Pelecehan seksual menurut komnas perempuan dikutif dari tempo.co merupakan tindakan bernuansa seksual, baik melalui kontak fisik maupun non-fisik. Pelecehan seksual membuat seseorang merasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental.
Secara sekilas, mungkin pelecehan seksual dan kekerasan seksual merupakan sesuatu hal yang sama, namun kekerasan seksual cakupannya lebih luas dan pelecehan seksual merupakan bagian dari kekerasan seksual. Adapun yang dimaksud dalam kategori kekerasan seksual yaitu tertuang dalam pasal 4 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual(TPKS) yaitu a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual ;h. perbudakan seksual; dan. i. kekerasan seksual berbasis elektronik.
Menurut data organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) tahun 2017, bentuk pelecehan seksual dapat berupa tindakan serangan seksual, berupa pemerkosaan (termasuk pemerkosaan oleh warga negara asing, dan pemerkosaan dalam konflik bersenjata) sodomi, kopulasi oral paksa, serangan seksual dengan benda, dan sentuhan atau ciuman paksa.
Dikeluarkannya Permen No 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan kampus. PPKS itu dibuat bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum. Pasalnya, aturan khusus yang menindak pelaku kejahatan seksual terutama dilingkungan kampus belum ada. Hal tersebut didasari mewabahnya kasus pelecehan seksual di kampus.
Kampus atau institusi pendidikan adalah ruang atau laboratorium berpikir yang idealnya harus mencekam tindakan-tindakan biadab seperti itu. Sayangnya, dewasa ini menara gading menjadi tempat tumbuh para pelaku pelecehan seksual.
Permen No 30 vs UU TPKS
Tidak banyak kita mendengar korban pelecehan seksual yang berani angkat bicara (speak up). Kenapa? Barangkali hal tersebut disebabkan ketakutan para korban akan ancaman terhadap dirinya. Pun berani, harus mengadu ke siapa?. Sebab bukan sesuatu hal yang baru terlapor yang bakalan melapor balik (playing victim). Apalagi pelaku merupakan orang-orang yang memiliki kuasa tinggi daripada si korban.
Permen No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual(PPKS) menuai kontroversi. Hal itu bisa kita lihat dari ragamnya pendapat yang muncul ke permukaan publik. Ada yang menganggap bahwa itu melegalkan zina, karena adanya klausul “tanpa persetujuan korban”; Apabila ini dibalik, korban setuju terhadap tindakannya pelaku maka tindakannya diperbolehkan oleh Permen tersebut. Hal tersebut justru dianggap tidak memiliki keberpihakan terhadap korban. Parahnya hal itu menghantui para korban untuk mengadukan tindakan si pelaku.
Kekhawatiran tersebut dijawab oleh UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak pidana kekerasan seksual(TPKS). Dikarenakan hal-hal dalam Permen No 30 tahun 2021 yang menghantui si korban sudah dihilangkan. Meski begitu, tidak sedikit masayarakat khususnya mahasiswa masih merasa bingung apabila terjadi pelecehan seksual; “Aturan yang mana harus digunakan, apakah permen No 30 tahun 2021 atau UU No 12 tahun 2022?”.
Dalam ilmu perundang-undangan, apabila terjadi konflik norma antara aturan yang satu dengan lainnya maka yang diberlakukan asas hukum yaitu Lex superior derogat legi inferior, yang berarti aturan hukum yang lebih tinggi mengeyampingkan hukum yang lebih rendah. Sedangkan dalam teori Stufenbau oleh Hans Kelsen dan menurut UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, kedudukan UU lebih tinggi dari Peraturan Menteri (Permen).
Kemudian asas selanjutnya yakni lex posteriori derogat legi priori yaitu Hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama. Permen No 30 disahkan pada tahun 2021 dan UU No 12 tentang TPKS disahkan pada tahun 2022. Secara hukum, UU No 12 kita artikan sebagai aturan yang baru. Oleh karena itu, apabila ada konflik norma maka yang digunakan adalah UU No 12 tahun 2022, bukan Permen No 30 tahun 2021.
Relasi Kuasa dengan Hawa Nafsu
Jika kita masih memandang terjadinya kasus pelecehan seksual adalah karena perempuan memakai pakaian mini maupun ketat, tentu akan muncul pertanyaan baru; Bagaimana dengan anak-anak, apakah pandangan tersebut diberlakukan? Atau para pelaku memiliki kelainan seksual? Padahal, sebagian besar yang kita saksikan pelaku sudah berumah tangga. Jawabannya jelas, pelaku tidak bisa menahan hasrat binatangnya.
Beberapa penelitian menyebutkan, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar dari kekerasan seksual. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak memiliki kendali lebih terhadap korban seperti kendali ekonomi, sumber daya, pengetahuan, maupun status sosial. Dalam konteks kekerasan seksual di lembaga pendidikan, pelaku biasanya adalah tenaga pengajar; guru, dosen atau pengasuh dari peserta didik.
Kekerasan seksual dengan relasi kuasa, selain menempatkan korban dalam posisi yang tidak berdaya karena posisinya yang subordinat, biasanya juga disertai dengan ancaman. Dalam kasus SPI misalnya, korban diancam akses pendidikan dan ekonominya akan diputus jika melapor, dan berbagai intimidasi lain yang membuat korban semakin tidak berdaya.
Dalam kontek ini UU TPKS hadir sebagai alternatif terbaik untuk melindungi korban kekerasan seksual. Dia berperan sebagai Lex Spesialis dari KUHP yang menjadi Lex Generalis. Banyak sekali poin-poin penting dalam UU TPKS yang belum diatur dalam KUHP dan kesemuanya mempunyai perspektif korban.
Iblis dilindungi Iblis
Tidak sedikit kita mendengar bahwa pelaku pelecehan seksual di institusi pendidikan dibebaskan atau dibela oleh pimpinan, seperti halnya kasus Bechi yang dilindungi ayahnya sang pimpinan ponpes padahal berkas Bechi sudah P21 atau dengan kata lain lengkap. Namun tetap saja pimpinan membela dengan dalih si pelaku difitnah dan tuduhan tidak benar. Atau hal serupa juga terjadi pada kasus anak di sumatra yang dilecehkan dan digauli oleh oknum guru dan penjaga sekolah. namun setelah adanya aduan, pimpinan sekolah berusaha membela dan mempertahankan si pelaku untuk tidak ditahan dan agar tetap bekerja.
Walaupun akhirnya pelaku ditahan dan menjalani persidangan, namun dapat kita lihat bahwa proses penangkapan atau penahanan dalam kasus serupa selalu saja mengalami hambatan. Biasanya argumen yang diajukan pelaku untuk ngeles adalah belum cukupnya bukti dan alasan bahwa korban hanya merekayasa bukti untuk menfitnah pelaku.
Inilah kemudian yang menjadi penting untuk menjadi pengetahuan kita bersama semua setelah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tepatnya di pasal 25 UU TPKS menyebutkan bahwa keterangan saksi dan/korban korban tindak pidana kekerasan seksual dengan satu alat bukti sah sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah.Hal tersebut menegaskan pentingnya keberpihakan terhadap korban dalam proses penyelesaian hukum kasus kekerasan seksual.
Sebagai tempat dan rumah kedua bagi mahasiswa untuk belajar, kampus harus menjadi aktor utama dalam pemberantasan kekerasan seksual. Perlu adanya sosialisasi lebih lanjut agar para aktor di dunia Pendidikan seperti Dosen atau pengajar, dan pimpinan kampus lebih peka dan lebih mempunyai perspektif korban.
Dari uraian penjelasan diatas, penulis berharap korban menghilangkan takutnya untuk mengadukan tindakan pelecehan seksual yang terjadi, karena segala hal yang menghantui kalian(korban) sedikit tidak sudah dikurangi.