Media Unram – Hasil swab tes yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit (RS) Universitas Mataram (Unram) menyatakan Ivan Fauzi Ridwan meninggal karena terkena Covid-19. Namun, pihak keluarga masih belum sepenuhnya menerima hal itu. Benarkah Ivan telah dilakukan swab tes untuk kedua kalinya.
Mita menjelaskan, pihak RS Unram belum memberikan bukti kepada keluarga, bahwa mereka telah melakukan swab tes kembali.
Selain hasil swab yang mencurigakan, karena waktu pengecekan dengan hasilnya berselang 32 detik dan dikeluarkan setelah Ivan meninggal. Pihak keluarga juga nampak dipersulit saat ingin melihat rekaman cctv.
“Kemarin, kami sudah ingin melihat. Tapi disuruh hari ini. Setelah menonton, kami tidak diperlihatkan waktu pihak RS melakukan swab tes. Yang diperlihatkan hanya saat mereka mengurus jenazah Ivan. Jadi ini masih ngambang,” katanya kepada Media Unram melalui WhatsApp, Jumat (18/9).
Kemudian, lanjut Mita, tidak terlihat pengawalan saat pemakaman jenazah Ivan. Lalu yang menimbun tanah adalah petugas gali kubur tanpa menggunakan Alat Pelindung Badan (APB). Ivan dimakamkan di TPU Karang Medain.
“Setau saya, ketika ada pemakaman jenazah yang terkena Covid-19, mulai dari yang penggalian liang lahad hingga penimbunan menggunakan APD yang lengkap. Serta kuburannya kok berdekatan dengan kuburan yang bukan terkena Covid. Harusnya kan dibedakan,” beber perempuan berkacamata ini.
Tidak hanya itu, nama Ivan juga tidak terdaftar dalam press release. Baik yang ada di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun daerah asal Ivan, Sukabumi, Jawa Barat (Jabar).
“Sampai hari ini, Kamis (17/9) namanya Ivan belum terdaftar. Ini kan aneh,” katanya.
Pihak keluarga juga merasa ambigu dengan pernyataan RS, bahwa segala yang berkaitan dengan Covid-19 ditanggung pemerintah.
“Katanya, semuanya ditanggung pemerintah. Tapi kok biaya pemakaman dan gali kubur, kami yang urus. Kami tidak mempermasalahkan uang. Cuman kami heran aja,” kata ayah Ivan, disela-sela pembicaraan Mita.
Sementara itu, Wakil Direktur RS Unram, dr. Adanto Wiweko menjelaskan, rumah sakit tidak berhak untuk memasukan data Ivan ke dalam press release. Karena itu bagian dari wewenang Satuan Tugas (Satgas) Covid-19.
“Setiap sore kami melaporkan yang positif berapa dan yang negatif berapa. Saya sendiri punya pengalaman ada yang rilis dihari yang sama ada yang menunggu satu bulan atau sehari setelahnya,” ucapnya.
Kemudian, lanjut Adnanto, petugas RS Unram hanya mengantar dan memasukkan jenazah ke dalam kubur. “Yang menimbun itu masyarakat,” katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan, awalnya Pemerintah Kota (Pemkot) memiliki satgas pemakaman. Namun, sudah tidak ada sejak Juli lalu. Hanya RS Kota Mataram dan RSUD Provinsi saja yang mampu melakukan penimbunan. Karena kedua RS itu memiliki Satpol PP.
“RS Unram tidak mampu melakukan penimbunan, juga penggalian. Tidak mungkin memerintahkan pegawai saya melakukan itu. Karena sampai saat ini kan juga aturan itu tidak begitu jelas jadi semuanya ditanggung rumah sakit,” jelasnya kepada Media Unram.
Adnanto juga mengaku, pihaknya tidak mengetahui terkait uang pemakaman. Menurutnya, RS Unram bukan dinas yang bisa berbuat banyak. Sudah mengirim petugas hingga ke TPU adalah usaha yang baik dari Unram.
“Bayangkan, sekali ngirim itu menggunakan enam APD, dikali Rp. 500rb, kan banyak. Kalau disuruh dimakamkan dan sebagainya, kita kaya lilin, kita tolong orang kita juga hancur. Saya juga harus jaga performa anak-anak saya. Kalo mereka melakukan yang terlalu jauh dari tugas mereka pasti akan ada masalah internal,” jelasnya.
Menurutnya, masalah pemakaman memang tidak ideal. Seharusnya, kata dia, Pemda atau pemerintah mengambil ambil peran. “Kalau diserahkan ke rumah sakit jelas, kami ndak mau,” ungkapnya.
Terkait pengamanan, Adnanto mengatakan, tidak semua butuh keamanan. Polisi memiliki SOP, polisi dapat menentukan mana yang perlu dikawal dan yang tidak. Salah satu indikator yang perlu dikawal adalah tergantung daerah. Apakah sebelumnya pernah diprotes atau tidak.
“Pada kasus ini, kemarin kita lapor. Kami mengatakan bahwa alm. Ivan mahasiswa kami. Jadi polisi memutuskan untuk tidak mengirim orang. Menurut saya juga memang sedah tepat, istilahnya menghemat sumber daya. Kalau memang tidak perlu, buat apa,” kata Adnanto.
Dia juga mengakui, selama RS Unram memakamkan pasien, hanya dua kali mendapatkan pengawalan. Karena sebelumnya, mereka menyelesaikan secara baik-baik.
“Makanya saya agak kaget, keluarga komplain, setau saya udah oke. Saya baru sadar, karena satu masalah. Ternyata bapak ibu pasien tidak ada di sini, jadi mungkin infonya tidak tersampaikan dengan baik dan kedua mungkin ada penarikan biaya dari pemakaman,” bebernya.
Di ujung pembicaraanya, Adnanto juga menjelaskan, pihak RS Unram sudah memberikan 169 file rekaman cctv.
“Kita hanya merekam ketika ada gerakan saja agar tidak penuh penyimpanan kami,” pungkasnya. (khn)