Oleh: Satria Madisa, Mahasiswa Fakultas Hukum Unram.
“Catatan Kegundahan Anak Bangsa”
Kita sekarang berada di orde apa? Menjadi pertanyaan filosofis yang secara jujur “sukar” mendapatkan jawaban yang relevan dan memadai. Realitas politik, pemerintahan, hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) ekonomi dan kebudayaan Indonesia sebagai negara bangsa belum menemukan wujud autentik. Setelah reformasi 1998 yang mengintrupsi dan mengakhiri otorianisme “orde baru” yang berkuasa selama 32 tahun dan orde baru yang mengintrupsi kediktatoran orde lama yang berkuasa selama 21 tahun seharusnya demokrasi kita memiliki “tubuh” serta “anatomi” yang mendukung alasan dan tujuan bernegara setelah reformasi.
22 tahun reformasi, 75 tahun Indonesia Merdeka bukan waktu yang singkat untuk menemukan “kecerdasan”. Reformasi seharusnya dimaknai secara luas, sampai pada ‘obsesi’ untuk merombak tatanan mental inlander (terjajah) dari keterbelakangan peradaban. Pengalaman dijajah selama 3/ abad Kolonialisme Belanda, 3/ tahun dijajah Fasisme Jepang idealnya pelajaran beharga sekaligus ‘pekerjaan rumah’ yang harus diselesaikan Indonesia yang menyuguhkan betapa pentingnya kecerdasan. Dalam data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Indeks Prestasi Manusia (IPM) Indonesia berada diurutan 111 Dari 189 Negara di Dunia, (Tempo 2019).
Laporan PBB juga menyebutkan, Negara tetangga Malasya lebih unggul IPM dibandingkan Indonesia. Data itu senada dengan, tingkat literasi manusia Indonesia. Dilansir dari laporan Kementerian Komunikasi dan Informasi (KemkoInfo) 2017, minat baca manusia Indonesia hanya 0,001% yang artinya 1 orang yang memiliki minat baca berbanding dengan 999 orang yang tidak memiliki minat baca. Riset, World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University menyebutkan: Indonesia berada diperingkat 60 dari 61 negara yang memiliki minat baca rendah. Data ini mengungkap minat baca manusia Indonesia sangat rendah.
Berbeda dengan data KKN, hutang luar negeri, penguasaan sumber daya alam, dan ketergantungan kita terhadap bangsa asing mengalami peningkatan setiap tahun. Sebagai bahan refleksi, berbasis data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengutarakan semacam ada kesan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah “berlomba-lomba korup”. Terbaru, laporan dari Lembaga pemantau korupsi global, Transparensi Internasional bertajuk ‘Global Corruption Barometer-Asia’ menyebutkan Indonesia menjadi negara paling korup ketiga di Asia. Disusul Kamboja diurutan kedua dan India masih menjadi juara bertahan. Dilansir dari Merdeka (2020), peneliti Political and public Policy Studies, Jerry Massie mengatakan, lemahnya hukum, aturan korupsi kerap berubah-ubah dan partai politik menjalankan sistem ‘mahar politik’ dalil-dalilnya.
Disisi lain, dalam percakapan “demokrasi” Indonesia mengalami kemerosotan sistemik-kultural. Aparat negara mulai sangat berani menghantam rakyat sipil dengan aktivitas-aktifitas represif. Dilansir dari data Lokataru Foundation dalam risetnya “Hadiah Kayu Untuk Demonstran” mengungkap: adanya penggunaan kekerasan dan intimidasi secara berlebihan (excessive use of force), penangkapan sewenang-wenang terhadap sejumlah pelajar (artibitrary detention) dan pembatasan informasi dan bantuan hukum. Akibatnya, 5 orang pelajar tewas; 719 pelajar mengalami luka-luka, 3 orang diantaranya mengalami luka berat. Dengan rincian, 254 orang di Jakarta, 400 orang di Bandung, 15 orang di Kendari dan 50 orang di Makasar.
Laporan itu menyoroti “Dugaan Pelanggaran Hak Asasi dan Aksi Kekerasan Aparat Terhadap Peserta Demonstrasi #ReformasiDikorupsi 21-24 September 2019. Dalam laporan itu juga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menuturkan, tembak dan semprot “protap baru” penanganan demonstrasi. Berdasarkat hasil riset tersebut, Lokataru mengajukan kesimpulan yang menyebutkan, jika peristiwa semacam itu menjadi tren pemerintah terhadap setiap aksi protes, demokrasi berada dalam marabahaya ‘pembatasan’, pengkerdilan, dan represif.
Kekerasan aparat negara berlanjut dalam aksi protes rakyat terhadap penetapan UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) aksi protes yang terjadi di 18 Provinsi pada 6-8 Oktober 2020 diwarnai kekerasan. Dilansir dari Lokadata, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari KontraS, Imparsial, Amnesti Internasional Indonesia, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, Setara Institute, ELSAM, PBHI, LBH Masyarakat, Pilstripnet, ICW, HRRG dan LBH Pers mengecam tindakan kekerasan pada demonstran penentang UU Ciptaker pada 6, 8 dan 13 Oktober. Kekerasan itu dianggap pola-pola brutalitas kepolisian pada peristiwa sebelumnya.
“Menurut Koalisi ini, telah terjadi sejumlah pelanggaran HAM dalam bentuk penahanan sewenang-wenang, penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet,peluru tajam dan gas airmata. Bahkan upaya visum para demonstran dihalang-halangi aparat. Disisi lain Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 1900 dokumentasi kekerasan aparat.
Menohoknya hasil investigasi Narasi TV yang membongkar pelaku kerusuhan di Jakarta yang membakar Halte sampai hari ini belum ditemukan kepolisian. Buruknya, represifitas negara bukan saja dialami pelajar yang melaksanakan demonstrasi menentang UU Ciptaker. Pers (jurnalis) dan Tenaga Medis (relawan kemanusiaan) mengalami tindakan represif. Data Aliansi Jurnalis Independen menyebutkan sedikitnya 56 jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput demonstarsi menentang UU Ciptaker, 7-21 Oktober 2020. Dilansir dari tirto id, “Relawan Medis Juga Korban Kebrutalan Polisi”. Selasa 13 Oktober relawan dari Team Rescue Ambulance Indonesia (TRAI) dirazia kemudian ditangkap dan mendapatkan perlakuan represif. Demikian yang terjadi dengan empat relawan Muhammadiyah Disaster Managemen Center (MDMC). Mirisnya, Laporan kontraS, pada Peringatan Hari Penyiksaan Internasional, Rabu (26/2019) membeberkan 52 dari 72 kasus penyiksaan dilakukan polisi selama periode Juni 2018-Mei 2019.
Data-data tersebut, bukti vandalisme negara terhadap demokrasi. Tanda kemunduran demorasi menajam, serta opsi-opsi pembajakan demokrasi terbuka. Pada tonggak inilah kemerosotan demokrasi menjadi keniscayaan. Indeks demokrasi dan kebebasan sipil menurun. Rakyat mulai takut untuk mengungkap pendapat. Hal ini senada dengan laporan Freedom House, 2019 yang menyebutkan hak politik dan kebebasan sipil semakin menurun sejak 2016. Dalam laporan yang berjudul Freedom in The World, skor kebebasan Indonesia pada tahun 2019 iyalah 62 dari skala 0-100. Angka ini menurun tiga tahun beruntun. Freedom House menyebutkan penurunan indeks demokrasi Indonesia terjadi karena adanya korupsi sistemik, kekerasan terhadap kelompok rentan dan diskriminasi Papua (Katadata).
Kapan Indonesia Cerdas?
Rekonsiliasi politik Jokowi dan Prabowo tidak otomatis mengakhiri “cebong” dan “kampret” dikalangan masyarakat akar rumput. Pembelahan masih tajam, baik karena “fakta” juga karena “klaim” pemerintah. Intisari pandangan Haris Azhar (Aktivis HAM) yang menyebutkan Penegakan Hukum dijadikan alat politik, bisnis kekuasaan, kriminalisasi, sampai pemerasan menjadi relevan untuk diajukan. Fakta kontenmporer, hukum begitu cepat dan cenderung mencari-cari delik kepada oposisi, sedang melambat dan melupakan delik pada yang memiliki relasi dengan penguasa.
Keseluruhan itu menciptakan paradoks-paradoks dalam realitas kebangsaan dan kenegaraan kita yang menghidupkan “pembelahan” pada masayarakat. Menurut saya, muaranya mengarah pada “pembusukan” jiwa rakyat dan menajamnya ketidakpercayaan rakya terhadap negara. Pada titik inilah Indonesia Cerdas tak kunjung dicapai. Barangkali pada momentum inilah feodalisme dalam negara dan pemerintahan kita masih sangat kuat dan berkuasa. Rocky Gerung dan Fahri Hamzah menurut penulis, dua tokoh yang berani berterus terang mengucapkan bahaya feodalisme di negara demokrasi. Pada titik inilah, disparitas kehidupan berbangsa dan bernegara menemukan dalil-dalilnya.
Peristiwa di Petamburan dimana TNI: dilibatkan menurunkan baliho HRS, mengeluarkan diksi “pembubaran FPI” sampai “konvoi militer” didekat markas HRS bukti pertama (kontenmporer) kedunguan bangsa kita. Bukti kedua, “pembulian naratif” terhadap Gubernur DKI hanya karena mengunggah aktifitas pagi, membaca sebuah buku berjudul, How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati). Pada penurunan “Baliho” kita menemukan bayang-bayang militerisme dimasa lalu berupaya tampil mendikte masyarakat sipil. Sedang pada pembulian “literasi” menunjukan mental kita masih inlander. Kesamaanya, bangsa kita masih terbelakang dari Ilmu dan Pengetahuan.
