Mandalika, MEDIA — Sekelompok pasukan keamanan gabungan mendatangi kawasan Pantai Tanjung Aan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, pada Minggu (15/6). Mereka menyisir warung-warung milik warga sambil mengantarkan surat peringatan pengosongan lahan atas nama Vanguard, satuan keamanan yang mengaku mewakili investor Mandalika.
Surat tersebut mencantumkan batas waktu 14 hari bagi warga untuk mengosongkan area usaha mereka. Dalam surat itu, disebutkan bahwa Vanguard ditunjuk untuk melakukan land clearing di wilayah pesisir Pantai Tanjung Aan hingga Batu Kotak. Namun, keberadaan Vanguard sebagai pelaksana penggusuran menimbulkan tanda tanya, mengingat kelompok ini bahkan tidak terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) Lombok Tengah.
PT. ITDC disebut telah menyerahkan proses pengosongan lahan kepada pihak ketiga, yaitu investor, yang dijalankan oleh tim pelaksana dari Vanguard. “Alih-alih menghormati eksistensi dan aspirasi masyarakat terdampak, PT. ITDC dan pemerintah justru tanpa konsultasi, sosialisasi, serta mekanisme dan prosedur yang tepat telah menyerahkan proses pengosongan lahan kepada pihak ketiga,” tertulis dalam pernyataan pers Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) Wilayah NTB.
Adi Wijaya, warga sekaligus pengelola warung makan di kawasan tersebut, menyatakan bahwa tanah warisan keluarganya belum pernah dibebaskan, meski ITDC mengklaim lahan tersebut sudah masuk dalam HPL mereka. “Tanah Orang Tua Saya tidak pernah dibebaskan, tapi ITDC selalu mengklaim tanah Kami clean and clear dan sudah dimasukkan dalam HPL mereka,” ucap Adi.
Ia juga mengaku sering didatangi aparat keamanan serta orang-orang tidak dikenal pada malam hari. “Cara-cara seperti ini dulu sering dilakukan untuk menakut-nakuti warga agar hilang rasa aman dan nyaman, hingga ‘seolah-olah pergi dengan sendirinya secara sukarela’,” jelasnya.
Kartini, pengelola kafe di kawasan pesisir, turut menyampaikan keresahannya. “Jika orang asing boleh berusaha di sini, kenapa kami tidak? Padahal kami juga memiliki izin dan membayar pajak usaha kepada pemerintah daerah Kabupaten Lombok Tengah,” ungkap Kartini. Ia juga mengatakan, “Berkali-kali petugas ITDC bersama aparat keamanan mendatangi Saya, menyampaikan bahwa kami akan digusur.”
Pernyataan tegas juga disampaikan Habibi, SH., kuasa hukum dari Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH NTB). Menurutnya, terdapat dua masalah pokok di wilayah ini: konflik lahan yang belum terselesaikan dan pengabaian hak sosial-ekonomi warga terdampak.
“Dalam proses pembebasan lahan di seluruh kawasan ini, tidak pernah dijalankan secara adil dan transparan, sehingga banyak menyisakan masalah yang selalu dijawab oleh ITDC dengan ‘clean and clear’, padahal belum tuntas,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penggusuran atau pembebasan lahan hanya boleh dilakukan oleh pemerintah daerah atau PT. Injourney Tourism Development Corporation (TDC), bukan oleh pihak ketiga atau investor. “Tidak boleh ada pihak lain selain pemerintah, terutama Pemerintah Daerah dan ITDC melakukan land clearing terhadap tanah yang diklaim sebagai HPL ITDC,” tambah Habibi.
KPPII NTB menilai, pola intimidatif, tidak transparan, dan tidak adil masih terus digunakan ITDC dalam proyek pembangunan di KEK Mandalika. Mereka mendesak agar forum terbuka segera diselenggarakan, ruang dialog dibuka, dan hak-hak warga dipulihkan.
(rfi)