Oleh: Abdul Fattah
Pengurusan klaim asuransi kesehatan di Klinik Unram terlalu ruwet dan birokratis. Hanya untuk sekedar mengklaim penebusan biaya perawatan mahasiswa, klinik Unram menyampaikan alur yang absurd dan menyiratkan keengganan untuk melayani penebusan klaim asuransi perawatan di RS Unram.
Seperti AS, mahasiswa Fakultas Hukum UNRAM yang dirawat di UGD RS UNRAM, Minggu (30/1) malam. Pada saat perawatan, AS mengatakan dirinya merupakan bahwa ia adalah mahasiswa FH UNRAM. Dia juga menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM).
Petugas di RS menyampaikan bahwa seluruh biaya obat dan perawatan di RS UNRAM dapat di klaim penebusan atas biaya perawatan di Klinik Unram. Namun, fakta di lapangan berbeda dengan yang disampaikan.
Senin (31/1) sore, dilakukan klaim oleh penulis atas biaya perawatan di Klinik Unram. Saat diklaim, petugas yang melayani di klinik Unram menyampaikan bahwa pelayanan hanya dilangsungkan dari pukul 09.00 hingga 12.00 siang.
Setelah itu, pihak Unram menyarankan kembali pada Rabu (2/2) untuk memperoleh pelayanan. Penulis membaca gelagak birokratis dan ruwet dalam pengurusan klaim ini. Dan itu benar-benar terkonfirmasi.
Keesokan harinya, pagi menjelang siang, sekitar pukul 11.00 Wita, penulis kembali menuju klinik untuk melakukan klaim atas biaya perawatan di RS UNRAM dengan membawa persyaratan berupa kuitansi dan KTM. Sesampai di lokasi, pertanyaan pertama yang dilayangkan adalah “Kapan pasien dirawat?”.
Selain itu, pertanyaan lain yang diajukan, “Kenapa baru melakukan klaim?,” dengan nada sinis. Kedua pertanyaan itu menandakan seolah ada konsekuensi bahwa klaim dapat ditolak apabila mahasiswa telat melakukan pengajuan. Jelas, pertanyaan itu dapat dibaca sebagai gelagak untuk tidak mengakomodir kepentingan mahasiswa.
Alih-alih memberikan pelayanan, petugas klinik malah mengharuskan mahasiswa untuk menyertakan fotocopy KTM, bukti pembayaran UKT atau kartu KIPK. Akhirnya penulis tunduk pada alur birokratis yang ruwet itu. Padahal informasi ini seharusnya disampaikan sebelumnya, atau setidaknya ditempel sebagai informasi mutlak pengurusan klaim biaya kesehatan.
Seusai mengurus segala persyaratan tersebut, penulis kembali menuju ke Klinik Unram. Sesampainya di sana, penulis diperintahkan untuk menghadap petugas yang bertanggung jawab atas klaim biaya kesehatan.
Disinilah alur birokratis dan keengganan untuk melayani dan mengakomodir kepentingan mahasiswa itu benar-benar terkonfirmasi. Petugas yang melayani klaim biaya kesehatan menyampaikan pertanyaan tentang penyakit yang diderita, padahal itu bisa saja langsung dibaca dari kuitansi perawatan kesehatan di RS UNRAM yang diserahkan.
Rupanya itu juga gelagak lain untuk menolak klaim atas biaya kesehatan. Setelah disampaikan tentang penyakit yang diderita, petugas menyampaikan bahwa penyakit itu tidak termasuk penyakit yang emergency, sehingga tidak bisa dilakukan klaim biaya kesehatan. Pernyataan ini mengherankan penulis, sebab selama ini, tidak ada informasi mengenai kualifikasi tentang klaim kesehatan sebagaimana yang disampaikan petugas tersebut.
Saat penulis mempertanyakan tentang alasan pernyataan dan peraturan itu, petugas hanya menyampaikan bahwa itu memang sudah peraturan di sini. Penulis menyampaikan bahwa sebagai sebuah institusi, harusnya ada dasar hukum (peraturan) yang mengatur tentang ketentuan yang disampaikan oleh petugas itu, sebab jika tidak, maka itu ilegal.
Petugas itu berdalih bahwa dia tidak mengetahui dasar hukum yang mengatur tentang ketentuan kualifikasi penyakit yang dapat diklaim. Dengan lisannya, hanya disampaikan bahwa “Di sini memang sudah begitu”. Bagaimana mungkin petugas sebuah institusi tidak mengetahui peraturan intitusinnya sendiri.
Peraturan yang membatasi hak mahasiswa atas pelayanan kesehatan itu bahkan tidak diketahui oleh petugas yang membatasi klaim kesehatan tersebut. Padahal, petugas yang melayani perawatan dan pembayaran di RS Unram menyampaikan bahwa seluruh biaya perawatan dapat diklaim di klinik.
Alih-alih memperoleh klaim biaya kesehatan, penulis malah memperoleh dalih-dalih yang menolak pengurusan klaim tersebut, disampaikan bahwa petugas di RS UNRAM memang tidak tahu apa-apa tentang ketentuan tersebut. Hal ini secara telanjang menyiratkan absurditas alur komunikasi antar lembaga di UNRAM.
Bagaimana mungkin menghendaki mahasiswa menerima dan mengetahui ketentuan tersebut bila antar lembaga kesehatan di lingkungan Unram saja tidak mengetahui tentang ketentuan. Pada akhirnya, saat dipertanyakan tentang solusi dan jalan keluar, petugas itu tidak memberikan solusi apapun. Penulis hanya diperintahkan untuk menunggu dan bicara langsung dengan kepala Klinik. Daripada harus menunggu dalam ketidakpastian, penulis memilih kembali, mengurungkan niat untuk mengurus hal tersebut. Toh paling-paling penulis akan kembali diperhadapkan dengan alur birokratis yang absurd dan ruwet.
Penulis berpendapat, bahwa ada banyak mahasiswa yang bernasib sama, yang haknya atas pelayanan kesehatan terbatasi oleh kualifikasi ketentuan absurd yang bahkan tidak bisa disampaikan landasan hukumnya (peraturan). Hak-hak dan tanggungan atas kesehatan yang seharusnya diperoleh oleh mahasiswa unram terbatasi oleh ketentuan tersebut.
Unram hendaknya segera mengevaluasi dasar hukum (peraturan) tentang pelayanan kesehatan mahasiswa Unram. Lebih dari itu, petugas-petugas yang melayani akses atas kesehatan di Klinik Unram harus lebih humanis, mampu dengan profesional dan penuh perhatian memenuhi tugas kemanusian sebagai penjaga kesehatan dan keselamatan mahasiswa Unram.
Petugas-petugas yang dehumanis, birokratis dan menampakan keengganan untuk melayani mahasiswa harusnya dicopot saja, bersama dengan kepala Klinik Unram yang bertanggung jawab atas segala hal tersebut.