Pembulian literasi terhadap Gubernur DKI menarik untuk ditelisik dalam-dalam.
Dilansir dari Tempo.co, minggu pagi, 22 November 2020 Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membagikan aktifitasnya melalui twiternya @aniesbaswedan. Gubernur DKI mengunggah fotonya saat sedang membaca buku yang berjudul “How Democracies Die” yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt pada tahun 2018. Unggahan Gubernur mendapatkan respon luas, baik apresiasi juga bully. Terbukti dimedia massa massif digalang asumi bahwa mengunggah foto junto membaca buku tidak penting dengan alasan covid 19. Disisi lain salah kaprah Ketua KPK yang berpidato dengan tujuan menyindir Anies dengan mengatakan buku Bagaimana Demokrasi Mati sudah dia baca sejak 2012. Padahal terbit saja 2018. Tak kalah heboh juga, manusia seperti Abu Janda turut menyentil dengan memperagakan kekhasanya, seperti dimuat edisi foto Tempo.
Sebagai Tokoh Bangsa sekaligus Pemimpin DKI Jakarta, tentu Anies Rasyid Baswedan bukan “sekedar” mengunggah foto membaca buku. Melainkan memberikan pesan (kode), bahwa kekuasaan yang terpilih secara demokratis bukan berarti otomatis menjaga demokrasi. Presiden atau Perdana Menteri bisa menyeret demokrasi sebuah bangsa menuju otorianisme. Pakar politik dari Harvard University, Steven Levistky dan Daniel Ziblaat dalam bukunya menyebutkan otorianisme pelan-pelan membajak dan mematikan demokrasi melalui sarana dan prasarana yang demokratis. “Mengingkari buku tersebut, menyediakan rasionalisasi Anies dibully. Realitas demokrasi kita punya cukup alasan mengarah pada kematian demokrasi.”
Menurut penulis buku How Democracies Die, setelah perang dingin usai, kematian demokrasi tidak lagi dengan jalan “revolusi”, kudeta, kekerasan, senjata, dan jenderal. Kematian Demokrasi di Venezuela dibawah rezim Hugo Chavez contohnya. Rezim tersebut terpilih secara demokrasi melalui beberapa kali Pemilu. Namun, ditengah memudarnya dukungan rakyat Hugo Chaves menghambat referendum yang diusulkan oposisi untuk menurunkannya dari jabatan Presiden, membuat daftar hitam berisi nama-nama yang telah menandatangani penurunannya, mengatur isi Mahkamah Agung, menutup satu stasiun televisi besar, menangkap atau mengasingkan politikus oposisi, hakim, dan tokoh media dengan tuduhan tak jelas, serta menghilangkan batas masa jabatan presiden supaya Chaves dapat berkuasa selamanya. Demikianlah, demokrasi mati.
Dalam rangka inilah Anies menebarkan pesan, bahwa kekuasaan yang dipilih secara demokrasi bisa membajak dan mematikan demokrasi. Respon nyeleneh anak bangsa menyikapi itu bisa menjadi pertanda bangsa ini mengabaikan literasi. Pelan-pelan tapi pasti watak anti sains menggerogoti tubuh republic ini. Salah Kaprah ketua KPK dan pembulian terhadap anis yang menunjukan buku; Bagaimana Demokrasi Mati? Cukup mewakili mental kontra literasi bangsa ini.
Di Indonesia memang tidak ada penutupan satu televisi, tapi “membrandel” salah satu televisi karena “relasi kuasa” marak terjadi. Sebagai contoh Indonesia Lawyers Club di TV One beberapa kali dibatalkan penayangan karena “badai” ataukah “telpon rahasia”. Sementara upaya tafsir tunggal negara melalui perangkat hingga penggunaan Buzzer dan Influenzer bukan rahasia umum. Belum lagi ketidakadilan penegakan hukum. Seharusnya demokrasi ini benar-benar dihargai dan dihormati oleh negara. Bukan tidak mungkin, demokrasi kita mati pelan-pelan karena elite kekuasaan membajak institusi sampai “mengatur” hukum. Bukankah dalam konstitusi “Setiap Warga Negara Bekedudukan Sama Dihadapan Hukum dan Keadilan”.
Dengan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan, ide dasar mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya bisa berjalan mulus. Namun sayang, pembusukan sistem, nampak tidak terhindarkan. Seharusnya bangsa ini, tidak mengadopsi watak colonial yang ditentang selama berabad-abad itu. Kita tumbuh menjadi bangsa yang kolot dan kontra produktif dan korup.
Bagaimana bisa negara menjadikan warga negara sebagai musuh? Disaat bersamaan negara-negara didunia berlomba-lomba menjadi negara unggul demi demokrasi dan masa depan bangsanya? Perang terhadap korupsi, feodalisme, narkotoka tidak bisa dimenangkan selama 75 tahun. Tentu perang itu tidak bisa dimenangkan dengan memerangi rakyat sendiri. (*)