27.5 C
Mataram
Monday, November 10, 2025
spot_img

Matinya Nalar Kritis dan Kooptasi Politik di Kampus

oleh: Adjie Shaofani Elsayyid


Di dalam sel penjaranya pada masa rezim Nazi, teolog Dietrich Bonhoeffer menyimpulkan bahwa musuh yang lebih berbahaya daripada kejahatan adalah kebodohan. Baginya, kebodohan bukanlah kurangnya kecerdasan, melainkan sebuah kondisi psikologis di mana seseorang, di bawah tekanan kekuasaan dan propaganda, menyerahkan kemandirian berpikirnya. Orang-orang ini tidak lagi mempertanyakan atau mencari kebenaran, melainkan hanya mengulangi slogan dan menemukan kenyamanan dalam pemikiran massa. Bonhoeffer berpendapat bahwa sementara kejahatan dapat dilawan secara langsung, kebodohan tidak bisa dilawan dengan kekuatan karena ia kebal terhadap argumen logis. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah melalui pencerahan dan pendidikan dari dalam.

Analisis Bonhoeffer ini sejalan dengan pengamatan Gustave Le Bon dalam karyanya “The Crowd”, yang menyatakan bahwa individu rasional dapat kehilangan akal dan kehendaknya saat melebur ke dalam massa. Le Bon menggambarkan massa sebagai entitas yang bergerak bukan karena nalar, melainkan oleh emosi kolektif yang mudah dimanipulasi oleh pemimpin yang menggunakan simbol sederhana dan menyajikan musuh bersama. Bonhoeffer menyaksikan teori ini menjadi kenyataan di Jerman, di mana kebodohan kolektif yang terorganisir—yang dirayakan sebagai patriotisme—memungkinkan terjadinya kejahatan paling mengerikan dalam sejarah manusia dengan membiarkan tirani berkuasa tanpa perlawanan kritis.

Jika Bonhoeffer memberikan diagnosis filosofis, maka Hannah Arendt, seorang filsuf Yahudi-Jerman, melalui pengamatannya pada persidangan Adolf Eichmann, memperkenalkan konsep “benality of evil”. Ia menemukan bahwa Eichmann, seorang arsitek utama Holocaust, bukanlah monster sadis, melainkan seorang birokrat yang normal dan efisien yang kejahatannya lahir dari kegagalan berpikir dan ketaatan buta pada perintah. Kejahatan terbesar, menurut Arendt, seringkali bukan dilakukan oleh fanatik, tetapi oleh orang-orang biasa yang berhenti merefleksikan konsekuensi moral dari tindakan mereka. Fenomena ini kemudian divalidasi oleh eksperimen kepatuhan Stanley Milgram, yang menunjukkan bagaimana orang biasa bersedia melakukan tindakan kejam di bawah instruksi figur otoritas, karena mereka telah melepaskan tanggung jawab moral pribadi mereka dan hanya menjadi roda penggerak dalam sebuah mesin.

Konsep ini melahirkan pemahaman tentang “Banalitas Proses”, di mana kejahatan modern seringkali tersembunyi di balik prosedur dan legalitas. Pelaku tidak merasa bersalah karena fokus mereka dialihkan dari dampak moral ke kepatuhan terhadap aturan. Contoh kontemporernya terlihat dalam politik kampus, di mana kecurangan pemilihan raya mahasiswa tidak lagi berbentuk kekerasan, melainkan manipulasi aturan administratif—seperti “cacat” dokumen atau menerobos jala aturan. Para pelaku mungkin tidak merasa melakukan kejahatan besar, karena mereka hanya “mengikuti prosedur” atau “mencari celah”. Dengan demikian, perusakan nilai-nilai seperti demokrasi menjadi sebuah tindakan administratif yang tampak normal, sebuah manifestasi modern dari banalitas kejahatan.
Sejarah Indonesia merekam dengan jelas bagaimana gerakan mahasiswa pernah menjadi kekuatan moral dan agen perubahan yang sentral, terutama pada momen-momen krusial seperti transisi kekuasaan tahun 1966 dan Reformasi 1998. Pada era tersebut, mahasiswa disegani sebagai penyambung lidah rakyat yang idealis dan berani. Namun, gerakan mahasiswa kontemporer cenderung terfragmentasi, tidak masif, dan kehilangan fokus. Akibatnya, kepercayaan publik terkikis, bahkan tidak jarang aksi mereka memicu antipati. Lebih mengkhawatirkan lagi, ada indikasi kuat bahwa nalar kritis mahasiswa telah “dijinakkan” oleh kekuasaan melalui berbagai manuver, seperti diplomasi elite yang secara efektif memecah belah dan meredam potensi perlawanan, meninggalkan panggung perjuangan dalam kesunyian.

