Pada renjana yang menggelap, juga perasaan yang hampir hirap. Kau bawakan aku duri setajam tombak. Entah untuk apa, yang pasti hatiku ngeri melihatnya.
“Mengapa kau tiba-tiba datang dan buat hatiku ngilu, Tuan?”
Kau terdiam, seakan tak mengerti kau tengah menyayat hatiku perlahan.
“Apa itu, Nona? Tidakkah aku sudah menjadi teman yang baik?”
Teman. Ya memang harusnya apa? Kenapa aku harus bersedih ketika kamu melabeliku sebagai seorang teman? Kenapa aku ingin hal yang lebih?
“Jadi selama ini hanya teman, Tuan?”
Tubuhku seakan kehilangan jiwanya, terhempas nyawaku entah kemana. Hatiku pun begitu, terburai dengan keadaan yang menyedihkan. Retak dan patah.
“Lalu apalagi, Nona? Aku tidak mampu menyajikanmu sebuah hubungan yang lebih indah selain teman,” katamu lesu, aku juga.
Air mataku sudah luruh sedari awal percakapan ini, aku sudah menduga semuanya. Apa yang aku pikirkan ternyata tidak sepenuhnya salah. Kamu memang tak pernah anggap perhatianku lebih dari kata teman.
“Baiklah, Tuan. Akan aku perlakukan engkau sebagaimana aku perlakukan teman-temanku.”
Aku tak bisa terus berada di lingkaran cinta sendiri ini, aku harus bergerak maju. Ya, aku harus memperlakukannya seperti teman-temanku yang lain.
“Tidur yang nyenyak, Tuan. Aku suka baumu yang sekarang,” bisikku padamu yang sudah tertidur tenang.
Gudang tua, 2021.