Mungkin beberapa dari kita sudah melihat unggahan dari BEM UNRAM atas tanggapan mereka terhadap gerakan feminisme yang sedikit banyak cukup memancing reaksi dari mahasiswa. Dalam unggahan tersebut dinyatakan bahwa feminisme dianggap sebagai paham yang meniadakan fitrah perempuan yang seharusnya menjadi hamba yang Sholehah, istri yang mematuhi suami dalam hal kebaikan, mendidik anak, bermanfaat bagi semesta, dan lain sebagainya.
Lantas, apa yang salah, dari postingan ini? tentu ada yang salah guys. Setidaknya menurut penulis, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari unggahan ini, pertama, cara penyampainnya yang self righteous, menghakimi, dan terkesan menggeneralisir. Kedua, terlepas dari gagasannya yang disampaikan melalui platform Instagram, unggahan ini tidak mencantumkan sumber yang menjadi basis dari argumentasi dan tuduhan-tuduhannya atas gerakan feminism. Ketiga, kajiannya terkesan sangat dangkal, sekalipun terdapat kalimat “ketika kita mengkaji lebih dalam” dalam unggahan tersebut. Untuk memulai argumentasi dari tulisan ini mari kita menelisik sedikit lebih jauh tentang sejarah singkat kemunculan dan perkembangan paham dan gerakan feminisme.
Jika ditelisik sedikit lebih jauh, feminismE mulai lahir dan mulai dinamai feminisme sejak tulisan dari seorang filsuf politik Marry Wollstenhome, “A Vindication of the Rights of Woman” dipublikasikan. Tulisan tersebut dinilai cukup kontroversial di zamannya dikarenakan penolakannya atas pendapat yang umum pada masa itu bahwa laki-laki adalah sex yang lebih utama dibanding wanita, dan wanita adalah sex kelas dua.
Wollstenhome dalam tulisannya berpendapat bahwa sistem edukasi pada masa itu cenderung menomorduakan perempuan, dikarenakan menganggap bahwa tugas utama wanita adalah pekerjaan domestik, dan wanita tidak memerlukan pendidikan yang tinggi dikarenakan hal tersebut. Pada masa itu wanita dianggap secara alami berbeda dari laki-laki, dan perbedaan itulah yang menyebabkan posisi wanita dalam strata sosial lebih rendah dibanding laki-laki. Alih-alih mengamini hal tersebut, Wollstenhome menolak dan memandang bahwa kultur, sistem, dan interpretasi atas dalil-dalil agamalah yang menyebabkan itu terjadi.
Hal yang juga penting untuk saya sampaikan disini adalah, jika ada pendapat bahwa pandangan seperti ini (pandangan tentang inferioritas wanita) hanya dimiliki oleh masyarakat tidak terdidik, anda salah, karena intelektual top, pejabat tinggi, dan orang-orang berpengaruh pada zaman itupun berpendapat demikian. Anda mungkin akan terkejut jika mendengar bahwa Intellectual Giant seperti Jean-Jacques Rousseau yang teori-teori nya menghiasi buku-buku kuliah kita, khususnya para anak sosial politik, juga beranggapan demikian. Tidak tanggung-tanggung, Rousseau bahkan beranggapan bahwa terdapat perbedaan secara alamiah diantara kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), dan bahwa laki-laki memang dasarnya lebih cerdas dan lebih aktif dibanding permpuan. Ketergantungan perempuan atas laki-laki adalah kondisi alamiah (memang seharusnya terjadi), dan ini disebabkan bukan oleh pranata sosial, melainkan dikarenakan perbedaan dari kapasitas laki-laki dan perempuan dalam bernalar”.
Bisa kita bayangkan, jika raksasa intelektual sekaliber Rousseau saja berpendapat seperti ini, bagaimana masyarakat umum pada zaman itu? bagaimana orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah memandang perempuan? bagaimana para pejabat akan membuat kebijakan?
Adalah hal yang sangat masuk akal dan memang seharusnya terjadi, perlawanan perempuan terhadap pranata sosial dan prejudice terhadap perempuan di zaman itu, hidupnya gerakan feminisme justru adalah hal yang sangat diperlukan.