Di tengah meredupnya gerakan kolektif yang berorientasi nasional, energi politik mahasiswa seolah tersedot ke dalam arena internal kampus yakni, pemilihan pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Alih-alih menjadi laboratorium demokrasi, kontestasi ini telah berubah menjadi medan pertempuran proksi bagi kepentingan eksternal, termasuk organisasi ekstra-kampus dan jejaring partai politik. Pertarungan tidak lagi berpusat pada adu gagasan, melainkan pada perebutan hegemoni antar-kelompok yang mencerminkan praktik politik luar yang paling pragmatis. Fenomena intervensi ini begitu nyata sehingga banyak lembaga mahasiswa harus membuat aturan defensif untuk menjaga netralitas kampus, yang justru menjadi bukti terkuat adanya ancaman tersebut.

Mekanisme pelanggengan kekuasaan di BEM seringkali mereplikasi pola “dinasti politik” yang terjadi di panggung nasional. Dominasi satu kelompok atau koalisi tertentu selama bertahun-tahun dimungkinkan melalui sistem patronase yang tertutup. Proses kaderisasi tidak lagi bertujuan mencari pemimpin terbaik berdasarkan kompetensi, melainkan untuk memastikan “putra mahkota” dari kelompok yang berkuasa dapat melanjutkan estafet kepemimpinan. Siklus regenerasi yang tidak sehat ini mengabaikan prinsip meritokrasi dan menciptakan jurang yang semakin lebar antara segelintir aktivis yang terlibat dalam pertarungan pragmatis dengan massa mahasiswa yang semakin apatis.

Pertanyaannya, mengapa posisi di BEM menjadi begitu penting untuk diperebutkan oleh kekuataneksternal? Jawabannya terletak pada sebuah mekanisme pragmatis yang dapat disebut “Jalur Pipa dari Kampus ke Kabinet” (Campus-to-Cabinet Pipeline). Posisi elite mahasiswa, terutama ketua BEM, terbukti menjadi batu loncatan efektif menuju karier politik nasional. Dengan demikian, intervensi eksternal dalam pemilu mahasiswa adalah sebuah investasi strategis untuk mengelola inkubator kader politik masa depan. Hubungan yang terbangun bersifat transaksional: dukungan politik dan logistik diberikan kepada kandidat dengan imbalan loyalitas dan akses ke jenjang karier pasca-kampus. Di balik retorika idealisme, yang terjadi adalah kalkulasi dingin untuk sebuah karier politik di masa depan.

Jika di satu sisi panggung politik kampus diisi oleh pertarungan elite yang pragmatis, di sisi lain, mayoritas mahasiswa justru memilih apatis, sebuah fenomena yang dapat dibedah melalui lensa filsafat eksistensial. Para pemikir seperti Kierkegaard dan Nietzsche berpendapat bahwa keengganan untuk terlibat adalah sebuah pilihan untuk lari dari tugas terberat seorang individu yakni berpikir mandiri dan menanggung beban kebebasan. Lebih mudah untuk melebur dalam “keramaian” atau menjadi bagian dari “kawanan,” mengikuti arus dominan demi rasa aman, daripada menghadapi kecemasan dan risiko yang datang dari sikap kritis. Dalam konteks kampus, rute aman “Kos-Kampus-Kantin” menjadi pilihan yang lebih rasional daripada mengambil risiko perjuangan yang hasilnya tidak pasti. Dengan demikian, apatisme bukanlah sekadar ketidakpedulian, melainkan sebuah pilihan eksistensial untuk menukar kebebasan berpikir dengan kenyamanan konformitas.

