Oleh: Setia Almuhadjir
Pada mulanya mengerahkan haluan kehidupan demokrasi memberi harapan. Semua orang menghendaki kebebasan, kesetaraan, dan kesamaan. Ekspresi pemikiran mengenai demokrasi dituangkan sebagai jalan keluar mewujudkan tradisi dinamika manusia merekatkan sistem keadilan, tatkala menyandarkan jaminan kesejahteraan. Paham demokrasi bukan cuma berasal dari satu pemikiran semata, makna demokrasi identik dengan ikhtiar bujur yang dirumuskan oleh perbedaan argumentasi setiap orang. Manifestasi kebahagiaan merangkul demokrasi berupaya membuahkan kedaulatan rakyat sedemikian tercapai. Menurut Abraham Lincoln, Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi perlu suatu instrumentasi. Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, berupa kerelaan terhadap memenuhi syarat hak-hak politik yang setara untuk mengekspresikan pendapat, berorganisasi, oposisi, serta hak-hak politik yang mendasar seperti kesadaran alamiah, barangkali hal ini tak mungkin muncul. Tanpa mengakui kebebasan sipil sama maknanya dengan memahami arah dasar demokrasi. Penguasa harus memberi ruang gerak dalam menentukan nasib warga negaranya serta mengekang aturan hukum dengan cara menjamin hak asasi manusia sama berat. Hidup berdemokrasi berarti memahami otonomi moral kemanusiaan. Tatkala menanti suatu tataran keseimbangan sistem negara. Biarpun begitu, aksi pelanggaran kedaulatan rakyat masih sering dirundung oleh para birokrat dabat “sang feodal” dengan dalih kesejahteraan, padahal sebuah bungkusan yang mengatasnamakan demokrasi.
Di posisi ke-Indonesia, rakyat merasa gentar terulangnya kenangan sejarah kekuasaan orde baru selama 32 tahun mengendarai kebijakan otoriter, bahkan, kebengisan orba baru masih tersisa di memori warga negara Indonesia saat ini. Keinginan meruntuhkan kekuasaan tirani orde baru masa itu, menimbulkan api semangat perlawanan warga negara, dengan menggurai narasi kritis sedemikian mungkin serta merekonstruksi gagasan-gagasan reformasi atas runtuhnya orde baru. Seolah Indonesia dilahirkan sekali lagi dalam bentuk moral kenegaraan berupa kembalinya nilai-nilai demokrasi dalam menelaah makna idealnya.
Namun, sekarang polemik persoalan Indonesia persis sama seperti orde baru dan makin merambat luas di setiap aspek kehidupan warga negara. terutama kabar yang paling sukar tuk didengar ialah wacana penundaan dan perpanjangan jabatan presiden, bahkan berlangsung terus digaungkan oleh partai-partai koalisi Jokowi termasuk elit-elit politik tertentu. Di tengah keterbukaan media massa, kritik terhadap Jokowi terus dilayangkan dari elemen-elemen masyarakat madani, mahasiswa, dll. Seharusnya, sebagai seorang pemimpin, Jokowi mampu bersikap tegas menolak wacana-wacana tersebut dengan bukti konkrit kepala negara tidak melawan konstitusi.
Keengganan Jokowi menelaah perbincangan kritis atas, wacana penunda dan perpanjangan masa jabatan presiden. Hal ini, tentu bernuansa mengakibatkan dimensi opini ruang publik menjadi cemas dan menimbulkan anggapan, suatu usaha menjalar pola utopia menyesatkan, dalam menjaga stabilitas kehendak umum warga negara. Secara politik amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden bisa dilakukan kapan pun, bila dikehendaki atas pertimbangan etis yang jelas. Namun, perihal moral kedaulatan warganegara masih terus digerogoti oleh syahwat arogansi politik yang masih menaruh rasa candu akan kekuasaan. Sementara itu, banyak kepentingan umum warga negara yang belum terwujud total
Apapun alasannya terkait wacana liar yang dilontarkan di ranah publik, bukan tolak ukur demi meluruskan niat memperbaiki negara,justru hal tersebut sebuah tindakan inkonstitusional dan meruntuhkan acuan kesepakatan mentalitas “basic ideologi negara”, Pancasila.
Pada tanggal 5 Maret 2022, Jokowikepada harian Kompas mengatakan, akhirnya “Jokowi buka suara janji patuhi konstitusi, tapi wacana penundaan pemilu tak bisa dilarang”. Lebih lanjut dia mengatakan, “Menyatakan usul tersebut sah-sah saja dalam negara demokratis. Dia mengklaim akan patuh dan tunduk pada konstitusi”. Gugatan warga negara atas upaya mendesak Jokowi buka mulut soal polimik tersebut. Justru, sebaliknya Jokowi melontarkan statement-statement paradoks, bila diurai dengan nalar kritis.
Menurut pakar politik sekaligus Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitnoucapan, Jokowi yang menyebut bakal patuh terhadap konstitusi tidak cukup dan kata-kata tersebut multitafsir, “yang ditanyakan publik, konstitusi yang kapan? Kalau tunduk pada konstitusi yang ada sekarang, jelas Presiden hanya dua periode, tak boleh lebih. Itu tegas dan clear,” ujar Adi saat dihubungi Tempo, Senin, 7 Maret 2022.
Adi juga menjelaskan, bisa saja konstitusi tentang masa jabatan presiden diamandemen. Apalagi, ketika telah banyak pengesahan Undang-Undang yang berjalan lancar di parlemen, walau sudah mendapat penolakan dari rakyat. Ia menyarankan Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan yang sama seperti saat menolak usulan jabatan tiga periode. Saat itu Jokowi mengatakan pihak yang mengusulkan tiga periode sama saja menampar wajahnya, mencari muka, dan menjerumuskannya.
Dalam negara demokrasi, seorang kepala negara patut menunjukkan sikap keberpihakan ke jalan kebenaran. Tatkala, ingin mewujudkan harapan kehendak umum warganegara. Maka, sebaiknya jangan ada klaim apalagi untuk urgensi jajaran kekuasaan semata. Untuk Indonesia, demokrasi Pancasila identik dengan harapan yang menandai kesadaran moral bangsa Indonesia yang tidak semata-mata mewujudkan impian tetapi keselarasan etika religius yang dituntut oleh warga negara saat ini.
Sementara itu, kinerja DPR yang bobrok terkesan seperti alat bantu stempel pemerintah dan mewakili elit-elit partai. Sampai rakyat mesti menempuh alternatif lain dalam menyampaikan apirasinya. Pengesahan UU Omnimbus, Ciptaker dan UU IKN, termasuk kelangkaan minyak sampai kenaikan harga BBM, segalanya didesain dalam waktu singkat. Terlihat cukup jelas kekuasaan sekarang mengontrolnya. Seperti itu tanda penyebab demokrasi mati. Sebenarnya kemana rasa malunya, seandainya masih bersikeras menghimpun kekuatan politik untuk melanjutkan masa jabatan presiden?
Sungguh terombang-ambing keadaan negara ini. Lalu nasib Indonesia akan seperti apa kelak? Atau akan terulang sama dengan sejarah kekuasaan tirani orde baru? dengan waktu yang berbeda. Tapi dengan kebijakan otoriter yang sama. Mungkin, bisa diperkirakan kalau masih menunjukkan kejelasan kekuatan otoriter dalam merawat negara. Oleh sebab itu, negara akan hancur dengan jalan teritorial yuridis. Tapi tak mungkin sebagai bangsa.
Di tengah wajah dilematis Indonesia, warga negara masih menuntut perihal perbuatan presiden dalam menghiasi pesta demokrasi semestinya. Perlu diingat Indonesia lahir atas pemikiran yang demokrasi. Undang-Undang Dasar 1945, menitipkan peralih kekuasaan harus dilaksanakan dengan demokratis menempuh jalur pemilihan umum berkala. Dengan begitu cara memandang demokrasi hendaknya terjaga. Indonesia bukan suatu negara yang bangun diatas pikiran paranoid, tapi berada dibawah kendali oleh akal sehat. (*)
Sumber foto: GoogleÂ