Wollstenhome dengan berani dan penuh percaya diri menantang diskursus yang kala itu mapan, dengan menerbitkan tulisan-tulisannya yang berisi bantahan terhadap persepsi kaum-kaum intelektual dan petinggi negara pada zaman itu.
Untuk memperjelas keadaan sosial masyarakat pada zaman itu, perlu saya sampaikan juga bahwa di zaman itu, wanita tidak diizinkan memiliki properti atas nama mereka, tidak bisa menandatangani dokumen legal, harus menyerahkan gaji yang didapatkan dari pekerjaan mereka kepada suaminya, tidak bisa memilih dalam pemilu dan dianggap tidak perlu tercatat dalam data-data sipil kewarganegaraan. Singkatnya, eksistensi sipil dari wanita ditolak dan hanya diakui dalam kasus pengadilan (hanya dicatat jika melakukan pelanggaran hukum).
Sebagai penegasan kembali, dimanakah fenomena ini terjadi? di Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, negara-negara yang pada zaman itu (ya di zaman sekarang juga masih sih) adalah negara-negara dengan perdaban maju, di bidang teknologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Jika di negara-negara sekaliber itu saja seperti ini, bagaimana dengan kebanyakan negara-negara lain di dunia? bisa kita bayangkan sendiri.
Anggapan yang menyatakan bahwa feminisme menentang agama dan menyatakan agama sebagai sumber penindasan terhadap kaum perempuan juga saya pikir perlu di cross-check kembali. Perlu dicatat bahwa Wollstenhome (lagi-lagi, nanti disebutin juga yang lain deh) adalah seorang Kristen, sekalipun tidak pernah menyatakan keimanannya kepada kekristenan dalam tulisan-tulisannya, Wollstenhome juga tidak pernah menyatakan dirinya menolak kekristenan, atau menyatakan bahwa kekristenan adalah sumber dari penindasan terhadap wanita, yang dia advokasi adalah interpretasi atas agama yang dijadikan dalih untuk melanggengkan supremasi laki-laki dibidang sosial dan politik pada masa itu.
Wollstenhome mengkritik konsep “dosa asal” yang diambil dari Alkitab yang digunakan untuk menderogasi perempuan, karena dianggap sebagai makhluk yang memaksa Adam untuk memakan buah terlarang, yang dengan kisah itu, wanita kemudian dicitrakan sebagai makhluk inferior dan penyebab masalah. Ya, kalau saya bilang, mirip-mirip dengan ayat dalam Surat An-Nisaa ayat 34 yang menyatakan bahwa “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Seandainya orang membawa ayat ini kemudian melarang perempuan untuk jadi ketua kelas, mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, bupati, gubernur, mungkin banyak diantara kita yang kesel juga kan. Apalagi kalau sampai ada orang yang mau menerobos antrian di minimarket melewati perempuan-perempuan yang antri dengan bilang “sesungguhnya laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”, saya yakin adu jotos nya tidak akan berjalan sebentar, ya karena emang nyebelin banget. Kurang lebih seperti itulah pergulatan kaum perempuan di masa itu dengan interpretasi agama.
Setelah Wollstenhome, akhirnya mucul tokoh-tokoh feminis yang lain dan berkembanglah paham feminisme menjadi lebih beragam dengan berbagai macam aliran, mulai dari feminisme sosialis, liberal, psikoanalisis, eksistensialis, postmodern dan lain sebagainya. Saya berusaha positive thinking saja, mungkin yang ingin disasar BEM Unram adalah feminisme-feminisme baru, yang gagasannya menentang agama, menentang sistem keluarga, dan bahkan menentang perbedaan biologis dasar antara laki-laki dengan perempuan yang menurut saya memang cocok di debatkan, walaupun saya tidak keberatan juga seandainya ada yang berpendapat seperti itu, selama hanya pendapat dan tidak mengacaukan masyarakat, seharusnya ya tidak apa-apa.
Untuk menghormati perjuangan para tokoh, mungkin saya sampaikan dua tokoh lagi, yang menurut saya pantas menyandang gelar feminis dan aktivis yang inspiratif, yakni Emma Goldman dan Margaret Sanger. Emma Goldman dan Margaret Sanger bisa dikatakan sebagai tokoh awal-awal yang mempromosikan birth control, atau yang istilah yang lebih kita kenal sekarang sebagai KB (Keluarga Berencana, ya mirip-mirip itulah). Keduanya beranggapan bahwa perempuan seharusnya bisa menikmati hubungan seks tanpa harus memiliki anak, yang pada zaman itu mungkin orang masih berpikiran bahwa, hubungan seks hanya untuk reproduksi semata, dan wanita tidak perlu menikmati hubungan seks, asalkan laki-laki puas.
Ide ini mungkin bagi beberapa orang di zaman sekarang sudah biasa, bahkan saya juga berani beranggapan bahwa agama pun memerintahkan agar hubungan tersebut (anda tau lah maksud saya, ngaku..), harus bisa dinikmati kedua belah pihak secara setara. Namun pendapat dari kedua tokoh ini pada masa itu dianggap sangat kontroversial, Emma Goldman bahkan ditahan sampai 40 kali karena terus menerus menyebarkan idenya, senasib dengan Goldman, Margaret Sanger juga masuk penjara karena menyebarkan alat kontrasepsi untuk wanita-wanita imigran yang miskin. Bayangkan anda masuk penjara karena menyebarkan alat kontrasepsi untuk warga miskin yang notabene sangat membutuhkannya, jelas akan jadi pengalaman yang sangat tidak seru.
Sekali lagi, seandainya ada orang yang kemudian menyatakan bahwa “banyak anak banyak rejeki, tindakan tersebut memang salah, karena membatasi seseorang untuk punya anak, mereka hanya kaum-kaum yang tidak percaya kepada rezeki yang akan diberikan Tuhan”.
Ya gimana ya, pertama tidak semua orang mempercayai hal serupa, jadi memaksa seseorang untuk tidak boleh menggunakan alat kontrasepsi menurut saya tidak bisa diterima, dan jika melihat keadaan zaman sekarang dengan kondisi dunia yang telah jauh berbeda saya pikir perbincangan kita akan lebih panjang lagi.
Aliran feminisme sangat beragam, jadi menurut saya, menggeneralisir feminisme sebagai paham yang meniadakan fitrah perempuan yang seharusnya menjadi hamba yang Sholehah, istri yang mematuhi suami dalam hal kebaikan, mendidik anak, dan bermanfaat bagi semesta menurut saya kurang bisa diterima, kalau saya bilang sedikit kurang tajam, mungkin karena disampaikan lewat Instagram sih ya. Anggap saja begini, misalnya ada seseorang yang bilang “Islam adalah agama ekstrim yang mengajarkan kekerasan dan bertentangan dengan Pancasila, buktinya 9/11 dan bom bali,” kita pasti kesal juga, dan kata-kata seperti itu tentu akan jadi kata-kata yang sama sekali tidak membuat kita ceria.
Saya juga termasuk orang yang sering berdebat teman-teman perempuan saya yang feminis, soal standar kecantikan, budaya patriarki, kesenjangan gaji dan lain-lain, dan saya tidak alergi dengan itu, dan menurut saya sebaiknya kita tidak. Saya juga sering bercanda ke teman-teman dengan bilang saya misoginis, sambil mengangkat kasus-kasus feminis yang nyiramin cuka ke selangkangan laki-laki di kereta dan feminis yang bilang AC itu sexist (untuk bercanda).
Jadi hal-hal semacam ini sebenarnya tidak perlu dianggap terlalu serius, hanya saja saya dan banyak diantara kita mungkin berharap BEM Unram akan menyampaikan anlisis atau kajian mereka dengan lebih meyakinkan dan akademis sebagai lembaga eksekutif tertinggi di kalangan mahasiswa.
Sekalipun demikian, saya beranggapan bahwa kita yang tidak setuju dengan postingan BEM Unram tidak perlu mengomeli mereka, menghujat, ataupun kalau istilah kaum gaul ngecancel mereka, cukup jadikan untuk bahan diskusi saja, tebarkan perdebatan dengan argumentasi-argumentasi rasional yang akan menghiasi kehidupan intelektual dari kampus tercinta ini.
Menurut saya justru ini kesempatan bagi kita insan akademik untuk menyelenggarakan dialektika atau perdebatan atas suatu isu yang menurut saya banyak diantara kita yang merindukan perdebatan semacam ini. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemantiknya, terimakasih bagi yang sudah membaca.