Oleh: A Fattah, Mahasiswa Fakultas Hukum
Siapa gak tahu Mohammad Hatta? Paling tidak pernah mendengar namanya, meski mungkin gak kenal orangnya. Beda dengan Sukarno yang gambar dan namanya sering dipajang dimana-mana, Hatta tipe orang introvert, pendiam dan ya, barangkali ngebosenin. Tipikal cowok yang mungkin akan malas didekati apalagi dipacarin. Tapi Hatta dari awal emang ga pernah punya niat PDKT, pacaran apalagi sampai menikah.
Gak kayak kaum milenial yang janjiin kebahagiaan pernikahan masa depan, Hatta justru janji gak akan nikah sebelum Indonesia Merdeka. Gak tahu apa alasan Hatta, mungkin doi masih lebih cinta Ibu Pertiwi dibanding ibu dari anak-anaknya nanti.
Kayak kebanyakan anak-anak muda yang baru puber dan rasain sensasi cinta, Hatta muda yang saat itu baru berumur 18 tahun, belajar ngungkapin perasaan dengan caranya sendiri. Cinta doi ke Ibu Pertiwi dibuktiin enggak dengan bunga atau intan permata, melainkan dengan “surat cinta.” Surat cinta dengan judul “Namaku Hindiana!” itu sebenarnya bukan sembarang surat cinta, tapi cerita sarkas, sindirin keras buat Belanda yang nge-jajah Indonesia.
Sementara kita yang cuma nguasain dua atau tiga bahasa, itupun “gado-gado”, Hatta menguasai banyak bahasa. Mulai dari bahasa Minang, Melayu, Belanda, Jerman, Inggris hingga -kalau jokesnya Trevor Noah- bahasa paling romantis, yakni Prancis. Berkat itu, Hatta bisa “bicara” dengan banyak pemikir besar kayak Leo Tolstoy, Karl Marx, Bakunin, serta Dostoevsky melalui buku-buku mereka.
Hatta dan Perjuangannya
Cinta kayaknya emang punya daya sihir yang menggerakan. Dengan modal cintanya tadi, doi sampe rela belajar jauh-jauh ke Belanda, negeri yang punya hubungan toxic sama si Ibu Pertiwi. Hatta jadi salah satu orang paling ambis buat akhiri hubungan toxic antara Belanda dan Ibu Pertiwi.
Gara-gara tujuan itu, organisasi Indische Vereeniging yang awalnya bersifat sosial, diubah sama Hatta and the gank jadi organisasi politik perlawanan. Gak puas dengan cuma mengubah sifatnya, Hatta sampe mengubah nama organisasi itu jadi Indonesisch Vereeniging. Dia bahkan nerbitin majalah berjudul“Indonesia Merdeka,” suatu bentuk pembangkangan yang nyelekit.
Karena dianggap jadi perusak hubungan kekuasaan, Belanda tangkap dan penjarain Hatta. Alih-alih kapok, Hatta malah makin menjadi-jadi. Dia jengkel, marah dan gak tahan dengan perlakuan Belanda, akhirnya dia luapin semuanya dengan bikin tulisan monumental berjudul “Indonesia Vrij” alias Indonesia Merdeka yang dibacakan sebagai pledoi di sidang penghukumannya.
Pas mudik ke dari Belanda ke Indonesia, Hatta membawa serta buku dan gelar sarjana. Oleh-oleh Belanda itu doi pake buat lanjutin perjuangin kebebasan Ibu Pertiwi. Karna ga pernah kapok, Belanda sampai buang Hatta ke pedalaman Boven Digoel, Irian. Dalam pembuangan itu, hatta ditemenin simpanannya, yakni enak belas rak buku. Berkat ditemenin simpanan itu, doi bilang “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”
Perjuangan Hatta dan founding fathers untuk akhiri hubungan Belanda dan Indonesia berbuah manis. Setelah Belanda minggat, Ibu Pertiwi dicomblangin dengan kekasih yang sesungguhnya, yaitu rakyat Indonesia. Hubungan baru antara rakyat dan Ibu Pertiwi diikat dengan “buku nikah” yang berbentuk konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan besar dari hubungan itu termuat jelas dalam alinea ke empat.
Warisan Hatta
Kedaulatan negara yang sekarang bisa dipake buat tik-tokan, main Instagram atau Mobile Legend adalah berkat perjuangan revolusi dan negosiasi Hatta serta pahlawan besar lainnya. Perjuangan berdarah-darah mereka digerakan oleh cinta, mungkin juga oleh dendam dan kebencian, yang dibentuk oleh totalitas kondisi zamannya. Kita mungkin gak bisa punya setengah aja dari cinta yang mereka miliki, tapi minimal, kita menjaga apa yang mereka cintai.
Gibahin Hatta dan perjuangannya mungkin akan mengantarkan kita pada kecintaan yang sama seperti dia, mungkin juga tidak. Tapi, dengan begitu kita tahu, bahwa republik ini hadir dari pengorbanan dan usaha panjang, dari tetesan keringat juga amis darah dan daging. Pengetahuan itu harusnya menggerakan kita untuk melindungi republik, menentang segala bentuk penghinaan terhadap Ibu Pertiwi.
Untuk lakuin tugas itu tentu dibutuhkan banyak bekal. Bekal pertama adalah ilmu pengetahuan. Berbeda dengan zaman Hatta yang kejahatan dan pelakunya-nya jelas dan terang-terangan, kejahatan zaman kita cenderung tidak disadari, kabur dan gaje (gak jelas), pelakunya pun demikian. Untuk itu, pengetahuan berguna buat memahami rupa kejahatan, mengatasi yang sudah terjadi dan mencegah yang akan terjadi.
Bekal kedua adalah integritas moral. Ilmu pengetahuan harus digunain semata untuk kebaikan, kalau tidak maka hanya melahirkan koruptor, begundal, bandit dan mafia. Itulah pentingnya integritas moral, mencegah ilmu pengetahuan digunakan untuk kepentingan yang merugikan. Hatta mengajarkan itu, kelimpahan ilmu pengetahuan yang doi punya dijaga dengan integritas moral, sehingga dipakai semata untuk kebaikan republik. Pilihan-pilihan politiknya adalah bukti.
Pada akhirnya, warisan terbesar Hatta bukanlah koperasi atau tiga puluh ribu judul buku di perpustakaan pribadi, melainkan nilai dan pelajaran dari perjuangan dan pengalaman sejarah hidupnya. Iwan Fals dengan tepat gambarin Hatta dalam lagunya dengan “jujur, lugu dan bijaksana”, itulah yang seharusnya diwarisi, sekaligus jadi hadiah terbaik untuk Hatta dalam perayaan hari jadinya yang ke 120 tahun ini. Selamat hari jadi Hatta!
Tulisan ini dibuat untuk merayakan hari jadi ke 120 tahun Mohammad Hatta. Sebuah dedikasi yang tidak hanya ditujukan untuk Hatta, melainkan juga teruntuk kita pemuda, generasi yang datang setelahnya.