Oleh: Herdian Bimantara
“Rampaslah semua harta benda saya, asalkan jangan pena saya”
Begitu kira-kira kutipan dari RA Kartini, Kutipan yang dimaknai sebagai suatu pengingat bagi perempuan. Bahwasanya, orang lain boleh saja merebut harta benda yang perempuan miliki, tapi tidak untuk merampas hak perempuan dalam mengenyam pendidikan.
Ketidaksetaraan perempuan yang dihadapi Kartini pada masanya merupakan akibat dari terbatasnya akses pendidikan, khususnya bagi perempuan. Bersekolah dan mengejar pendidikan merupakan kunci melawan ketidaksetaraan.
Lahir pada 21 April 1979, R. A Kartini sendiri dikenal luas sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat ini kemudian menjalani masa sekolah hingga usia 12 tahun, usia saat ia mulai dipingit. R.A Kartini sendiri mengenyam pendidikannya di Europese Lagere School. Pada perjalanannya RA Kartini adalah salah satu pahlawan Nasional yang memperjuangkan Pendidikan untuk kaum perempuan Indonesia yang pada saat itu benar-benar dibatasi oleh negara. Negara pada saat itu hanya memprioritaskan Pendidikan untuk kaum laki-laki saja.
Perempuan benar-benar dibatasi dalam setiap dinamika-dinamika yang maju dan progresif, perempuan hanya di tempatkan di sumur, dapur dan Kasur. Hal tersebut yang membuat Kartini mencoba untuk membawa derajat perempuan ke taraf yang lebih maju dan layak.
Di era kapitalisme modern hari ini, terlihat hal yang bertolak belakang dengan apa yang telah di perjuangkan oleh RA Kartini. Perempuan sekarang lebih mengedepankan kecantikan, urusan percintaan, dan takut pada keTUAan.hal tersebut tentunya tidak muncul begitu saja, Kapitalisme benar-benar telah menempatkan perempuan sebagai “PRODUK PASAR”, dari ujung kaki sampai ujung rambut perempuan merupakan pasar pasti untuk kapitalisme.
Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk membuat perempuan lebih mementingkan kecantikan daripada isi kepalanya.
Berangkat dari hal tersebut saya berasumsi bahwa, sia-sialah perjuangan RA Kartini untuk mengangkat derajat perempuan, toh pada realita saat ini perempuan tunduk pada kapasitas fisiknya yang membuat perempuan mudah sekali terhegemoni oleh berbagai produk kecantikan yang dipasarkan kapitalisme
Benar kata Soe Hok Gie “Perempuan akan selalu di bawah laki-laki, apabila yang di urusi hanya baju dan kecantikan”. Bukankah lebih baik perempuan yang secara pola pikirnya maju dan berjuang Bersama laki-laki melawan kapitalisme.
Dewasa ini kita bisa melihat kapitalisme bukan hanya musuh laki-laki saja. Di sektor perburuhan dengan adanya Omnibus Law, terkait mekanisme cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja perempuan serta pemberian kesempatan pada pekerja perempuan untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. dalam kedua pasal tersebut tidak dicantumkan pembahasan, perubahan, dan juga status penghapusan.
Mengutip dari Sindikasi, substansi mengenai upah per jam menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan karena jika pekerja perempuan menjalani cuti tersebut otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga mereka tidak mendapatkan upah cuti.
Di sektor budaya sekalipun bukan menjadi rahasia umum lagi bagaimana perempuan masih di tempatkan pada posisi di bawah laki-laki, di tengah bebasnya laki-laki dan perempuan mengenyam pendidikan hari ini, beberapa daerah masih banyak yang mengamini bahwa perempuan tidak perlu repot-repot melanjutkan Pendidikan tinggi, karena laki-laki yang di anggap lebih penting untuk di berikan Pendidikan di tahap yang lebih tinggi karna banyak yang mengatakan bahwa untuk apa perempuan belajar tinggi-tinggi toh mereka akan tetap Kembali ke dapur dan hanya mengurusi anak.
Hal itu merupakan masalah akut untuk perempuan, dan perempuan saat ini hanya memikirkan kecantikan dan percintaan.
Makin jauhlah perempuan di bawah laki-laki apabila tidak muncul kemauan yang maju untuk perempuan untuk menjadi penggerak dan perjuang dalam melawan Kapitalisme. Hal ini tentunya dapat di capai dengan mengkualitaskan dirinya dengan belajar, belajar yang saya maksudkan disini tidak hanya pada Pendidikan formal, tetapi bagaimana perempuan terlibat aktif pada organisasi yang Revolusioner
Kenapa perempuan harus berorganisasi ?
Permasalahan perempuan tidak sampai disitu saja, kekerasan seksual adalah salah satunya. Mengutip dari Kompas, Sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual,” kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam jumpa pers virtual pada Rabu (19/1/2022) dan Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Jumlah tersebut berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA.
Akar masalah dari kasus kekerasan seksual masih menjadi momok menakutkan yang selalu menghantui perempuan-perempuan Indonesia, dan tentunya hal tersebut tidak bisa dituntaskan tanpa adanya sebuah wadah perjuangan yang jelas dan berhari depan.
Keberadaan perempuan bukan lagi hanya pelengkap kaum laki-laki dalam sebuah organiasi, perempuan dengan rata-rata memiliki nilai lebih dalam hal kecerdasan, ketelitian, dan keuletan. Berangkat dari hal tersebut saya meyakini bahwa perempuan yang berorganisasi akan mampu mengambil peran penting dalam perjungan untuk merubah masalah-masalah perempuan yang ada.
Dapatlah sekiranya diambil kesimpulan bahwa masalah kekerasan seksual, diskriminasi pekerja perempuan, budaya-budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki, dan semua permasalahan perempuan lainnya tidak akan mampu terselesaikan tanpa adanya keterlibatan aktif dari perempuan itu sendiri, hal tersebut jelas karena perempuan dalam beberapa hal terkait masalah keperempuanan yang mereka lebih tau disbanding laki-laki. Itu semua tidak akan pernah tercapai hanya dengan curhatan, instastory dan lainnya.
Saatnya perempuan menjadi bagian penting dalam perjuangan dan tentunya itu hanya bisa dilakukan dengan terlibat dalam Organisasi yang maju, dengan belajar didalamnya dan terlibat aktif dalam cicilan-cicilan perjuangan organisasi tersebut.
“Ketidaksetaraan perempuan ini akibat dari dibatasinya akses perempuan untuk memperoleh pengetahuan sehingga perempuan menjadi bodoh. Sehingga cara satu-satunya adalah perempuan harus sekolah.”
RA Kartini