Oleh : Pipit Kusniati, Mahasiswi FH Unram
Perempuan dalam bahasa sansekerta diambil dari kata Per memiliki arti makhluk, empu yang berarti mulia, dan Tuan yang berarti mahir. Namun dalam bukunya Zaitunah Subhan perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai.
Kajian tentang perempuan bukan hal yang asing kita bincangkan di era sekarang. Pembahasan tentang perempuan menjadi pembahasan yang sering kali dilakukan, hal ini dapat kita lihat di berbagai wadah keperempuanan yang ada, terutama di era globalisasi sudah banyak yang membuktikan peranan penting perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak terjadi problematika tentang Tindakan diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan gender.
Laki-laki dan perempuan dianugerahi kemampuan yang sama oleh tuhan. Anatomi Perempuan jelas berbeda dengan laki-laki. Struktur tubuh perempuan umumnya lebih lemah, tetapi sejak bayi hingga dewasa, perempuan memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat. Perempuan umumnya dicitrakan atau mencitrakan dirinya sebagai makhluk yang emosional dan cenderung lebih banyak bicara dibanding laki-laki karena memiliki struktur mudah menyerah, pasif, subjektif, lemah dalam matematika, mudah terpengaruh, lemah fisik. Sedangkan Laki-laki dicitrakan dan mencitrakan dirinya sebagai mahluk yang rasional, logis, mandiri, agresif, kompetitif, objektif, senang berpetualang, aktif, memiliki fisik dan dorongan seks yang kuat.
Dalam hal psikologis, dapat dilihat bahwasannya perempuan adalah mahluk yang lemah lembut dan mudah terpengaruh karena perempuan selalu mengedepankan perasaannya, dalam hal fisik, perempuan umumnya lebih lemah di banding laki-laki seperti yang dibahas diatas, secara realita dari hasil pandangan dan bacaan psikologis perempuan ini cenderung melakukan segala sesuatu dengan detail dan menggunakan hati, sampai saat ini berbicara tentang psikologi perempuan masih merupakan topik menarik, karena perempuan dalam cita, citra, cinta, dan cerita masih menjadi pembahasan yang sensitif yang sering kali memicu pro dan kontra.
Perempuan dikenal sebagai mahluk perasa, memiliki kepekaan yang lebih tinggi dan Perempuan identik dengan kelemahlembutan, 95% perempuan lebih banyak mendahulukan perasaan (hati) di banding logikanya. Selain itu juga perempuan adalah seorang manusia yang memiliki dorongan keibuan yang berhubungan erat dengan sifat keibuan yang merupakan dorongan instinkif dengan sejumlah kebutuhan organik dan fisiologis.
Hal tersebut diatas merupakan suatu kelebihan yang dimiliki oleh perempuan, namun menjadi boomerang bagi masyarakat. masyarakat menganggap Bahwa hal tersebut merupakan kelemahan yang dimiliki perempuan sehingga tidak dipercaya untuk melakukan hal besar terutama untuk ikut serta dalam dunia politik. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik masih belum memenuhi kuota yang disediakan.
Hal tersebut membangkitkan gairah kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya dengan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, dibuktikan dengan banyaknya ruang-ruang bagi perempuan untuk mengembangkan potensi yang ada. Seiring berjalannya waktu, banyak muncul para pejuang perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Mereka memimpin organisasi-organisasi. Pemimpin organisasi-organisasi tersebut dalam berbagai kegiatan pembangunan, yang dilaksanakan oleh masyarakat, pemerintah dan institusi lainnya. Dalam konteks politik, organisasi-organisasi yang melatih dan meningkatkan kapasitas diri perempuan ini merupakan jaringan yang efektif untuk merekrut kendidat anggota legislatif. Pada pemilihan umum pertama, tahun 1955, beberapa calon anggota legislatif perempuan merupakan anggota organisasi perempuan yang berafiliasi pada partai. Pada pemilu berikutnya, ada kecenderungan bahwa kandidat anggota legislatif berasal dari kalangan pimpinan organisasi-organisasi perempuan yang bernaung di bawah partai atau berafiliasi dengan partai. Karena kiprah merekalah perempuan sudah mulai diakui di masyarakat.
Diketahui kedudukan perempuan di masa silam memberikan dampak yang luar biasa bagi eksistensi perempuan sampai sekarang. Perempuan hanya dicaci maki karena dianggap kaum lemah, disubordinasikan karena aturan sosial yang berlaku, bahkan dijadikan pemuas nafsu. Oleh karena itu, problematika di masa lampau menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan untuk membuktikan bahwasannya mereka mampu melakukan segala hal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai manusia, terutama dalam dunia politik.
Kurangnya keterwakilan perempuan di dunia politik disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Salah satunya adalah seperti yang disebutkan diatas. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Keterwakilan perempuan dalam ranah politik sangat dibutuhkan karena perempuan memiliki sifat yang teliti, multitasking, dan lebih peka terhadap lingkungan disekitarnya.
Keterlibatan perempuan sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang PEMILU. Dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik juga sudah ada Peningkatan, hal tersebut didorong melalui tindakan afirmatif sekurang-kurangnya 30% keterwakilan di partai politik, lembaga legislatif, maupun di lembaga penyelenggara pemilu. Dalam Tindakan kebijakan afirmasi tersebut adalah suatu Langkah yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan unduk mendapatkan ataupun memperoleh peluang yang sama dan tidak ada yang membedakannya. Dalam hal ini perempuan diikut sertakan karena peranan perempuan sangat dibutuhkan dalam mengisi kursi-kursi politik.
Rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen menyebabkan beredarnya isu-isu tentang perempuan yang dimana kuota 30% itu belum terisi penuh oleh perempuan itu sendiri, sedangkan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik itu sudah di berikan peluang yang cukup besar.
Dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Namun kenapa keterlibatan perempuan ini belum terpenuhi?
Saat ini partisipasi perempuan Indonesia masih di bawah 30%. Pentingnya peningkatan partisipasi perempuan supaya pengambilan keputusan politik yang lebih akomodatif dan substansial. Selain itu, menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik, “ orang yang sama Cuma dibedakan jenis kelamin. Tapi persepsi orang ‘perempuan sukses enggak di sukai, laki-laki sukses dipuja-puja’. Karenanya terkadang kita perempuan malu menunjukan kita sukses dan itu terbawa sampai sekarang,” ( Najwa Syihab ).
Secara Realita yang ada hingga hari ini persoalan perempuan secara umumnya adalah menempatkan bahwa perempuan Indonesia mengalami ketimpangan sosial dan budaya. Anggapan bahwa kaum laki-laki sebagai pemimpin memang masih melekat dikalangan masyarakat. Perbedaan aspek yang ada di masyarakat, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini menjadi persoalan bahkan tantangan bagi perempuan meningkatkan kepercayaan diri guna mengembangkan potensi yang pada dirinya. Sehingga, perempuan dapat memenuhi kursi-kursi politik. Banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan baik dari dirinya maupun dari lingkungannya.
”Dalam ranah politik perempuan sudah di sediakan 30% kuota akan tetapi perempuan belum mampu memenuhi kuota sebanyak 30%, berdasarkan data proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75% dari populasi. Sayangnya, besar populasi perempuan tersebut tidak terdistribusi dalam kursi parlemen. Kuota perempuan dalam kursi DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan kuota yang berikan kepada laki-laki. Lalu mengapa keterwakilan perempuan dalam dunia politik masih kurang dan belum memenuhi kuota yang usahakan oleh pemerintah? Sedangkan dalam undang-undang sudah menyatakan bahwa adanya keterwakilan perempuan itu sudah di jadikan suatu kebijakan dalam UU NO. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan ditingkat pusat.
Keterwakilan perempuan dalam ranah politik masih belum memenuhi kuota yang telah ditentukan. Keterwakilan perempuan dalam dunia politik saat ini sudah lebih meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya saat ini masih terhitung sekitar 21,39% dan masih dibawah target, padahal populasi perempuan di Indonesia cukup banyak. Dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: „‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟.namun kuota 30% yang di sediakan belum mampu meningkatkan elektabilitas perempuan secara signifikan.
Dalam dunia politik laki-laki saat ini bisa lebih unggul dibanding perempuan dalam menduduki kursi-kursi politik. Pertanyaannya, mengapa laki-laki lebih unggul dari pada perempuan? Karena banyak pemimpin-pemimpin dari tingkat bawah hingga tingkat teratas itu hampir 70% laki-laki. Jadi, Sebagian besar dari kadidat ataupun bakal calon dari partai-partai politik itu dominan diisi oleh laki-laki. sehingga hal ini cenderung membuat perempuan kurang percaya diri untuk ikut serta dalam ranah politik.
Aturan sosial memberikan peran perempuan untuk berada di ranah domestik sebagai ibu dan istri, pengambilan keputusan dalam keluarga masih didominasi oleh laki-laki. Karena hal tersebutlah perempuan cenderung tidak dipercaya terlebih dalam ranah politik, sehingga perempuan sering dianggap remeh. Jika dilihat lebih jauh perempuan memiliki banyak peran, seperti yang penulis kaji sesuai dengan fakta empiris. Yaitu: Menjadi seorang anak, Menjadi seorang istri, Menjadi seorang ibu, Menjadi tokoh masyarakat.
Menurut hemat Penulis ada beberapa faktor penghambat yang membuat kurangnya keterwakilan perempuan dalam ranah politik, yaitu:
pertama, Budaya Patriarki. Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Selanjutnya di dalam Pasal 28D Ayat (3) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Masih melekatnya budaya patriarkis di tengah masyarakat, dan masih kuatnya dominasi laki-laki termasuk dalam bidang politik dan pandangan masyarakat-masyarakat awam terhadap perempuan-perempuan yang sangat ambisius dalam beraktifitas di luar rumah itu sangat lah buruk bagi mereka. Terlebih lagi di pelosok. Jika seorang perempuan pulang larut malam itu akan dituding sebagai perempuan nakal dan tidak benar, persepsi demikian harus kita hilangkan dan diluruskan. Selain itu, kedudukan perempuan juga selalu disubordinasikan sehingga muncul persoalan keadilan gender.
Kedua, kurangnya dukungan dari sesama perempuan. Support/dukungan dari sesame perempuan sangatlah penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Dukungan antar sesama perempuan sangat dibutuhkan untuk saling membangun dalam memperjuangan keadilan gender. Namun, banyak perempuan yang saling menjatuhkan dan merendahkan satu sama lain. Padahal perempuan seharusnya saling menggenggam agar tidak adanya persaingan-persaingan yang tidak sehat di antara perempuan. Hal-hal tersebut akan memberikan dampak yang besar untuk keberlangsungan pengembangan potensi yang ada pada diri perempuan.
Ketiga, Insecure/Kurang percaya diri. Rasa insecure sering kali terjadi pada perempuan terlebih perempuan merupakan mahluk peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Insicure/ kurangnya rasa percaya diri muncul karena adanya trauma dimasa lalu yang menganggap bahwa dirinya tidak mampu melakukan sesuatu. Misalnya, seorang perempuan dan laki-laki yang ingin mencalonkan diri menjadi ketua suatu kelompok/organisasi, perempuan akan pasti akan berpikir bahwa dirinya akan kalah dan tidak akan mampu karena lingkungan disekitarnya akan lebih percaya kepada laki-laki tersebut. insicure dan takut dalam memimpin dan menduduki kursi politik salah satunya akan timbul karena hal tersebut.
Keempat, Faktor Ekonomi dan partai politik. Faktor ekonomi ini sendiri salah satu hambatan bagi perempuan untuk ikut serta dalam ranah politik, karena mayoritas kelas elit akan memprioritaskan laki-laki. Untuk terjun ke dunia Politik membutuhkan biaya yang banyak. Oleh karena itu, perempuan harus memiliki finansial yang mumpuni. Persoalan partai politik, partai politik merekrut perempuan menjadi calon anggota legislatif tidak objektif dalam menilai kemampuan yang dimiliki oleh perempuan.
Kelima, Kurangnya pengetahuan. Kurangnya pengetahuan perempuan tentang politik, sehingga Partai politik tidak menyediakan program pemberdayaan dan peningkatan kualitas kader perempuan. Sehingga, partai hampir tidak memiliki kader perempuan yang berkualitas yang dapat mengimbangi laki-laki. Banyak caleg perempuan yang diusung oleh partai politik belum memiliki kompetensi yang baik dalam bidang politik. Perempuan harus mempunyai kualitas yang baik. Menggeluti Pendidikan tinggi untuk ikut membangun bangsa. Sehingga, perempuan dapat mendapatkan pengetahuan diberbagai bidang ilmu khusunya ilmu politik. Hal ini dilakukan agar perempuan mampu memenuhi kuota 30% atau bahkan lebih dari itu. Oleh karena itu, perempuan harus mampu mengembangkan kualitas diri sehingga dapat menjadi rule model untuk investasi generasi yang akan datang.
Partisipasi keterwakilan perempuan sangat penting dalam dunia politik agar pengambilan keputusan politik akomodatif dan substansial guna menjunjung tinggi nilai demokrasi. hak-hak inilah yang harus diperjuangkan oleh perempuan demi tercapainya keadilan gender.