Oleh: Agil Mahasiswa Fakultas Hukum Unram
Manusia adalah puncak dari ciptaan tuhan yang paling sempurna, dari sekian banyak mahluk yang diciptakan oleh tuhan hanya manusialah yang di anugrahi akal. Dengan bekal akal yang diberikan menjadikan manusia mahluk paling agung yang ada di dunia, akal yang di anugrahi oleh tuhan hendaknya untuk menuntun manusia agar senantiasa berpikir “Sapiens: manusia bijak”.
Kita akan mengajukan pertanyaan awal tentang manusia, apakah manusia itu? Penulis ingin meminjam diktumnya “Albert Camus” manusia adalah kuasa yang meruntuhkan tiran dan dewa-dewi, dan manusia ialah yang tidak melacurkan kata. Barang siapa yang mengatakan bahwa langit itu biru, padahal setengah kelabu dia telah melacurkan kata. Dan telah mempersiapkan diri untuk menjadi tirani.
Pada modernitas zaman yang tengah di geluti sekarang, hendaknya kita merenungkang ungkapan kontroversialnya “Albert Camus” yang mengungkap bahwa manusia merupakan kuasa penakluk. Namun dalam fakta yang terjadi, bahkan kita sendiri telah melacurkan nilai kemanusian itu, pada zaman modern manusia benar-benar tidak memiliki kuasa ketika berhadapan dengan teknologi yang merenggut etos kemanusian, teknologi sekarang tidak lagi menjadi alat-alat pembantu manusia. Justru yang terjadi manusialah yang diperalat oleh alat-alat.
Bahkan keberadan manusia kini tidak lebih daripada spesies lain yang dikendalikan, manusia tidak lagi menjadi penentu, pengendali, dan penguasa atas spesies yang ada. Melainkan menjadi spesies yang turut di setir oleh benda atau alat-alat. Micheal Foucault mengenai Information and Communication Technologies (ICT) merupakan “teknologi kendirian” yaitu, modifikasi tubuh, jiwa, perilaku, pikiran untuk tranformasi diri mencapai kebahagian, karena “ICT” menjadi struktur kita bahkan lebih dari itu menyangkut soal ada atau tidak, yakni mempengaruhi ontologi manusia.
Realitas Manusia Modern
Rafael Capurro seorang filsuf teknologi modern, Capurro menjelaskan perkembangan digital modern ini mengharuskan filsafat mengkaji ulang tentang ontologi, perubuhan besar dalam komunikasi umat manusia tidak hanya mengubah gaya hidup manusia, melainkan juga tentang eksistensi manusia memaknai baik dan buruk. Komunikasi merupakan esensi utama manusia bagi Jurgen Habermas dan juga menurut Yuval Noah Harari, sosialitas homo sapiens berevolusi berkat gosip, perubahan besar atas komunikasi, dari komunikasi korporeal menuju komunikasi digital telah merubah realitas masyarakat.
Manusia pra-digital merupakan “zoon logon echon” mahluk pemakai bahasa, manusia hadir secara ragawi sebagai pendegar atas manusia lain, namun di era digital manusia hadir secara jauh bahkan dimungkinkan pula tidak hadir, evolusi manusia dari Homo Sapiens ke Homo Digitalis telah mengubah manusia menjadi objek yang di peralat oleh alat-alat teknologi, kita mungkin beranggapan kitalah yang menggunakan media, tanpa disadari manusia sendiri adalah mahluk yang dikendalikan oleh media.
Revolusi digital telah mengubah peradaban secara signifikansi, semua kegiatan manusia pada era digital yang mulanya dari dunia nyata bepindah ke virtual, telah menjadi kegelisan umum perubahan yang di alami memberikan dampak yang kopleks terhadap eksistensi manusia,
Dalam pandangan A, Wattimena manusia dalam era digital telah tercabut dari dunianya yang nyata dan seolah berenang tanpa arah dalam lautan digital, bahkan semakin dia mencari ara, semakin ia tersesat pada dunai digital. Parahnya, keberadaan manusia terut ditentukan oleh aktivitasnya di media sosial, harga dirinya ditentukan oleh digital, kita post foto, pikiran kita akan tearah pada seberapa banyak like, comen, subscribe dan yang lihat strory yang di post di sosial media.
Penulis ingin kembali pada konsepsi Martin Heidegger, yakni manusia sebagai Dasein pada awalnya mengalami masa primordial, menurut Heidegger manusia terlempar begitu saja dalam dunia, ia bearada di dunia yang asing bagi dirinya, ia tidak tau darimana ia berasal dan akan kemana ia setelahnya, menyadari demikian menimbulkan rasa kecemasan keberadaanya di dunia dan menimbulkan ambivalensi.
Pada sisi lain, ia terpaksa harus betah di dunia, di tempat tinggal awalnya “Rumah” karena itulah tempat pertama ia kenal dari awal, meski pada awalnya manusia merasa asing di dunia, siklus perubahan membiasakan manusia betah berada di dunia, hingga akhirnya muncul “Revolusi Digital” manusia sebagai Dasein yang terlempar sekali dalam dunia dan merasa asing, setelah “Revolusi Digital” manusia menjadi Digisein, terlempar dalam dunia digital bukan hanya sekali, melainkan terlempar berkali-kali hingga merasakan kepuasan dalam dunia digital dan menjadi Homo Digitalis.
Dasein ialah mahluk yang memiliki tubuh dan jenis kelamin, Dasein mahluk yang hanya mati sekali dan tidak bisa dihidupkan kembali, berbeda dengan Digisein “Homo digitalis” ia merupakan mahluk yang mati berakali-kali dan kembali dihidupkan berkali-kali lipat, sebab Homo Digitalis mengalami kematian pada saat habis kouta dan baterai, setelah kouta dan baterai diisi Digisein akan kembali hidup dan menikmati dunia digitalnya.