29.8 C
Mataram
Monday, October 7, 2024
spot_img

Masa Depan Hukum Pasca Penghentian Kasus Pembunuhan Begal

Oleh: Safran, SH.MH (Tim Hukum, PBH LPW NTB)

Penyidik kepolisian memiliki kewenangan dalam penerapan diskresi sebagaimana diatur dalam KUHAP ketentuan Pasal 5 ayat (1) poin 4 dan ketentuan Pasal 7 huruf (J) dimana penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab”.

Kewenangan yang sama juga diatur dalam PERKAP Nomor 6 Tahun 2019, ketentuan Pasal 30 Ayat (2) dimana “Penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan” dengan demikian secara normatif kepolisian melalui kewenagan diskresi dimungkinkan melakukan penghentian penyidikan dengan menerapkan.

Surat penghentian penyidikan (SP3) sebagaimana diataur pada ketentuan Pasal 109 KUAHP ayat (2), dengan syarat dan ketentuan penghentian penyidikan bisa dimungkinkan karena tiga hal. Pertama, karena tidak terdapat cukup bukti. Kedua, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana dan ketiga, dihentikan demi hukum.

Kepolisia dengan kewenangan diskresi yang dimiliki diatas bukan berarti kepolisian bisa menerapkan kewenangan itu secara bebas dan melampui batas norma, penerapan diskresi menurut Hari sasangka dan lily Rosita melalui penerjemahan ketentuan Pasal 5 ayat (1) poin 4 dan Pasal 7 Huru (j) KUHAP harus memenuhi lima syarat yakni; tidak bertentangan dengan aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya serta atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
Menghormati hak asasi manusia.

Pemaknaan Diskresi yang Melampaui Batas

Dengan mencemati terjemahan uraian diatas penghentian penyidikan (SP3) yang dilakukan oleh POLDA NTB terhadap kasus pembunuhan dua orang yang diduga merupakan begal oleh Amaq Sinta (AS), bertentangan dengan syarat dan ketentuan serta kewenangan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Selain itu polisi mengabaikan ketentuan PERKAP No. 6 Tahun 2019, dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) yang menyatakan, “penghentian penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Pemaknaan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab dan dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan ialah penerbitan Surat penghentian Penyidikan (SP3) tidak boleh mendiskreditkan ketentuan norma yang ada dalam Pasal 351 ayat (3) dan ketentaun Pasal 338 KUHP yang mengatur tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian dan pembunuhan biasa yang mungkin dilakukan oleh Amaq Sinta (AS) dalam kasus itu.

Penyidik kepolisian secara normatif tidak memiliki kewenangan mengadili dan memutuskan apakah suatu perbuatan pidana itu dibenarkan oleh hukum dalam prespektif overmacht atau noodwer dan noodwer exes, penyidik kepolisi dalam ketentuan Pasal 106 KUHAP “penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperluka. Ketentuan pasal diatas menegaskan dan memberi batas kepada penyidik kepolisian terhadap laporan yang disampaikan oleh masyarakat apakah merupakan tindak pidana atau tidak.

Penyidik kepolisian perlu memperhatikan, memahami dan mengerti, pemaknaan keadilan dalam prespektif hukum pidana sebagaimana keadilan yang dimaksud dalan PERKAP No. 6 Tahun 2019 dalam Ketentuan Pasal 30 ayat (2). Keadilan yang ingin dicapai oleh hukum pidana ialah Keadilan Korektif yang merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Prinsipnya adalah hukuman harus memperbaiki kejahatan. (Aristoles, dalam teori sosial etis).

Dalam sistem peradilan pidana Indonesia masih menganut teori pemidanaan absolut dan teori relatif dalam pandangan kant, Hegel dan Herbart, “ketercelaan yang terjadi karena kejahatan yang dilakukan, dapat kita temukan pembenaran bagi pidana. Pandang demikian menurut Jan Ramellink berkesesuaian dengan kesadaran masyarakat yang umumnya cenderung sepakat bahwa, siapa mengakibatkan penderitaan, maka iapun harus menderita atau setiap orang layak mengalami sendiri apa yang ia akibatkan. Kant memandang tuntutan penjatuhan pidana demikian bersumber pada nalar praktis dengan kata lain sebagai tuntutan etis.