Jika filsafat eksistensialisme menjelaskan “mengapa” individu memilih untuk tidak berpikir, para pemikir kritis seperti Horkheimer dan Postman menjelaskan “bagaimana” masyarakat modern secara sistematis menciptakan kondisi untuk itu. Menurut mereka, bentuk kontrol paling efektif bukanlah penindasan, melainkan pengalihan perhatian melalui kenikmatan tanpa henti. “Industri Budaya”—mulai dari film hingga musik populer—berfungsi sebagai mesin yang membentuk masyarakat pasif dan tidak kritis. Neil Postman mempertajam argumen ini dengan menyatakan bahwa ancaman terbesar bagi kebebasan bukanlah dunia yang dikontrol oleh rasa sakit (Orwellian), melainkan oleh kenikmatan (Huxleyan). Media modern tidak melarang orang untuk berpikir kritis; ia hanya membuatnya terasa tidak relevan dan kalah menarik dibandingkan hiburan instan yang ditawarkan.

Kondisi ini mencapai puncaknya pada generasi mahasiswa saat ini, Generasi Z, yang merupakan digital natives. Meskipun mereka aktif menggunakan media sosial untuk mengakses informasi, di sinilah letak paradoksnya. Algoritma yang dirancang untuk memberikan kenyamanan justru menjebak mereka dalam echo chamber (ruang gema) dan filter bubble (gelembung filter). Mahasiswa secara tidak sadar hanya disuguhi konten yang mengonfirmasi keyakinan mereka, sementara pandangan yang berbeda disaring. Ini adalah bentuk baru dari keengganan berpikir, di mana nalar kritis berhenti berfungsi bukan karena paksaan, melainkan karena kenyamanan yang ditawarkan oleh algoritma. Pada akhirnya, berpikir kritis menjadi sebuah aktivitas yang tidak menguntungkan karena menuntut usaha untuk keluar dari gelembung kenyamanan digital tersebut.

Apatisme politik di kalangan mahasiswa bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil dari interaksi kompleks berbagai faktor: Pertama, faktor sistemik-politik yang berasal dari luar kampus. Citra politik di tingkat nasional yang secara umum dianggap kotor, penuh intrik, korupsi, dan hanya berorientasi pada kekuasaan telah menciptakan rasa muak dan sinisme. Mahasiswa melihat politik sebagai ajang pencitraan di mana politisi hanya datang saat butuh suara, lalu melupakan rakyat. Kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintah dan sistem politik secara keseluruhan membuat mereka merasa bahwa partisipasi politik adalah kegiatan yang sia-sia. Kedua, faktor institusional-kampus. Beban akademik yang semakin berat, tuntutan untuk cepat lulus, dan kurikulum yang seringkali tidak cukup mendorong kesadaran politik praktis menjadi penghalang utama. Selain itu, beberapa kampus menerapkan kebijakan yang represif terhadap aktivisme mahasiswa, di mana kritik terhadap kebijakan kampus bisa berujung pada intimidasi atau sanksi akademik. Lingkungan yang tidak kondusif ini mendorong mahasiswa untuk memilih “jalan aman” dengan fokus pada studi semata. Ketiga, faktor psiko-sosial dan pragmatis. Banyak mahasiswa merasa bahwa partisipasi mereka, baik dalam pemilu kampus maupun nasional, tidak akan membawa perubahan signifikan. Ada anggapan bahwa siapapun yang terpilih, hasilnya akan sama saja. Orientasi mereka pun menjadi lebih pragmatis dan individualistis, fokus pada pengembangan diri, karier, dan urusan pribadi. Mereka menganggap aktivitas lain seperti magang, kursus, atau kegiatan non-politik lebih memberikan manfaat nyata daripada terlibat dalam politik yang abstrak dan penuh konflik. Keempat, faktor teknologi dan informasi, sebagaimana telah dibahas, di mana ruang gema algoritmik di media sosial membatasi paparan terhadap perspektif yang beragam dan menghambat pengembangan nalar kritis.

