Sejak dilantik pada 8 Maret lalu, Rektor Universitas Mataram (Unram), Prof. Ir. Bambang Hari Kusumo, M. Agr.St., Ph.D banyak melakukan perubahan dalam hal kebijakan. Baik yang bersifat baru maupun merevisi kebijakan Rektor sebelumnya. Genap sudah 6 bulan kepemimpinanya sampai saat ini, tentu saja dalam tempo yang bisa dibilang singkat, patut kita acungkan jempol untuk perubahan-perubahan di Unram. Seperti program percepatan pasca sarjana dan sinergitas dengan lembaga lain yang terus dilakukan.
Tetapi dalam tulisan ini, saya tidak ingin memuji berlebihan, pasalnya dari banyak kebijakan yang sudah dikeluarkan sampai hari ini, ada juga kebijakan-kebijakan dan pelayanan birokrasi terhadap mahasiswa yang belum demokratis dan berkeadilan.
Hal tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Rencana program Self-Access Language Learning (SALL) di setiap fakultas dan pemberlakuan tes TOEFL untuk Calon Mahasiswa Baru Universitas Mataram 2022. Prihal rencana dan kebijakan tersebut, untuk arah dan tujuanya harus diakui positif untuk kemajuan universitas, terutama bagi mahasiswa dan dosen. Tetapi disisi lain, sampai saat ini belum ada kejelasan kapan tepatnya program SALL ini akan direalisasikan, hal tersebut juga berkesinambungan dengan pemungutan biaya bagi Calon Mahasiswa Baru yang diwajibkan untuk mengikuti tes TOEFL. Pengawalan kebijakan dan penyampaian aspirasi juga sudah dilakukan saat audiensi forum BEM Se-Unram kepada pihak birokrasi beberapa bulan lalu, dimana salah satu tuntutannya adalah menghapus komersialisasi pendidikan dalam pemberlakuan kebijakan, yang dalam hal ini adalah pembayaran pendaftaran tes TOEFL bagi calon mahasiswa baru.
Jika memang tujuannya untuk mengetahui kemampuan bahasa Inggris calon mahasiswa baru, pemberlakuan biaya pendaftaran tes TOEFL seharusnya bisa digratifikasi atau setidaknya dikurangi tarif biayanya, mengingat yang melaksanakan tes tersebut juga dalam jumlah yang cukup besar. Ditambah lagi, jika dari biaya yang dikeluarkan tersebut, itu hanya akan berguna untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan rata-rata mahasiswa baru dalam hal bahasa Inggris, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai syarat yudisium karena skor yang diperoleh lebih banyak dibawah standar juga sertifikat yang diberikan memiliki batas waktu dalam hal penggunaannya. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa antara tarif biaya pendaftaran tes TOEFL dengan fasilitas yang didapatkan oleh calon mahasiswa baru, tidak sama dengan tujuan dan manfaat tes TOEFL pada umumnya. Selain itu, seharusnya sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut, Rektor mempunyai rencana strategis yang jelas terkait perealisasian program SALL ini, terkhusus sebagai keberlanjutan dari pemberlakuan tes TOEFL bagi calon mahasiswa baru.
2. Pemberlakuan kebijakan penggunaan kartu sakti yang merugikan mahasiswa. Terkait kebijakan ini, pada tahun sebelumnya, Universitas Mataram mengeluarkan kebijakan pembebasan IPI bagi calon mahasiswa baru jalur mandiri yang mempunyai Kartu Indonesia Pintar (KIP), tetapi pada tahun ini kondisinya sangat berbeda, pasalnya untuk mendapatkan pembebasan IPI, calon mahasiswa baru disyaratkan mempunyai 3 kartu sakti (KIP, PKH, dan KKS). Dari keterangan Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum Universitas Mataram, perubahan kebijakan tersebut terjadi karena pada tahun sebelumnya ditemukan fakta bahwa kepemilikan KIP bisa diperoleh dengan sangat mudah oleh mahasiswa yang jelas-jelas mampu, sehingga indikator mahasiswa tidak mampu belum bisa terbukti dengan hanya mempunyai KIP saja. Berkaitan dengan kebijakan tersebut, yang menjadi titik persoalan dilematisnya adalah indikator pengukuran ketidakmampuan calon mahasiswa baru yang tidak valid dari pihak birokrasi.
Mengacu pada peraturan Kemenristekdikti No 10 Tahun 2020 Tentang Progam Indonesia Pintar Pasal 4 ayat 2 yang menyatakan, “ Anak yang termasuk dalam prioritas sasaran Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan Oleh sekolah, sanggar kegiatan belajar, pusat kegiatan Belajar masyarakat, lembaga kursus, lembaga pelatihan, Atau pemangku kepentingan”. Jika merujuk pada peraturan diatas, bisa dipahami bahwa kepemilikan KIP oleh calon mahasiswa baru bisa dipertanggung jawabkan kevalidan datanya, karena mereka tidak hanya mendaftar, lalu lulus, dan dengan mudahnya mendapatkan kartu tersebut, melainkan sudah melalui proses pendataan kelayakan oleh stake holder terkait pada kementerian atau dinas yang bertugas. Berangkat dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernyataan birokrasi mengenai kepemilikan KIP yang belum bisa membuktikan calon mahasiswa baru tidak mampu merupakan pernyataan spekulatif yang berdasar pada data yang belum jelas dan bersifat merugikan bagi calon mahasiswa baru yang memiliki KIP atau kartu sejenis yang memiliki fungsi yang sama, yaitu PKH dan KKS.
Selain itu, kebijakan birokrasi yang mensyaratkan harus memiliki 3 kartu sakti (KIP, PKH, dan KKS) sehingga calon mahasiswa baru bisa bebas IPI sangat tidak ideal dan memaksakan, karena pada realitanya, banyak mahasiswa yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi, tetapi tidak mempunyai tiga kartu tersebut. Jika memang benar pihak birokrasi menemukan data beberapa pemilik KIP yang berasal dari keluarga mampu, hal itu juga tidak bisa menjadi dasar untuk meratakan persepsi bahwa semua pemilik KIP masuk pada kategori mampu.
Kembali pada realita hari ini, Kebijakan Universitas prihal penggunaan tiga kartu sakti pada jalur mandiri sekarang menyebabkan banyak mahasiswa yang benar-benar tidak mampu tetapi memiliki salah satu dari 3 kartu sakti tersebut menjadi tertekan dan terlilit karena mendapatkan besaran IPI yang jauh dari kemampuan keluarganya.
Jelas hal ini harus menjadi atensi universitas untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah dikeluarkan. Selain itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan peraturan Kemenristekdikti No 05 tahun 2020 pasal 10 ayat 2 yang menegaskan bahwa “Iuran Pengembangan Institusi (IPI) sebagai pungutan dan/atau pungutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dikenakan bagi mahasiswa yang secara ekonomi tidak mampu”.
3. Rektor universitas Mataram hari ini sangat sulit untuk mau bertemu dan berdialog dengan mahasiswa. Sebagai pimpinan tertinggi Universitas, selain menjalankan tugas kelembagaan untuk mengembangkan institusi, seorang Rektor juga berkewajiban untuk mendengarkan aspirasi dan keluhan mahasiswa. Hal itu juga menjadi tanggung jawab etis seorang Rektor dalam memberikan keteladanan kepemimpinan yang demokratis bagi seluruh mahasiswa. Tetapi yang terjadi sampai hari ini, 6 bulan catatan kepemimpinanya, sang Rektor sangat sulit untuk diajak bertemu dan berdialog oleh mahasiswa, hal ini tidak terjadi sekali, tapi berulang kali Selain itu, jika menilik kembali kepemimpinan Rektor sebelumnya, yakni Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni S.H., M.Hum, beliau bisa dikatakan sangat mudah untuk diajak berdialog dan bertemu dengan mahasiswa, tetapi yang terjadi pada kepemimpinan
Rektor Universitas Mataram hari ini adalah sebaliknya. Seyogyanya, bagaimanapun padatnya jadwal Sang Rektor, menemui mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi dan permasalahan haruslah dijadikan prioritas dalam menjalankan tugasnya. Karena bagaimanapun, sehebat-hebatnya seorang Rektor, tidak bermakna apa-apa jika bukan dengan kehadiran mahasiswanya. Jika benar rektor berkomitmen menjadikan Unram berbasis Internasional 2025, mari evaluasi kebijakannya! Benarkah telah menyejahterakan mahasiswa?!
Penulis: Muhammad Ilham, Dirjen Advokesma Kemendagri BEM Unram 22