Hegel memandang kejahatan merupakan pengikaran pada realitas, yang niscaya diselesaikan melalui pidana, sedangkan pandangan hukum teori relatif mengemukakan bahwa pidana dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana bukan sebagai pembalasan. Pidana di jatuhkan sebagai sarana untuk pembinaan bagi pelaku tindak pidana tersebut. Dengan demikian untuk mencegah terjadinya suatu kejahatan yang sama. Orientasi dari kedua teori diatas ialah pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana, perbedaannya teori absolute keras sedangkan teori relatif lebih halus, namun keduanya sama berorientasi pada penghukuman sebagai instrumen keadilan bagi pihak korban yang mengalami penderitaan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Dalam tataran keadilan penerbitan surat penghentian penyidikan (SP3) oleh POLDA NTB terhadap kasus Amaq Sinta (AS) tidak terpenuhi karena keadilan yang di argumentasikan mengabaikan keadilan pada pihak korban yang dalam hukum pidana dijadikan tujuan utama dalam proses hukum.
Penerapan kewenagan diskresi oleh POLDA NTB dengan diterbitkaan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus pembunuhan begal’ dengan mendasari pada kemanfaatan hukum yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, dengan teori hukum penyokong kebahagian” tidak tepat dan terkesan mendeskriditkan teori hukum. Pada hal yang dimaksud dalam teori kemanfaatan hukum adalah penegakan hukum dalam pelaksanaannya, sepantasnya mempertimbangkan akibat dari perbuatan pidana yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana, sebagai contoh kasus seorang Nenek yang maling randu, sisa padi di Jawa dan seorang anak yang maling sandal jepit di ancam pidana sebagaimana ketentuan Pasal 362 KUHP. Pada kasus inilah penerapan tujuan kemanfaatan hukum itu dipentaskan dan didayagunakan untuk kepentingan yang lebih besar. Sedangkan pada kasus pembunuhan dua orang yang diduga begal tidak bisa berlindung dari tujuan kemaafatan sebagai argumentasi pendukung penerbitan SP3.

Penyidik kepolisian POLDA NTB keliru dalam memaknai makna keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum.
Penerapan diskresi kepolisian berbasis hukum progresif, penyidik kepolisian POLDA NTB perlu memahami teori progresif yang digagas oleh Satjipto Raharjo secara utuh. Gagasan itu lahir dari kegalauannya dengan penyelenggaraan hukum Indonesia di masa transisi, dimana hukum dijalankan layaknya dalam kondisi norma, akibatnya hukum terdorong ke luar jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Menurutnya hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi itu maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia bukan manusia yang melayani hukum. Hal ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro keadilan dan hukum yang pro rakyat.

Dalam gagasan hukum progresif para pelaku hukum diharuskan mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam proses penegak hukum. Para pelaku hukum dalam prespekti hukum progresif dimungkinkan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tampa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law) sebagai upaya mencapai keadilan hukum. Para pelaku hukum yang dimaksud dalam hukum progresif mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Lembaga-lembaga penjaga marwah hukum ini memiliki tugas masing-masing, sebagaimana yang diatur dalam UU dan aturan turunan instansi masing-masing. Yang ingin disampaikan dalam uraian hukum progresif ini adalah penyidik kepolisian tidak memiliki kewenangan melakukan pemaknaan hukum secara kreatif dalam upaya memberikan keadilan hukum pada suatu peristiwa pidana. Pemaknaan secara kreatif oleh penyidik kepolisian terhadap kasus pembunuhan dua orang yang diduga begal itu mendiskreditkan posisi kejaksaan sebagai penuntut umum dan pengadilan sebagai pemutus.

Dalam sistem peradilan pidana hanya hakim yang diberikan kewenangan untuk menetapkan dan memutuskan seorang melakukan tindak pidana tau tidak berdasarkan kayakinan dan maksimum dua alat bukti, (Teori Negatif Wettelijk Bewijstheorie). Penyidik kepolisian POLDA NTB dengan kewenangan diskresi, selain keliru dalam pemaknaan teori keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum juga melakukan lompatan norma yang sangat jauh ditandai dengan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), yang menabak beberapa ketentuan hukum sekaligus, diataranya, ketentuan Pasal 109 KUHAP ayat (2) yang mengatur penghentian penyidikan demi hukum.

Pemaknaan dihentikan demi hukum dalam ketentuan pasal diatas bukan dalam konteks overmacht Pasal 48 dan noodwer atau noodwer exes Pasal 49 ayat 1 dan 2” melainkan merujuk pada ketentuan Pasal 77 KUHP terdakwa meninggal dunia, Pasal 76 Nebis in idem, Pasal 78 kedaluwarsa/ verjaring dan pencabutan perkaran yang sifatnya delik aduan Pasal 75 dan 284 ayat 4 KUHP. Selain itu mengabaikan syarat-syarat penerapan diskresi dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) poin 4 dan ketentuan Pasal 7 huruf (J) serta mengabaikan PERKAP 6 Tahun 2019, ketentuan Pasal 30 ayat (3). Dengan demikian Surat Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Penyidik kepolisian POLDA NTB sejak lahir memiliki kecacatan bawaan.

Masa Depan Hukum

Pengambilalihan kewenangan pengadilan oleh kepolisian dalam kasus pembunuhan 2 orang yang diduga begal oleh Amaq Sinta dalam hal menetapkan dan memutuskan seseorang melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum materiil, akan berdampak pada ketidak percaya masyarakat kepada institusi kepolisian.

Ketidakpercayaan terhadap penegakkan hukum pada momentum tertentu akan memicu masyarakat melakukan main hakim sendiri. Akhirnya pengadilan jalanan (street jutice) menjadi yang paling dominan dalam penyelesaian masalah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada tataran ini hukum tidak lebih dari kertas kosong yang tidak bernilai lagi.

Media
Mediahttps://mediaunram.com
MEDIA merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Universitas Mataram yang bergerak di bidang jurnalistik dan penalaran.

Related Articles

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles