oleh: Jufrin (Mahasiswa FEB)
 Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat mempunyai cita-cita dan tujuan luhur yaitu melindungi segenap Bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, menjaga ketertiban dunia serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu barometer untuk menilai kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari aspek pembangunan manusia melalui kualitas pendidikannya. Persoalan yang paling fundamental yang menjadi penyakit di sektor pendidikan sedari dulu ialah permasalahan aksesibilitas, anggaran, sarana dan prasarana, kurikulum dan yang sangat krusial adalah mahalnya biaya pendidikan yang selalu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Tren kenaikan biaya pendidikan semakin masif sehingga tidak mengherankan sektor pendidikan menjadi salah satu kontributor utama yang menyebabkan terjadinya inflasi.
Kado Hari Pendidikan Nasional yang pahit harus dirasakan oleh mahasiswa Univ Mataram baru-baru ini karena telah terjadi kenaikan UKT secara signifikan mulai dari Grade II – grade VI yang kontradiktif dengan kondisi ekonomi mahasiswa yang notabenenya terlahir dari rahim masyarakat kelas buruh dan tani. Apabila kita korelasikan dengan UMR NTB yang kurang dari Rp 2,5 jt sangat mustahil bagi masyarakat utk mengakses pendidikan tinggi yg begitu mahal. Belum lagi proses verifikasi UKT terkadang semberono sehingga menghasilkan ketetapan yang tidak valid dan fair menjadi beban ekonomi bagi mahasiswa. Secara yuridis, menurut Permendikbud No. 25 Tahun 2020 Ttg SSBOPTN Pasal 7 mengamanatkan bahwa dasar penentuan UKT harus mempertimbangkan keadaan ekonomi mahasiswa berdasarkan prinsip proporsional dan keadilan.
Bagaimana cara mengukur kemampuan ekonomi mahasiswa? Seharusnya birokrasi kampus melakukan survei lebih mendalam bahkan seharusnya datang ke rumah-rumah mahasiswa agar mengetahui secara objektif dan valid kondisi ekonomi mahasiswa secara rill, bukan berdasarkan analisis subjektif birokrasi, karena kondisi di lapangan membuktikan bahwa banyak mahasiswa yg diberatkan dgn UKT yg mereka bayar yg notabenenya tdk sesuai dgn keadaan ekonominya. Selain itu, yang patut dikritisi adalah mengidentifikasi jumlah persentase mahasiswa yg mendapat UKT grade I dan II serta penerima KIP-K, karena berdasarkan aturan kampus harus mentapkan minimal 20% mahasiswa yg dikenakan UKT Grade 1 & 2 serta penerima KIPK. Absennya keterbukaan birokrasi kampus dalam proses verifikasi grade juga sbg salah satu faktor yg membuat terjadinya ketimpangan grade. Oleh karena itu, seharusnya dlm penentuan grade mahadiswa juga dilibatkan dalam proses verifikasi berlangsung sbg wujud koordinasi dan monitoring untuk meminimalisir hasil yang tidak valid. Pisau analisis kita dari Serikat Mahasiswa Indonesia Komisariat Universitas Mataram untuk menjustifikasi atau membuktikan telah terjadi praktik pelanggaran penentuan UKT adalah dengan menyelaraskan sesuai pasal 7 Permendikbud No. 25 Tahun 2020 Ttg SSBOPTN dan pasal 88 UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Secara hukum administrasi negara setiap keputusan dan tindakan pejabat Tata Usaha Negara harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Dalam konteks permasalahan di Unram jelas melanggar prinsip AUPB yakni asas kemanfaatan, kecermatan, keterbukaan, keadilan dan kepentingan umum sehingga menciderai rasa keadilan sosial. Apabila kita analisis secara kritis kebijakan kenaikan UKT ini tidak pernah melibatkan partisipasi publik sebagai kristalisasi nilai demokrasi dalam pembuatannya. Konsekuensi dari perumusan kebijakan secara top button selalu bermuara pada degradasi nilai nilai keadilan dan kemanusiaan, karena prosesnya tidak melihat realita sosial, ekonomi dan budaya yang ada. Ketika mahasiswa tidak mampu membayar UKT birokrasi kampus malah mengarahkan mahasiswa untuk mengurus surat cuti, dan tidak ada pertanggungjawaban moral dan normatif dari kampus atau pemerintah daerah untuk mengakomodir hak atas berpendidikan terhadap mahasiswa, hal ini bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2012 yang menghendaki adanya tanggung jawab kampus dan pemda untuk menjawab hak atas berpendidikan kepada mahasiswa.
