Oleh: Enriansyah
Kulminasi aksi demonstrasi Mahasiswa tanggal 11 April 2022 adalah akumulasi keresahan kolektif publik atas berbagai problem kebijakan kekuasan. Problem yang paling krusial adalah kelangkaan minyak goreng, meningkatnya harga BBM, wacana penundaan pemilu dan amandemen konstitusi.
Sekelompok elit menunjukan kerja nyata dan aktor-aktor politik sibuk dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjang masa jabatan presiden. Publik yang dengan terang menolak penundaan pemilu dan amandemen konstitusi malah dijadikan kambing hitam oleh Jenderal Luhut B.P. dengan mengklaim bahwa ada big data pendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Akumulasi persoalan itu terjadi akibat absennya oposisi di parlemen. Parlemen bukan hanya gagal menangkap aspirasi publik, tetap bahkan enggan untuk menyuarakan aspirasi tersebut. Tugasnya sebagai wakil rakyat akhirnya terabaikan. Rakyat akhirnya menempuh jalannya sendiri untuk menyuarakan suaranya. Maka demonstrasi adalah luapan suara publik yang tak tersalurkan itu.
Hanya gerakan mahasiswa hari ini terlalu sporadis. Gerakan sosial atau kemanusiaan seperti tak punya arah dan agenda bersama, padahal ada banyak soal yang seharusnya menyatukan gerakan. Aksi-aksi itu adalah wujud koreksi atas penyalahgunaan wewenang oleh kekuasaan. Gerakan masyarakat sipil juga melemah karena ada tokoh-tokoh yang terkooptasi dalam pemerintahan.
Super Koalisi Jokowi berbahaya bagi demonstrasi
Maka gerakan mahasiswa kali ini harus menjadi momentum kembali bersatunya kekuatan masyarakat sipil. Tanpa agenda dan arah yang jelas, gerakan sosial atau kemanusiaan mahasiswa akan mudah digembosi oleh elit kekuasaan. Jika saluran pendapat ini kempis, maka Indonesia dengan mudah kembali terjerumus ke kubangan autokrasi. (Baca: TEMPO)
Gerakan perjuangan reformasi mahasiswa 1998 telah tercatat dalam sejarah, gerakan reformasi 1998 memuat pembuktian pada tulisan, buku dan novel. Gerakan itu tercatat dengan tinta emas peradaban, berkat keberhasilannya menumbangkan rezim otoriter.
Gerakan reformasi merupakan konsekuensi dari berbagai kebijakan kepemimpinan Soeharto, menduduki tahta jabatan presiden selama 32 tahun, utang luar negeri utang domestik dan melarang tidak adanya kegiatan-kegiatan mahasiswa, baik di luar kampus maupun dalam kampus. Lebih dari itu, Soeharto memberikan wewenang pada negara asing (Amerika) untuk mengelola kekayaan berlimpah mineral Indonesia kepada PT. Freeport.
Soeharto telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung rezim otoriter selama nyaris 40 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan perkapita, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok udang paling besar, serta memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.
Kesejahteraan Indonesia bergantung pada utang luar negeri dan utang domestik. Dengan cepat mahasiswa 98 mengakhiri kepemimpinan otoriter Soeharto. Tidak mengherankan transisi kekuasaan sistem otoriter Soeharto ke sistem demokratis Jokowi tidak jauh berbeda.
Dalam kepemimpinan Jokowi, ruang-ruang demonstrasi yang seharusnya kedap dari kepentingan dengan cepat diisi dan disusupi oleh elit-elit oligarki politik, yang membuat kebijakan semisalnya, perpanjang jabatan presiden.
Padahal jelas Undang-undang 1945 menggariskan masa jabatan presiden maksimal sebanyak dua periode. Sebagaimana digariskan pada ketentuan pasal 7, bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Tetapi hal demikian hanya utopia belaka, pemerintah Jokowi malah menyusut siasat kelam dan hendak melecehkan konstitusi yang merupakan kesepakatan bersama (kontrak sosial). Negara Indonesia dengan pemerintahannya yang terstruktur dan tersistematis semisalnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai memotong aspirasi rakyat, jelas rakyat Indonesia memiliki andil besar untuk kemajuan Negara Republik Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum dan negara Indonesia adalah negara hukum berdasar demokrasi. Hal demikian diatur dalam pasal 1 ayat 2 dan 3. Pasal 1 ayat 2 “menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UU 1945”, dan pasal 1 ayat 3 “menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum”.
Tidak hanya perpanjang jabatan presiden, isu-isu setelah Pertamax naik, Menteri ESDM mengisyaratkan harga pertalite juga ikut naik. Tidak hanya pertalite yang mengalami kenaikan harga, solar juga dirumorkan akan ikut naik. Hal itu dinilai sebagai langkah strategis pemerintah menghadapi dampak kenaikan harga minyak dunia.
Berdasarkan ketegangan analis, geopolitik global telah menyebabkan harga minyak mentah melambung tinggi. (Sumber: TEMPO) Pemerintah Indonesia di bawah kekuasaan Jokowi telah merusak nilai keutuhan demokrasi, dengan memeras masyarakat kecil.
Mulai dari Covid 19, Omicron, Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), kelangkaan minyak goreng, tingginya harga BBM dan wacana penundaan pemilu, perpanjang masa jabatan presiden. Kebijakan pemerintahan Jokowi dinilai juga merusak konstitusi atau UUD 1945, sebagai UU tertinggi yang wajib dipatuhi.
Kenyataannya, Indonesia jauh dari demokrasi substantif, demokrasi yang pada intinya memberikan kebebasan penuh dan menjamin kebutuhan masyarakat. Jokowi telah menampakan kepemimpinan autokratis, fasis dan cenderung absolut. Absoluditas itu nampak dari terkonsentrasinya kekuasaan dan ketiadaan oposan. Barangkali Jokowi menginginkan Indonesia kembali normal dari utang luar negeri dengan cara memeras rakyat kecil, dengan cara politik bisnis, menarik biaya vaksin, harga minyak goreng dan pajak masyarakat.
Jika dibiarkan, maka akan terjadi prahara besar yang menimpa Indonesia kedepannya, mahasiswa harus benar-benar intensif merespon kelancungan dan absurdnya kepemimpinan Jokowi, karena rakyat hanya mengharap kemajuan negara melalui penyejahteraan dan pemenuhan hak-hak rakyat sebagaimana pembukaan konstitusi.