Setelah mendiagnosis penyakit kebodohan yang terus menjangkiti—baik dalam wujud kooptasi pragmatis oleh elite maupun apatisme massa—sejarah pemikiran menawarkan antitesisnya melalui filsuf Immanuel Kant. Dalam esainya, “What Is Enlightenment?”, Kant mendefinisikan pencerahan sebagai keluarnya manusia dari “ketidakdewasaan yang ia ciptakan sendiri.” Ketidakdewasaan ini bukanlah kurangnya kecerdasan, melainkan kurangnya keberanian untuk menggunakan akal tanpa bimbingan orang lain. Seruan Kant yang menjadi semboyan Abad Pencerahan, Sapere Aude! atau “Beranilah berpikir sendiri!”, menjadi obat penawar paling fundamental bagi kondisi ini. Panggilan ini menantang mahasiswa untuk berhenti menyerahkan otonomi berpikirnya pada otoritas eksternal, baik itu senior organisasi, instruksi partai, maupun kenyamanan arus mayoritas.

Lebih dari sekadar ajakan intelektual, Sapere Aude! adalah sebuah imperatif moral. Kant menegaskan bahwa suatu tindakan hanya memiliki nilai moral sejati jika lahir dari kehendak yang otonom—sebuah pilihan bebas yang didasari pemahaman—bukan dari kepatuhan buta terhadap perintah eksternal. Seseorang yang bertindak hanya karena diperintah atau mengikuti tradisi tidak dapat dikatakan bermoral sejati. Moralitas hanya ada ketika seseorang memilih melakukan yang benar karena ia, melalui nalarnya sendiri, memahami bahwa hal itu benar. Ini adalah tantangan langsung bagi setiap individu di kampus untuk berhenti menjadi sekadar “roda dalam mesin” atau bagian dari “kawanan domba” yang hanya mengikuti.

Dengan demikian, perlawanan pertama dan paling radikal terhadap sistem yang mematikan nalar bukanlah aksi kolektif di jalanan, melainkan sebuah tindakan personal yang sunyi. Perlawanan itu dimulai dari keberanian untuk berhenti sejenak, menyendiri dari keramaian, dan mengajukan pertanyaan fundamental pada diri sendiri: “Apakah yang saya lakukan dan yakini ini benar? Apakah ini sesuai dengan nurani saya?” Langkah introspektif inilah yang menjadi kunci untuk membongkar penjara intelektual yang dibangun atas dasar kemalasan dan ketakutan, serta merupakan langkah pertama untuk menjadi subjek moral yang dewasa dan bertanggung jawab.

Pada akhirnya, kita kembali pada nubuat Bonhoeffer. Bahaya terbesar yang mengintai demokrasi, baik di dalam maupun di luar gerbang kampus, bukanlah para tiran yang berteriak lantang, melainkan kesunyian massa yang memilih untuk tidak berpikir. Pertanyaan yang harus diajukan setiap mahasiswa kepada dirinya sendiri bukanlah lagi “apakah kita bebas untuk berpikir?” karena secara formal, kebebasan itu ada. Pertanyaan yang sesungguhnya, yang akan menentukan masa depan demokrasi kita, adalah: “Apakah kita masih peduli untuk berpikir?”

Karena hanya dengan kepedulian itulah, nalar kritis dapat dihidupkan kembali. Hanya dengan nalar kritis itulah, kebodohan banal dapat dilawan. Dan hanya dengan melawan kebodohan banal itulah, kita bisa berharap untuk tidak terus-menerus mengulangi sejarah, memastikan bahwa menara gading tidak menjadi pabrik penghasil birokrat-birokrat patuh seperti Eichmann, melainkan menjadi benteng terakhir bagi akal sehat dan kemanusiaan. Sapere Aude. Beranilah.

Media
Mediahttps://mediaunram.com
MEDIA merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Universitas Mataram yang bergerak di bidang jurnalistik dan penalaran.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles