oleh: Baiq Nurul Aini Zahra
Perkenalkan, aku Zahra.
Mahasiswa semester 6 yang sedang merasa lelah. Mungkin kata “lelah” terlalu sederhana untuk menggambarkan apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku tidak hanya letih karena tugas-tugas kuliah atau beban kuliah yang tak ada habisnya, tapi juga karena tekanan dari dalam diri sendiri yang makin lama makin menumpuk—semacam krisis kecil yang kadang membuatku bertanya, “Apakah semua ini benar-benar pantas aku perjuangkan?”
Hari-hariku dipenuhi ritme yang nyaris sama: bangun pagi, kuliah, tugas, rapat organisasi, begadang, lalu mengulang lagi keesokan harinya. Semuanya seperti berjalan otomatis. Aku menjalaninya, tapi tidak benar-benar hadir di dalamnya. Sampai akhirnya, di antara pagi yang tergesa dan malam yang membisu, aku bertemu mereka. Bukan di kelas, bukan pula dalam lingkup satu angkatan.
Pertemuan pertama itu terjadi secara kebetulan.
Aku sedang duduk di pojok kedai kopi kecil di dekat fakultas, tempat aku biasa melarikan diri dari keramaian kampus. Saat itu aku hanya ingin sedikit tenang, mungkin menyesap kopi hangat sambil menyelesaikan satu tugas yang terasa menyiksa. Di sana, duduk di meja sebelah, ada mereka—tertawa, berdiskusi, memperdebatkan hal-hal remeh tapi menyenangkan. Salah satu dari mereka, Rifky, tanpa ragu menyapaku duluan. “Sendirian, Kak? Mau gabung aja sekalian biar nggak tegang,” katanya sambil tersenyum ramah. Entah mengapa, ajakan itu terasa tulus dan hangat. Aku mengangguk pelan, dan sejak saat itu, hidupku berubah sedikit demi sedikit. Plot twist nya Rifky adalah pamanku dan teman satu angkatanku pas SMP haha.
Ada juga momen lain, ketika aku melangkah masuk ke gedung pusat kegiatan mahasiswa. Sebenarnya, aku hanya ingin mencari tempat duduk nyaman untuk mengisi waktu kosong di antara jadwal kuliah. Di sana, aku bertemu Della dan Ayu di parkiran gedung PKM . Mereka mengajakku ke kantin FKIP, meski aku bukan siapa-siapa di sana. Tapi itu awal dari percakapan yang berlanjut menjadi kebersamaan.
Arman dan Ikbal aku temui di kemudian hari, dalam ruang diskusi kecil tentang isu sosial yang diselenggarakan secara tidak resmi. Kami berbeda latar belakang, berbeda angkatan, bahkan berbeda jurusan. Tapi justru dari perbedaan itulah percakapan kami menjadi kaya. Mereka tidak hanya membuka ruang untuk aku bercerita, tapi juga memberi perspektif baru yang menyadarkanku: aku tidak sendirian, dan aku tidak harus menyelesaikan semua ini sendirian.
Mereka datang di waktu yang tidak terduga. Bukan sebagai teman sekelas yang setiap hari aku temui, tapi sebagai teman hidup yang kutemui di luar kelas—di sela-sela hidup, di sela-sela keputusasaan. Kami tertawa bersama di Meja hijau bundar yang dingin, berbagi kopi, saling bertukar keluh kesah tanpa takut dihakimi.
Rifky selalu datang dengan cerita lucu dan komentar yang menghibur. Della dan Ayu punya aura yang menenangkan, seperti dua kakak perempuan yang siap mendengar tanpa menghakimi. Arman penuh semangat dan energi, seperti baterai hidup yang bisa mengisi semangat siapa pun di sekitarnya. Dan Ikbal… dia tidak banyak bicara, tapi ketika dia bicara, kamu tahu itu datang dari hati yang dalam.
Kini aku sadar, bahwa yang membuat semester ini tetap bisa aku jalani bukan karena aku kuat. Tapi karena aku tidak sendirian.
Aku punya mereka—orang-orang yang tidak datang karena satu angkatan, tapi karena satu frekuensi jiwa.
Dan untuk itu, aku bersyukur.
Di antara gelisah dan lelah yang nyaris membuatku menyerah, aku bertemu mereka. Di kedai kopi yang hangat, di lorong gedung yang ramai, di ruang diskusi yang kecil tapi penuh makna. Mereka adalah bagian dari cerita perkuliahanku yang paling manusiawi—bukan tentang nilai, bukan tentang gelar, tapi tentang pertemuan dan rasa terhubung.
Terima kasih telah hadir di hidupku, di waktu yang paling aku butuhkan, meski aku tak pernah meminta.