Mataram, MEDIA – Amaq Sinta (34), yang dijadikan sebagai tersangka karena diduga membunuh dua begal, seharusnya diberikan penghargaan Kepolisian Resor (Polres) Lombok Tengah, bukan justru dijadikan sebagai tersangka.
Bagaimana tidak, keberanian Amaq Sinta melawan komplotan penjahat dengan seorang diri merupakan tindakan heroik. Tidak semua orang berani melakukannya.
Hal tersebut dikatakan Direktur Madisa Institute, Satria Tesa, SH. Menurutnya, Polres Loteng AKBP Hery Indra Cahyono, seharusnya mengikuti langkah Kapolres Kota Bekasi Kombes Indarto saat memberikan penghargaan kepada Muhamad Irfan Bahri (19), yang membunuh dua begal saat ditodong di flyover Summarecon, pada tahun 2018 lalu.
“Amaq Sinta itu orang yang pemberani. Seharusnya dia diberikan apresiasi dan penghargaan. Bukan justru dijadikan sebagai tersangka pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian,” kata pria yang akrab disapa Satria saat ditemui, Kamis (14/4) dini hari.
Selain menyebut Amaq Sinta sebagai pemberani, dia juga mengatakan yang dilakukan warga asal Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah itu merupakan tindakan yang meringankan pekerjaan kepolisian juga keresehan masyarakat.
Dia mengatakan, siapapun yang berada dalam posisi terdesak seperti itu, dia akan melakukan hal yang sama seperti Amaq Sinta. “Apalagi kejadiannya malam hari. Suasana sepi, tidak ada orang,” jelasnya.
Lebih jauh Satria menjelaskan, sikap Polres Loteng menjadikan Amaq Sinta sebagai tersangka tidak tepat. Dia menerangkan, merujuk pada pasal 48 KUHP bahwa, “Perbuatan yang dilakukan atas dasar daya paksa (overmach), tidak bisa dipidana.” Daya paksa dalam penjelasan tersebut, merupakan perbuatan yang dilakukan karena pengaruh atau tekanan dari luar, yang membuat fungsi batin tidak bekerja dengan normal.
Sedangkan pada pasal 49 KUHP tentang pembelaan terpaksa (Noodweer), Satria menjelaskan, pembelaan terpaksa menjadi dasar seseorang tidak dipidana meski melakukan tindak pidana. Kemudian, ketentuan pasal 49 ayat 1 KUHP; “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan, kesusilaan (Eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”
Kemudian pada ayat 2; Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
“Dasar hukumnya jelas,” tegas pria kelahiran Donggo, Kabupaten Bima ini.
“Hukum tidak boleh membiarkan harta dan keselamatan amaq sinta berada di tangan komplotan para pembegal,” lanjutnya.
Sementara itu, Direktur LIHO Institute, Muhamad Arif, SH juga turut memberikan komentar terhadap penetapan Amaq Sinta sebagai tersangka. Dia menilai status tersebut merupakan langkah yang keliru dari kepolisian. Sebab kasus yang menimpanya tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana atau perbuatan yang melawan hukum.
“Polisi sudah membenarkan berdasarkan hasil penyelidikannya. Hasil dari pendapat polisi membenarkan bahwa korban adalah pelaku pembegalan. Saat itu terjadi perlawanan antar korban dengan pelaku. Dengan pendapat itu pula polisi sudah membenarkan perbuatan korban dijadikan tersangka bisa dikategorikan overmach. Adanya daya paksa, adanya bela diri,polisi sudah membenarkan hal tersebut,” bebernya
“Mengapa tiba tiba itu terjadikan tersangka padahal sebelumnya sudah dibenarkan bahwa pristiwa tersebut adalah peristiwa pembegalan,” lanjut Arif.
Menurutnya, polisi harus lebih cermat melihat posisi hukum. Kasus pembegalan, pencurian tidak dibenarkan berdasarkan KUHP. Apabila seseorang melawan ketika berhadapan dengan pelaku pembegalan atau pencurian, maka wajib hukumnya melindungi diri.
“Apabila dihadapkan dalam masalah tersebut, wajar setiap orang membela diri dan itu dibenarkan dalam KUHP,” jelas Arif.
Dengan menetapkan Amaq Sinta sebagai tersangka, menurut Arif, polisi sama saja dengan melindungi pelaku atau membenarkan kerjahatan tersebut.
“Polisi harus rutin melakukan patroli pada wilayah yang rawan terjadi pembegalan, menjaga kemanan masarakat desa,” sarannya.
Sebagai informasi, identitas kedua pelaku pembegal terbunuh, yakni P (30) dan OW (21). Mereka merupakan warga Desan Beleka, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah. Keduanya ditemukan warga dalam keadaan meninggal dan tergeletak di pinggir jalan sekitar pukul 01.30 Wita. (kjr)