“Sita…!”
Teriakan itu menyambut pagiku. Beginilah kehidupanku, disambut oleh teriakan amarah setiap harinya.
Cukup dengan bergegas lari menghampiri sumber teriakan, menunduk sambil mendengar ocehan wanita berumur 41 tahun itu.
“Kamu ya, berapa kali harus diigatkan, sehabis solat mukenahnya digantung!”
“Apa susahnya mengambil hanger, kamu itu sudah besar, tidak perlu diingatkan setiap hari.”
Aku bahkan bisa hafal kalimat itu.
Benar, wanita itu ibuku. Ada saja hal yang menguras emosinya, bahkan dalam sehari bisa lebih dari sekali aku dimarahinya. Terkadang aku heran, kenapa bisa selalu ada saja hal yang terjadi setiap harinya yang mengharuskan aku mendengar omelannya. Ini membuatku muak, terkadang.
Ibu hanya melanjutkan ocehannya sambil menggantung mukenah yang kupakai saat solat subuh tadi. Kemudian menyuruhku ke meja makan untuk ikut sarapan bersama Rara, kakakku.
“Kena marah lagi ya dek?” tanya Rara.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum dan menggaruk rambutku.
Tidak ada hal panjang yang perlu kami bicarakan, kakakku hanya mengunyah makanannya sambil memantau HP-nya, dia termasuk orang yang tidak pernah lepas dengan benda elektronik itu.
Enaknya, Rara tidak pernah dimarahi ibu karena dia sudah bekerja. Biasalah, ibu akan berbaik hati dengan anaknya yang sudah bisa membantu perekonomian keluarga. Sedangkan aku, hanya bisa membuat darah ibu naik saja setiap hari.
Rara berpamitan dengan mencium kening ibu, mengelus rambutku kemudian berkata, “ayok hari ini jangan nakal ya”.
Siapa coba yang nakal, aku tidak berbuat apa-apa, ibu saja yang selalu over marahnya.
“Cepetan dong, nanti ikan di tempat biasa ibu beli kehabisan.”
Selain mendengar ocehannya yang berisik itu, aku juga harus menemani ibu ke pasar setiap hari, membosankan, bau ikan, becek, belum lagi harus menahan malu saat ibu mulai menawar belanjaannya.
Aku terus menarik baju ibu menandakan aku ingin pulang dari tempat yang sangat ribut itu.
“Besok kau tidak usah ikut lagi, tidak sabaran sekali.”
Ibu terus saja memarahiku sampai depan rumah.
“Eehh, Saebah. Janganlah kau memarahi Sita terus, kasihan dia. Apa kau tidak bisa memahami dan berhenti memarahinya?” ucap tetanggaku yang setiap hari mendengar ocehan ibu padaku.
Rasanya ingin menghilang saja aku, apa ibu tidak bosan memarahiku? Aku hanya ingin seperti orang lain, bisa bermain dengan siapapun, tidak hanya berdiam diri di rumah saja.
…
Setiap hari aku hanya memandangi luar jendela kamarku, menatap langit, bersenandung kecil sambil menelaah kejadian hari ini. Hanya begitu, berulang setiap harinya.
Sebenarnya aku bisa keluar bermain bersama anak-anak seusiaku, namun terkadang lingkungan yang menjadi tempat lahirku ini tidak bisa menerimaku.
Andai mulut ini bisa berbicara, akan aku utarakan semua hal yang selama ini aku rasakan. Tidak lagi hanya menunduk dan mengeluarkan air mata.
Jika menginginkan sesuatu tidak lagi menarik-narik baju ibu, andai saja.
“Ikut aku, kita akan pergi bermain ke taman bahkan kemana kau ingin pergi,” ucap Rara yang sedari tadi berdiri di pintu kamarku.
Hufft, wanita ini memang selalu mengerti aku.