Secara hukum pembuatan keputusan dilandasi oleh asas motivasi dan kecermatan, artinya bahwa sebelum membuat keputusan pejabat TUN harus mempelajari dan mengidentifikasi fakta sosial yang ada sebagai dasar dalam pembuatannya, harus dikorelasikan dengan realita yang ada apakah dampak keputusan tersebut dapat dijalani dan ditakar kesanggupan orang yang terdampak, karena tujuan dari asas kecermatan agar konsekuensi kebijakan yg dibuat tdk menimbulkan kerugian bagi warga negara. Sedangkan asas motivasi mengendaki agar setiap keputusan harus mempunyai alasan yg cukup sebagai dasar dalam menerbitkan kebijakan. Alasan tersebut haruslah jelas, terang, benar, objektif dan adil sehingga menghasilkan kebijakan yg kuat/teguh karena memilih dasar fakta yang benar. Dengan demikian, kebijakan kenaikan UKT secara tiba-tiba tidak dapat dibenarkan secara hukum dan demokrasi serta melanggar prinsip AUPB karena tidak memiliki dasar yg objektif dan tidak relevan dengan kondisi ekonomi mahasiswa
Dinamika pendidikan di era rezim pasar bebas semakin menajamkan cakar kapitalisme di dunia pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan absennya kewajiban konstitusional negara untuk menjamin hak atas akses pendidikan kepada setiap warga negara sebagaimana amanah pasal 31 UUD NRI Tahun 1945. Parameter penilaian untuk menjustifikasi asumsi tersebut adalah adanya legitimasi negara untuk memberikan otonomi kepada setiap PTN untuk mengelola urusan kampusnya masing-masing sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 62 UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sehingga PTN memiliki hak prerogatif untuk menentukan arah kebijakan publik yang notabenenya koktradiktif dengan hak normatif mahasiswa. Hal ini berimplikasi terhadap masifnya pembungkaman demokrasi serta penghormatan dan perlindungan HAM sebagai pilar Negara Hukum akan semakin dinegasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila kita menjinjau dari perspektif HAM bahwa hak atas pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi dan negara harus menjadi aktor utama dalam mengakomodir hal tersebut sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 26 DUHAM dan di pasal 28C dan pasal 31 UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, aktualisasi di lapangan sangat jauh dari amanah Konstutusi dan tujuan nasional bangsa. Faktor utama yang melatarbelakangi hal ini adalah karena tecemarnya dunia pendidikan oleh kepentingan kapitalisme yang menghendaki adanya profit, karena dalam kacamata kapitalisme pendidikan sebagai barang komersil yang tidak bebas nilai. Hal ini menyebabkan konsepsi, falsafah dan mazhab pendidikan yang membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan sebagai alat problem solving mengalami disorientasi dan jauh dari rel keadilan dan kemanusiaan. Kedepannya yang berkembang adalah diskriminasi dan dehumanisasi proses pendidikan. Oleh karena itu, output pendidikan akan gagal memproduksi kesadaran sosial manusia sehingga mengasilkan “penindas-penidas” baru.
Solusi untuk menyelsaikan permasalahan yang pelik ini hanya bisa dijawab dengan persatuan gerakan mahasiswa. Ketika paradigma mahasiswa masih memandang tabu adanya persatuan dan masih terkooptasi serta selalu menuhankan egosentris lembaga maka akan sulit terwujudnya ruang konsolidasi dan akses penyelsaian masalah kampus akan semakin sulit. Sudah saatnya kita untuk melepas atribut dan bendera organisasi, dalam artian bahwa kita harus saling merangkul dan menyatu padukan pemikiran serta memperbesar lingkaran ilmiah untuk duduk membahas secara kolektif permasalahan kampus, disatu sisi BEM selaku badan eksekutif seharusnya dapat merangkul organisasi-organisasi yang ada untuk membuat persatuan yang lebih besar dan bercontinue untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ada di universitas mataram. Hal ini harus disikapi secara cepat karena gerakan mahasiswa tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan kampus hanya dengan sekali atau dua kali gerakan, oleh karena itu di tengah kondisi yang begitu pelik ini kita haruslah mulai membicarakan hal yang normatif bukan membahas hal yang sifatnya prinsipil sehingga berujung pada membesarnya egosentris lembaga yang berujung pada perpecahan bukan pada persatuan.