Mataram, MEDIA – Pelaksanaan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akhir-akhir ini yang cenderung menggunakan kekuasaan terus mendapat sorotan dari akademisi dan aktivis Nusa Tenggara Barat.
Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat (LPW NTB) yang terus konsisten mengkritisi Polri kembali mengadakan agenda Literasi Hukum seri Mimbar Hukum “Polisi dalam Pusaran Kekuasaan” pada Rabu (07/06/2023) di Kedai Tujuh, Kota Mataram.
Narasumber utama pada agenda ini yaitu Taufan selaku Dosen dan Direktur LPW dengan materi “Kekerasan Polisi dan Penegakan hukum”, Ishak Hariyanto, Dosen dan Pengamat Filsafat dengan materi “Kekuasaan dalam Tubuh Kepolisian.”
Acara dipandu oleh moderator Uswatun Khasanah atau Badai NTB. Hadir akademisi penanggap, L.M. Nazar Fajri, Dosen FIA UNW, bidang kajian kelembagaan, Agus, Dosen UIN Mataram dengan bidang kajian Politik, Hamdi, Dosen bidang kajian Kebijakan Publik, serta perwakili organisasi masyarakat sipil, Dayat, selaku Direktur PKBI NTB.
Hadir pula perwakilan Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Koalisi Melawan Kekerasan, Pelanggaran HAM dan Reformasi Polri (Kompak), Organisasi Pemuda dan Mahasiswa, serta diramaikan oleh mahasiswa dan masyarakat umum.
Mengawali paparan, Taufan, mengutip Lord Acton, bahwa “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely. “Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak korup mutlak,” tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa pengamatan Acton diartikan bahwa semakin besar kekuatan yang dimiliki seseorang, semakin lemah rasa moralitasnya.
“Fungsi Kepolisian dalam UUD NRI 1945 dan UU Polri menunjukan kekuatan besar. UUD NRI, mencantumkan POLRI sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum.
“Sehingga rentan penyalahgunaan yang menyeret lemahnya moralitas Polisi. Dari kasus Ferdi Sambo, Tedy Minahasa, Tragedi Kanjuruhan, AKBP Achiruddin, pelaku kekerasan seksual, pengedar narkotika hingga berbagai kekerasan polisi yang sulit dideteksi oleh peradilan,” tuturnya.
Taufan menyampaikan kondisi pada data kekerasan Komnas HAM, Kontras dan Catatan Hitam yang dirilis oleh PBH LPW NTB. Laporan Kontras sejak Juli 2021-Juni 2022, mencatat ada 677 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kemudian sepanjang tahun 2022, Komnas HAM mencatat sebanyak 2.580 pengaduan oleh masyarakat terkait dengan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh institusi kepolisian.
“Secara kualitatif, kita juga bisa melihat dari Catatan Hitam Kapolda NTB yang dirilis oleh PBH LPW NTB. Ada kasus Muardin korban Pilkades Ricuh, kekerasan pada aksi KOMPAK dan demonstran FPR DS,” ungkapnya.
Taufan menyatakan pula bahwa pembatasan kekuasaan sebenarnya telah diatur oleh hukum positif, dari UUD NRI 1945, UU Polri, PP hingga Peraturan Kepolisian. Esensi hukum adalah menjaga moralitas, membatasi kekuasaan, untuk itu amandemen UUD 1945 mempertegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (maachstaat).
“Peraturan internal kelembagaan ada Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Penerapan HAM, Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik,” terangnya.
Namun menurutnya, perangkat hukum itu tidak cukup mampu membatasi saluran kewenangan Polri. Sehingga diperlukan Reformasi Polri secara total.
“Perlu dibahas dan pertimbangkan Polri ditempatkan di bawah kementerian, atau misalnya kewenangan pembuatan SIM diserahkan kepada swasta,” katanya.
Taufan menyinggung Polisi yang masih dipengaruhi militer, bahwa kultur polisi lama yang represif, arogan, eksklusif, dan merasa paling benar tidak layak lagi untuk digunakan. Norma-norma demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, independen, dan transparan, harus menjadi pedoman kerja Polri sehari-harI.
Menurutnya citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukkan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat utama.
“Polisi lebih sibuk menunjukan citra bagi-bagi sembako, masker, mudik gratis, yang jelas-jelas itu bagian fungsi utama lembaga lain. Fungsi utama penegak hukum yang seharusnya ditonjolkan pun, hanya sekedar menunjukan statistik dan citra,” tutupnya.
Paparan kedua, Ishak Hariyanto menyampaikan bahwa Kepolisian menanamkan kekuasaan dalam setiap tubuh manusia, sehingga secara tak sadar membangun situasi kekuasaan.
“Kekuasaan ditubuh Kepolisian sudah tertanam dalam setiap tubuh kita, juga sebagai bagian mendisiplinkan tubuh, sehingga ini yang mempengaruhi cara pikir yang cenderung menggunakan kekerasan,” ungkapnya.
Untuk itu, menurutnya Reformasi Polri adalah merubah tubuh, mendisiplinkan tubuh kepolisian.
“Dari kekuasaan yang superior, harus ada Reformasi Polri melalui konsep cancel culture, yaitu semacama membatalkan kultur yang tertanam dalam tubuh Polisi,” tutupnya.
Akademisi penanggap, L.M. Nazar, mendorong pula upaya Reformasi Polri, mengingat berbagai masalah yang dipengaruhi oleh kekuasaan yang melampaui batas.
“Wacana Reformasi Polri, adalah hal yang biasa, karena kita terus melakukan Upaya reformasi birokrasi, gagasan ditempatkan di bawah kementerian sangatlah relevan,” tuturnya.
Agus, sebagai akademisi juga menyindir kerja Polisi lebih sesuai dengan kerja mesin daripada kerja manusia.
“Kerusakan kita cukup sempurna, dari berbagai sisi. Kalau polisi manusia tentu ada hati nuraninya yang bekerja, dan sulit juga kita mempercayai manusia, banyak tanggungan, sehingga memang cocok Polisi seperti mesin,” katanya.
Pada kesempatan itu, Aldera dan Kompak juga memberikan pandangan terkait dengan kasus yang mereka advokasi, melibatkan kekerasan yang dilakukan oleh Polisi, sehingga usaha Reformasi Polri harus terus dinyalakan dan menjadi agenda nasional.
Untuk mengawal isu itu, Taufan selaku Direktur LPW NTB, pada akhir acara menyatakan bahwa LPW NTB melalui PBH LPW NTB terus konsisten menyuarakan Reformasi Polri dan memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang menerima kekerasan dari aparat Kepolisian.
“Mari sama-sama kita gelorakan, sebagai bentuk cinta kita terhadap negara ini dan cinta terhadap Polri,” tutupnya.