Kehidupan masyarakat Indonesia pra-kemerdekan layaknya tak memiliki nilai apapun dimata penjajah saat itu, saat dimana kolonial asing melakukan kekejamanya, dan penindasan akan hak masyarakat Indonesia untuk kebebasan seperti manusia pada umumnya. Akan tetapi pada tanggal 17 agustus 1945 itu adalah suatu bukti konkret dalam sejarah yang membuktikan bahwa Indonesia berhasil melewati dari penjajahan kolonialisme dan imperialisme asing pada waktu itu, manifestasi tersebut tidak terlepas sebagai upaya menanamkan rasa semangat juang para founder father (pendiri bangsa) diseluruh masyarakat Indonesia demi mencapai kemerdekaan. Namun kurang lebih dari setengah abad Indonesia dijajah, Indonesia sudah mulai mendapatkan kemerdekaanya.
Demikian, kemerdekaan Indonesia sebagai jalan rakyat untuk menentukan kebebasnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan menjadi konsep yang ideal tatkala adanya usaha kesetaraan antara warga negara demi mewujudkan keadilan dan kesejehteraan, dan sepatutnya di penuhi oleh negara. Dengan begitu rakyat bisa mendapatkan harapan akan masa depannya dalam kehidupan bernegara. Namun, makna kebebasan yang sekarang, itu sering di otak-atik oleh segelintir orang demi memuaskan kepentingannya semata. Mestinya kebebasan dipergunakan dengan baik agar bisa menyejahterakan kehidupan rakyat, dan sebagai negara yang berlandaskan demokrasi, tentu akan paham terhadap tindakanya. Tetapi memang sekarang negara tidak terlalu paham akan demokrasi, karna poin demokrasi itu selalu melenceng dipergunakan.
Sementara itu, kebebasan menurut Albert Camus “bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan”. Ungkapan dari Albert Camus, berupa api perjuangan yang dipertegaskan kendati harus melawan bentuk penjajahan seperti invasi asing, rezim apapun, apalagi yang paling totaliter dan represif (baca Krisis Kebebasan). Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dalam negara demokrasi gagasan tentang kebebasan, adalah hak mutlak terutama menyangkut hak asasi manusia yang primodial dan tidak boleh di tukar tambahkan atas kekuasaan negara, apapun dalilnya. Maka, begitu konsep kehidupan warga negara yang ideal akan tercapai.
Dalam konteks Indonesia, nampaknya kebebasan seperti kehilangan makna yang autentik. Ketika merumuskan kebijakan publik, tanpa melihat pertimbangan etis dengan memihak pada kehendak utama (kepentingan rakyat). Seperti uraian Jean Jacquest Rousseua, “bahwa negara di bentuk dengan kesadaran alamiah masyarakat dengan harapan, negara lahir sebagai wadah penjamin segala macam kebutuhan dasar masyarakat antara lain termuat dalam konsep rebuplik berupa kebebasan, kesetaraan dan persamaan hak warga negara”(baca: Etika Politik).
Di sisi lain, negara Indonesia sekarang layaknya seperti mesin yang dipergunakan untuk merenggut kebebasan warga negara oleh kekuasaan yang tak bisa menentukan arah keberpihakan pada kehendah umum. Kekuasaan selalu merampas hak kebebasan dalam diri rakyatnya, sementara kesejahteraan kehidupann rakyat ada pada nilai-nilai kebebasanya, akan tetapi kebebasan itu masih terikat kuat oleh kekuasaan yang tidak memiliki pertimbangan dalam kehidupan berbangsa, demi keberlangsungan rakyatnya.
HAK PERS BERSUARA DIBUNGKAM
Di bawah bendera kekuasaan Jokowi, kebebasan warga negara dan para pembawa kabar informasi publik, kerap kali dikendali dengan manipulasi memanfaatkan demagogi sistem kekuasaan dengan cara yang tidak demokratis.
Dilansir, korantempodigital dan tempo.co, pemasungan terhadap kebebasan pers semakin menjadi-jadi belakang ini. Di tengah masifnya pertumbuhan media, serangan terhadap kerja wartawan justru datang dari berbagai arah. Bukan hanya ancaman fisik dan pemindanaan, wartawan kinin juga mesti menghadapi serangan siber hingga disinformasi.
Tak mengherankan bila Reporters Without Borders baru-baru ini melaporkan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia berada di angka 49,27, turun dari 62,60 pada tahun sebelumnya. Dari 180 negara, peringkat Indonesia melorot dari 113 ke 117. Untuk urusan kebebasan pers, Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste, Malaysia, dan Thailand.
Kasus kekerasan dan ancaman terhadap kebebasan pers itu semakin buruk dalam lima tahun terakhir. Untuk tahun lalu saja, AJI mencatat setidaknya ada 43 kasus kekerasan, dari terror dan intimidasi, kekerasan fisik, hingga pelarangan liputan. Maraknya penuntutan hukum tak lepas dari keberadaan pasal karet dalam UU ITE. Tantangan semakin berat dengan kehadiran pasukan siber. Tidak hanya mengaburkan fakta dan mengatur arah pembicaraan di media sosial para pendengung bayaran menjadi motor serangan terhadap media dan jurnalis.
