Satu minggu berlalu pasca tragedi pemukulan oleh oknum satpam di kampus ku, Universitas Alabasta tepatnya. Aku lelap dalam tontonan bukti-bukti penganiayaan tersebut yang kini sudah beredar luas di media sosial. Sesekali ku tatap langit-langit kamarku, sembari membayangkan kebengisan mereka saat itu.
Aku tak habis pikir, hanya sebatas bersuara dan ingin didengar, kami justru mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.
Bukan kawanku yang salah, bukan!. Kata-kata hina dan olokan dari mereka bukanlah menjadi alasan bogem satpam-satpam itu mengarah ke kami.
Aku juga tak habis pikir, Rektor yang selalu kami anggap sebagai ayah di kampus ini justru menutup mata dalam kasus ini, mungkin juga mata hati! Entahlah, Ku harap tidak.
Klise mungkin jika kami meminta keadilan. Kami hanya meminta perlakuan yang sesuai atas apa yang telah kami bayar, atas biaya-biaya operasional yang melejit di kampus ini, dan atas fasilitas yang aku tak tau harus seperti apa ku gambarkan.
Seisi kamarku ini mungkin sudah beralih fungsi menjadi tempat proyeksi pikiranku. Sesaat dinding-dinding di kamarku tiba-tiba menampilkan sosok predator-predator seksual yang rela melampiaskan birahinya ke kawan-kawanku.
“Ahh, dasar brengsek,” ucapku dengan nada kesal.
“Aku?,” Tanya Dono, kawanku yang sedang duduk merokok di sampingku.
Ku tatap sejenak ia dengan ekspresi datar, dan tanpa mengeluarkan sepatah kata-pun.
Aku lebih memilih lelap dalam pikiranku daripada berdebat dengan kawanku satu ini. percuma saja, kami tak akan pernah se-pemikirian.
Sampai detik ini aku masih kebingungan, mengapa satpam-satpam itu begitu bengisnya?. Tidakkah mereka takut akan balasan, akan jiwa-jiwa yang mereka perlakukan seperti binatang. Setau ku mereka tidak buta huruf, mereka hanya enggan membaca.
“Siapa ya dibalik mereka?,” Sahut Dono yang juga tiba-tiba ikut termenung.
“Maksudmu?,” Tanyaku sembari terkaget ketika melihat kawanku yang satu ini tiba-tiba ikut termenung. Tidak biasanya ia seperti ini, biasanya ia hanya akan menaruh perhatian pada hal-hal yang berbau judi, dan mungkin sesekali alkohol ketika ia bosan.
“Iya, siapa dibalik mereka, satpam-satpam itu?,” tanya Dono balik.
“Apa mungkin mereka dilindungi oleh Rektor ya?,” Lanjutnya bertanya sembari menghisap rokok dan menatap langit-langit.
“Entahlah,” jawabku.
Aku tak tau pasti siapa dibalik satpam-satpam brengsek itu. Tapi aku yakin bahwa Rektor-lah yang berdiri di belakang mereka. Meskipun beredar di media, Rektor menganggap dirinya tidak tau menau tentang hal tersebut.
Keyakinanku tak begitu kuat, tapi aku punya logika sederhana untuk dijadikan landasan. Atasan atau sebutlah Rektor bisa mengangkat pegawai dengan kewenangannya. Perintah yang harus diikuti oleh pegawai tersebut adalah mestinya terhadap atasan yang mengangkatnya. tidak mungkin kuasa penuh dipegang oleh pegawai tersebut. Tidak mungkin juga ia mengikuti perintah, atau diperintah oleh Rektor kampus lain.
Meskipun ia membantah karena kelalaian pegawainya, Rektor seharusnya ikut bertanggung jawab karena ia tidak bisa mengendalikan mereka, sehingga mereka lalai.
Sebagian kawanku mungkin pasrah tragedi ini akan di politisasi oleh mereka-mereka yang katanya rela berkorban demi mahasiswa. Iya!, Katanya.
Tapi aku tak tau mengapa, Bukannya memihak kami, justru orang-orang itu memandang kami seperti seorang preman. Ahh bangsat, mereka bukan hanya memandang kami sebagai seorang preman, tapi juga memperlakukan kami seperti mereka.
Aku juga tak habis pikir, kemana mahasiswa/mahasiswi lainnya. Ribuan mereka tertidur melihat kami diperlakukan layaknya seperti binatang. Bahkan kami lebih pantas disebut hewan sirkus dimata mereka.
Mungkin yang kuratapi terlalu klise, karena dianggap masih berjemur di Lembah Idealisme ini. Iya klise!, sebab teriakan di Lembah ini masih belum bisa membangunkan manusia-manusia gua itu.
Aku hanya akan menaruh kompromi terhadap mereka. Mereka orang-orang tua yang menyebut demonstrasi tidak ada kerjaan. Tapi tidak dengan mahasiswa yang apatis, aku menganggap tiada mahasiswa yang buta huruf, dan oleh sebab itu tiada mahasiswa yang tidak tau arti diri sebenarnya. Sudah capek senior-senior gondrong itu menjelaskan apa itu mahasiswa menurutku.
Ahh percuma juga, kawan-kawan mahasiswa lainnya mungkin tidak merasakan kekacauan ini.
Padahal aku begitu kasihan dengan mereka, kawan-kawanku yang kuliah kerja nyata (KKN). Seharusnya Universitas Alabasta ini memberikan suntikan dana kepada mereka. Namun, mereka malah diam saja mengikuti alur yang sudah terjadi, menormalisasi penindasan ini hingga dianggap bukan masalah.
“Kok aku kepikiran ya, masak ada anak buah yang begitu beraninya kalau tidak ada bos dibelakang mereka?,” tanya Dono dengan nada kebingunan.
“Hmm, setau ku ndak ada,” kata ku.
“Nah kan apa ku bilang, masak anak buah gak nurut perintah bos, namanya juga anak buah,” tegasnya sembari menunjukkan ekspresi yang sama ketika ia baru mendapatkan jackpot.
Aku tersenyum sejenak melihat tingkah kawanku satu ini, aku baru ingat ia juga mahasiswa. Setahu ku ia hanya jadi mahasiswa ketika menjelang UAS.
“Ngomong-ngomong bisa juga kamu mikir, kesambet petir ya?,” Tanya ku ke Dono dengan nada keheranan.
“Iya juga ya, kesambet petir zeus kali,” jawabnya sembari tertawa.
“Tapi setelah dipikir pikir, benar juga apa yang sering kamu ucapkan. Kita tak akan tau bahwa kondisi kita sedang tidak baik-baik saja, jika kita tidak mencari tau. Aku rasa jelas sekarang, kita memang ndak baik-baik saja,” simpulnya.
Hingga hari ini aku mengerti satu hal, bahwa semua orang punya keresahan yang sama, punya pertanyan-pertanyaan mendasar yang sama, juga punya kapasitas untuk mencari jawaban akan keresahan dan pertanyaan itu. Namun tidak semua orang memiliki keinginan untuk menggunakan kapasitasnya tersebut. Sebagian dari kita enggan, enggan berpikir, juga melawan.
Kawanku Dono mengingatkan ku satu hal, bahwa pada dasarnya mereka bukan tidak bisa berpikir, tapi enggan untuk berpikir. Mereka bukan tidak bisa merenung tetapi enggan merenung. Sedangkan kita, sudahkan kita merenung?, Merenungi apa yang sedang kita lakukan dan apa yang harusnya kita lakukan. Sebagai Manusia, juga Mahasiswa.
Aku yakin mereka dan kita semua punya kapasitas untuk berdialog dengan diri sendiri. Bertanya tentang batas-batas diri sebagai seorang Rektor, Pegawai, Satpam, dan mahasiswa, juga tentang masa lampau, hari ini dan esok.
“Menurutmu sekelas pak Rektor yang punya gelar pernah mikir gak?,” tanya ku ke Dono dengan nada menguji.
“Ya pernah lah, orang aku aja yang kerjanya main slot masih mikir,” jawab Dono sembari tertawa.
Aku tersenyum mendengar jawaban kawanku ini, selain jawaban tersebut memang ada benarnya, ia juga akhirnya mengakui bahwa kerjaannya hanya main judi slot saja.
“Ehh entar dulu, kalau pak Rektor mikir, kok kayak gini ya?,” Tanya Dono balik sembari menatapku.
Entahlah aku harus jawab apa terhadap pertanyaan kawanku ini, lebih baik aku diam dan membiarkannya mencari jawabannya sendiri.
Disaat-saat seperti ini, Aku tiba-tiba teringat sang Penyair, seorang yang selalu kuanggap guru. Ia bercerita padaku bahwa ia pernah tak sependapat dengan seseorang. tapi dikala orang itu hendak bersuara, ia pastikan orang itu bisa bersuara dengan aman.
Dengan alasan apapun aku tak pernah sudi ada kekerasan diatas suara-suara yang kita lantangkan.
(Zhr).