Oleh: Hasan Ikhtiar Akbar
“ Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal” (Sujiwo Tejo).
Kalimat ini memang cocok digunakan saat sekarang ini. Betapa lucunya negeri ini; orang-orang pintar, tetapi tidak cerdas otaknya. Orang-orang yang tidak mempunyai hati nurani dan etika hanya memikirkan isi perut semata, tanpa memikirkan rakyat biasa yang hidup apa adanya. Orang-orang yang berpendidikan tingi bahkan mengenyam pendidikan di luar negeri terjerat kasus ini. Miris memang. Tetapi tidak. Penulis tidak akan membahas budaya korupsi terlalu mendalam. Penulis akan membahas apa yang apa yang akan pembahasan awal.
Pariwisata berbasis budaya adalah bentuk kegiatan pariwisata yang objeknya adalah kebudayaan. Arti dari budaya itu sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang berasal dari pikiran, adat istiadat, kebudayaan yang berkembang atau pun kebiasaan yang sulit untuk diubah.
Budaya dapat terbentuk dari beberapa unsur yang rumit, seperti sistem agama, adat istiadat, politik, bahasa, perkakas, karya seni dan hal-hal lainnya yang menjadi bagian dari manusia. Budaya memiliki dua bentuk utama yakni kebudayaan material dan kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan material berupa benda-benda fisik yang dibuat oleh manusia. Sedangkan kebudayaan nonmaterial berupa ide-ide yang diciptakan dan dikembangkan oleh manusia.
“Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.491 hasil validasi dan verifikasi hingga desember 2019”(okezone).
Pulau yang dihuni oleh sekitar 268 juta jiwa penduduk ini menjadikan Indonesia negara keempat terbesar di dunia dalam hal populasi, juga yang mengimplikasikan bahwa banyak keanekaragaman, adat-istiadat, budaya, etnis, rumah, pakaian, agama maupun linguistik yang tersebar banyak di dalam negara ini dan memiliki ciri khas tersendiri yang membuat keanekargaman dan muncul sebagai sebuah keindahan yang berharga.“Jumlah cagar budaya yang ada di Indonesia tahun 2018 2.319” (Badan Pusat Statistik).
Tujuan dari wisata berbasis budaya daerah itu sendiri sangat relevan ditengah zaman yang semakin canggih atau modernisasi ini. Tujuannya tidak lain, yakni melestarikan alam, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air dan mempererat persahabatan antar bangsa. Tetapi agar terciptanya dan majunya pariwisata berbasis budaya ini tentu adanya dukungan dari semua pihak, sehingga nantinya bukan hanya sebagai penikmat saja melainkan sebagai penggerak demi melestarikan budaya-budaya yang ada serta demi kemajuan negara Indonesia tercinta.
Budaya Indonesia tersebar di seluruh penjuru nusantara, hal ini yang menjadi daya tarik bangsa-bangsa lain dari belahan dunia untuk mempelajari budaya-budaya yang ada.
Namun, dengan adanya perkembangan zaman yang semakin modern, teknologi yang semakin canggih, selain berbicara mengenai teknologi yang menjadikan kehidupan manusia yang semakin baik dan efisien. Di satu sisi, teknologi juga berdampak buruk pada generasi milenial yang cendrung apatis terhadap budaya yang ada. Generasi milenial sekarang cendrung bersifat individual, ruh kemanusian telah memudar dari sisi kehidupan manusia yang ada sekarang adalah manusia hidup seperti robot yang diatur dan dipermainkan oleh teknologi yang semakin modern.
August Comte sebagai seorang sosiolog juga berpendapat modernisasi berbahaya bagi budaya dan tertib sosial, karena spirit modernisasi menciptakan manusia yang individualistik. Ia juga berpendapat bahwa krisis budaya sosial yang dihadapi oleh masyarakat eropa pada waktu abad pencerahan disebabkan karena individualisme. Manusia adalah nonrational. Oleh karena itu, individual liberty justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Alam mengikat manusia dengan cara memangku dan menghidupinya, sedangkan teknologi mencengkram manusia dengan memberikan kemudahan-kemudahan, kenikmatan-kenikmatan tertentu dan secara bersamaan menekan dan merusaknya, hingga manusia tidak mampu lagi menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap teknologi modern.
Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa pentingnya menghidupkan dan menjaga budaya-budaya yang ada melalui sektor pariwisata atau yang sering didengar dengan sebutan pariwisata berbasis budaya. Mengapa? karena pariwisata mampu menopang kebudayaan yang ada bahkan sanggup melestarikan dan mengembangkan kebudayaan itu sendiri sehingga layak dilihat oleh dunia internasional, dan ini akan menjadi sebuah keuntungan tersendiri dalam peningkatan perekonomian daerah. Kebudayaan wayang, misalnya.
Wayang merupakan budaya Indonesia yang sudah familiar didengar, bahkan wayang sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia pada tahun 2003 dan telah dikenal luas oleh masyarakat dunia, bahkan orang asing belajar wayang.
Kemudian dalam beberapa waktu yang lalu masyarakat yang katanya cinta terhadap budaya-budaya yang ada marah karena adanya pengklaiman atau pencurian terhadap budaya Indonesia. Hal ini sebenarnya terjadi kesalahan masyarakat Indonesia sendiri yang kurang memperhatikan kebudayaan negeri sendiri atau bahkan tidak memperhatikan sama sekali sehingga dengan mudahnya negara lain menganggap bahwa budaya ini milik mereka.
Ibarat sebuah rumah, bila tidak dijaga dan tidak mengunci pintu, maka pencuri akan bisa masuk dengan leluasa. Maka dari itu sebagai pemilik seharusnya memberi perhatian lebih terhadap budaya-budaya yang ada, apalagi di tengah gempuran-gempuran budaya asing yang saat ini melanda Indonesia.
Salah satu cara melestarikan yang paling mudah dan tentunya memberikan manfaat bagi semua aspek di Indonesia terutama perekonomian ya dengan cara mengembangkan pariwisata berbasis budaya itu sendiri. (*)