Kekerasan dan ancaman terhadap pers, apa pun bentuknya, harus dihentikan. Bila kekerasan dan persekusi terus dibiarkan, dampaknya sangat besar. Menyempitkan kebebasan pers membuat publik tak bisa lagi memperoleh informasi yang akurat dan tepercaya. Tanpa kebebasan pers dan kemerdekaan berpedapat negara semakin semena-mena.
Nampak jelas, di era kepemerintahan Presiden Jokowi dalam negara indonesia, kebebasaan layak tak memiliki tempat sebagaimana wajarnya. Padahal, batas kekuasaan negara Indonesia tidak boleh melampaui paradigma perjanjian awal. Dalam UUD Dasar 1945 telah di ulas sedetail mungkin batas-batas kekuasaan mengontrol rakyat. Hak pers setara (kemerdekaan pers) dijamin seperti hak asasi warga negara, basicnya ialah mewujudkan prinsip demokrasi, pemerataan bentuk keadila harus merata dan realisasi supremasi hukum, kendati memberikan jaminan seluruh jenis keadilan. Demikian, setiap warga negara bisa mengakses keselarasan yang sama di mata hukum.
Kebebasan pers, harus dipenuhi dengan baik oleh kekuasaan seperti yang dimuat dalam pasal 8 tahun 1999 tentang Pers. Kemerdekaan, kebebasan, bereksepresi dan pers adalah hak asasi manusia yang sewajarnya dinaungi oleh Pancasila. Bahkan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PPB), bahwa pers sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi.
Sementara itu, untuk membesaskan Indonesia dari penjajahan kolinialisme pada waktu itu, namun poin kemerdekaan hanyalah sebuah nama, tapi dalam tubuh Indonesia belum memiliki kemerdekaan basis secara globalisasi bangsa, karna rakyat masih sangat mengharapkan isi dalam kemerdekaan, mestinya ini yang harus menjadi cacatan penting untuk kekuasaan yang tidak memiliki jiwa nasionalisme, kekuasaan tidak mampu secara cermati mengdipupkan mimpi seorang pendiri bangsa ( founder father), keinginan besar para pendiri bangsa melihat komitmen serta kesolidaritas Langkah rakyatnya menuju kesejahteraan. Maka dengan persoalan ini kita mengambil sikap bahwa kesejahteraan secara berbangsa dan bernegara itu belum efektif untuk dirasakan, lantaran amburadur kehidupan rakyat, itu tidak berdampingan dengan kebijakan-kebijakan dihadapan publik kita masih merasakan upaya kesedihan hidup dalam negeri ini, barangkali ada yang peduli dalam lingkaran sosial seperti yang dirasakan ini, kemauan masyarakat pada umunya, itu tidak mau melihat begitu saja oleh sekelompok kekuasaan. Akan tetapi kekuasaan hanya memandang sebelah mata dalam berjiwa nasosialisme, harapan besar kita sebagai seseorang rakyat tidak mau telantar dalam hidup dibangsa ini.
pSebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila tentu tidak akan lepas dari nilai-nilai sosialnya. Namun keberadaan ideologi Pancasila sudah mulai pudar dalam memandang kehidupan berwarga negara, seharusnya paham betul sebagai tanah air yang menampung rakyat di dalamnya.
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan demokrasi, namun kenyataannya demokrasi dibungkam, diancam, bahkan dikriminalisasikan oleh kekuasaan sekalipun, Sungguh segitunya nilai demokrasi dalam negeri ini. keberadaan demokrasi sudah mulai tidak dipandang oleh kekuasaan, demokrasi yang menjadi landasan utama negara. kini sudah sering melenceng dipergunakan karna masih memihak dalam berkepentingan kelompok maupun secara sikap individu.
Dewasa ini, rezim seolah alat yang mengancam kebebasan itu tidak terlalu berpoin secara sistematis dalam menyangkut nilai kemanusiaan, sebagai bangsa yang baik. Bangsa yang mampu mempertimbangkan keberadaan rakyatnya, nampaknya kehidupan sekarang masih belum punya gerbong dalam memimpin yang menjadikan landasan dasar untuk menuju kestabilitas paradigma kehidupan sosial, bahkan kebebasan dalam kehidupan kita diatur, dibatasi dalam ruang pergerakan, pergerakan mulai sempit dalam mencari jalan kehidupan, seolah-olah kemerdekaan dalam individu itu tidak lagi memiliki potensi dalam membicarakan apa yang menjadi tuntutan utama dalam berkehidupan, semua ruang ditutupi, dibatasi, dan diperkecilkan.
Sepertinya keberadaan rakyat menyampaikan segala asumsinya itu diabaikan dan dibiarkan begitu saja oleh segelintir kelompok kekuasaan.