingkap determinisme nafsu dan hasrat itu dengan cara paling picik sekaligus pongah, yakni menutup celah perbaikan dan hanya bersedia membuka ruang pembahasan yang terbatas.
Padahal dalam demokrasi deliberatif, suatu norma memperoleh kesahihannya bukan dari proses legislasi tertutup, melainkan dari keterbukaan atas kritik, yakni komunikasi yang terjadi melalui sirkulasi opini di ruang publik. Suatu norma atau produk legislasi akan makin sahih dan legitim untuk diberlakukan bila telah di-dibentrokan secara diskursif dalam gelanggang ruang publik. Dalam konteks proses legislasi RKUHP, jangankan terjadi diskursus, rancangan Undang-undang yang seharusnya menajdi dasar deliberasi publik saja baru diungkap setelah ada desakan.
RKUHP dan Logika Totaliter
Bila disingkapi selubung yang menutupi RKUHP, terkuak bahwa logika yang mendasari pasal-pasal bermasalah adalah logika lama, yakni teori yang telah ditinggalkan, dibombardir dengan aneka pikiran mutakhir serta dianggap bangkrut. Legislator mendasarkan pasal-pasal tersebut pada konsep rasio praktis Kant yang menyimpan benih totaliter. Pertama, dalam perumusan pasal-pasal tersebut, tersirat bahwa produk rasio “Pemerintah” sendirilah yang benar dan boleh diberlakukan sebagai undang-undang terhadap segenap rakyat. Legislator penyusun pasal tersebut abai bahwa dengan logika macam itu, rakyat dipaksa untuk tunduk pada kehendak penguasa. Seharusnya legislator dengan segala ahlinya yang kolot itu terbuka terhadap rasio diskursus yang menghendaki komunikasi dan deliberasi publik atas setiap kebijakan dan produk politik pemerintah.
Semenjak berabad-abad lalu, telah dikuak bahwa cahaya intelektual manusia, tidak lepas dari kepentingan, “Intelectus humanus sicci non est,” demikian Francis Bacon. Deliberasi publik dapat mereduksi dan menekan kepentingan-kepentingan lancung serta banal dan binal dari segenap pihak-pihak berkepentingan. Setelah dikalungkannya kebebasan dengan tali tiang gantungan, pemerintah tidak hanya membuka kedok kepentingan politisnya, melainkan juga memastikan terjaganya kepentingan ekonomis para “sponsor”.
Pemerintah ingin agar hak-haknya untuk tidak dihina terpenuhi, sementara mereka menghina publik dengan cara paling jahat dan canggih. Penghinaan itu tidak dengan lisan atau tindakan, tetapi melalui undang-undang dan pasal-pasal yang akan mengubur kebebasan kita sendiri. Kini, demonstrasi penolakan dan deliberasi publik yang dilakukan oleh civil society tidak lebih dari upacara tabur bunga yang mengiringi kematian kebebasan.
Jangankan deliberasi yang diskursif, penolakan masif yang terang-terangan meregang nyawa anak bangsa pada demonstrasi 2019 saja hanya melahirkan penundaan tanpa perubahan subtantif yang berarti.
Legislasi dan Kepentingan Rakyat
Legislator sebagai pembuat undang-undang hendaknya tidak berpihak pada kepentingan tertentu, kecuali kepentingan rakyat. Namun, nama rakyat dalam proses legislasi kerap dilacurkan, dijadikan kedok bagi kepentingan politis dan ekonomis. Produk legislasi kerap menjadi kuda troya, dibungkus seolah hadiah dan solusi atas persoalan kerakyatan, namun memendam bahaya akut terselubung.
Kesesatan fundamental dalam proses legislasi mutakhir adalah pihak legislator tidak mengandaikan ketercapaian suatu ide yang sama, misalnya terpenuhinya kehendak dan kebutuhan rakyat atau terciptanya keadilan sosial. Dengan mendasari titik tolak proses legislasi dari pengandaian yang sama, para legislator akan menyisihkan dan menyingkirkan kepentingan lain, mengusahakan tercapainya ide yang diandaikan bersama.
Prosedur legislasi dibentuk untuk menyingkap sekaligus mempreteli semua kepentingan yang bertentangan dengan ide itu. Namun demikian, prosedur itu kerap diterobos secara serampangan. Penerobosan proses legislasi oleh para legislator disebabkan oleh suatu dasar epistemis, yakni raibnya ide bersama antara para legislator.
Para legislator tidak lagi mengandaikan bahwa proses legislasi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat atau menegakan keadilan sosial, melainkan hanya sekedar prosedur tekhnis, sarana untuk memenuhi kepentingan politis tertentu. Telah tumbuh semacam kesepahaman yang tak diujarkan di antara para legislator, bahwa ada suatu kepentingan lain yang jauh lebih penting melampaui kepentingan rakyat yang mereka wakili.
Pada akhirnya, proses legislasi tidak lagi digerakan oleh ideal-ideal tertentu, melainkan semata oleh hal-hal banal. Sebagaimana yang telah lama diperingatkan oleh Albert Camus, “Ada satu nilai yang terus dieksploitasi dan dilacurkan, yakni kebebasan. Dan kemudian kita dapatkan bahwa di mana-mana, bersamaan dengan kebebasan, keadilan juga dinodai.”
Penulis merupakan Peneliti Taman Metajuridica Fakultas Hukum Unram