Pantai Amahami, Lawata dan sekitarnya, di wilayah teluk Bima pada Rabu (27/04/2022), dikejutkan dengan beredarnya foto dan video yang memperlihatkan kondisi air berwarna coklat, kental, menggumpal, juga ada bagian yang berbusa.
Selain itu, ditunjukan pula bangkai ikan dan hewan laut lain. Bahkan, berdasarkan pemberitaan media lokal, ada warga yang keracunan setelah mengkonsumsi ikan yang ditangkap di wilayah teluk Bima.
Hal itu, menimbulkan berbagai spekulasi, mulai dari kebocoran pipa pertamina yang kebetulan terletak persis di wilayah pantai sekitar, sampai dengan indikasi pembuangan limbah. Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), telah menanggapi kejadian itu.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, LHK Kabupaten Bima dan Kepolisian Resort Kota Bima berkoordinasi untuk menggali dan mengumpulkan fakta, diantaranya bahan keterangan, menghimpun informasi, verifikasi lapanganm mengambil sampel air untuk diuji lab, mengecek pipa pertamina, termasuk meminta penjelasan pihak Pertamina.
Berdasarkan keterangan Dinas LHK Provinsi NTB, setelah dilakukan pengecekan, tidak terdapat keborocan pipa pertamina.
Berpijak pada cara pikir UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), maka pemerintah perlu mempertimbangkan mengambil langkah strategis, yaitu melakukan audit lingkungan hidup. Ini dilakukan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang memiliki resiko tinggi di wilayah sekitar teluk Bima. Hal demikian juga untuk memastikan pengelolaan limbah B3, fungsi dan pelaksanaan perizinan, pengawasan, maupun layanan sistem informasi.
Di samping itu, memperhatikan kondisi, pemerintah perlu merespon dengan mendalami adanya indikasi pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, sehingga dapat menempuh upaya penegakan hukum melalui saluran hukum pidana.
Dalam UU PPLH, sebagai ketentuan khusus (lex specialis) telah diatur beberapa ketentuan pidana yang dapat disesuaikan temuan fakta di lapangan nantinya. Apabila hasil laboratorium menunjukan pembuangan limbah ataupun pencemaran lingkungan karena usaha atau kegiatan, maka dapat mendeteksi jenis usaha atau kegiatan, perizinan, pengelolaan sampai dengan adanya kesengajaan ataupun kelalain.
Dalam UU PPLH, tidak hanya menyasar tanggungjawab individu, namun juga dapat dikenakan terhadap badan usaha/korporasi. Kemudian, dalam hal usaha atau kegiatan yang menggunakan atau menghasilkan bahan beracun dan berbahaya dan menimbulkan ancaman serius, menganut konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability), sehingga tidak perlu membuktikan kesalahan (mens rea).
Hal itu dinyatakan bahwa “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Di samping itu, yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup sesuai amanat UU PPLH, yaitu dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. Dengan adanya keterlibatan hukum pidana, juga dimaksudkan sebagai upaya pemberian sanksi maupun tanggungjawab penanggulangan, pemulihan serta pemeliharaan ke depannya.
Menariknya, UU PPLH juga, mengatur secara khusus tanggungjawab pejabat pemberi izin dan pejabat yang tidak melaksanakan fungsi pengawasan, sehingga hal ini juga dapat menjadi titik pandang dan perhatian aparat penegakan, adanya kemungkinan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan.
Yang perlu dipahami, sifat dari hukum pidana dalam UU PPLH, adalah UU yang menempatkan hukum pidana sebagai ultimum remidium dan primum remidium sekaligus, yaitu hukum pidana sebagai alat terakhir sekaligus alat utama. Hal itu, dapat diperhatikan dalam beberapa ketentuan pasalnya, dalam beberapa hal, ada upaya untuk menempuh saluran hukum administrasi dan hukum perdata, di sisi lain ada nuansa pasal yang mengedepankan hukum pidana. Sehingga, hukum pidana juga sekaligus mendorong sanksi, proses atau tanggungjawab administasi dan ganti rugi secara perdata untuk penanggulangan pencemaran/kerusakan serta memulihkan lingkungan hidup dan keberadaan manusia.
UU PPLH pun, menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin juga oleh Konstitusi, UUD NRI 1945. Untuk itu pula, dinyatakan “setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”, dan terpenting bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.