Oleh : Abdul Fattah, Peneliti Metajuridika
Daripada turut terbenam dalam perdebatan tentang pemilihan umum dengan sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka, perhatian publik seharusnya diarahkan pada perdebatan tentang hal-hal yang lebih prinsipil.
Independensi penyelenggara.
Yang jauh lebih penting dari proporsional tertutup atau terbuka adalah independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara. Prosesi demokrasi yang seharusnya dijaga, terindikasi curang bahkan sedari prosesi awal.
Beberapa partai politik yang seharusnya tidak memenuhi persyaratan diloloskan secara paksa oleh KPU. Intimidasi oleh Komisioner KPU RI terhadap komisioner KPU Daerah benar-benar mencederai nilai demokrasi.
Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara dan Partai Garuda yang semula tak lolos verifikasi malah diloloskan oleh KPU. Langkah itu dimaksudkan untuk memecah suara sejumlah partai yang dianggap pecahan dari partai-partai tersebut.
Teranyar, Hadar Nafis Gumay, mantan komisioner KPU, mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menyerahkan sejumlah bukti kecurangan KPU dalam verifikasi faktual partai politik kepada Komisi II DPR. Sejumlah bukti mengungkap keterlibatan istana. Bila laporan itu benar, maka ini benar-benar gawat.
Bagaimana mungkin prosesi pemilu demokratis dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bila pelaksanaannya saja curang dan tidak adil. Pelolosan dan penjegalan sejumlah partai menguak bahwa penyelenggara disusupi kepentingan politis dan ekonomis.
Perdebatan tentang sistem pemilihan mana yang lebih baik tidak lebih dari suara sumbang. Demikian pula dengan argumentasi yang didengungkan, cuma alibi, kedok yang menutupi keruhnya pemilu.
Sistem Partai Politik
Hal yang kerap diabaikan adalah aturan main pemilu. Pada 2020 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa Partai Politik yang telah lolos verifikasi dan menembus ambang batas pada pemilu 2019 hanya perlu melakukan pemeriksaan administratif tanpa perlu verifikasi faktual pada pemilu berikutnya.
Di lain pihak, partai yang tak lulus harus mengulang semua tahap verifikasi baik faktual maupun administratif. Perbedaan prosedur ini jelas merupakan tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan prinsip perlakuan yang setara.
Praktik politik kontemporer menyingkap juga raibnya identitas dan ideologi partai politik. Padahal partai politik adalah salah satu pilar penting demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, pluralitas tata nilai adalah realitas tak terelakan. Partai politik seharusnya hadir untuk mewadahi penyaluran aspirasi rakyat berdasarkan ideologi dan platform yang dipilih.
Alih-alih mempraktikan politik berbasis ideologi, partai politik di Indonesia cenderung cair dan tanpa ideologi. Ideologi dan identitas paling-paling dijadikan sebagai kemasan untuk mendulang suara, sementara isi partai cenderung sama saja.
Dalam penyusunan kabinet misalnya, asas profesionalisme dan meritokrasi diabaikan, yang paling determinan dalam penentuan kabinet adalah politik transaksional. Hampir tak ada partai politik yang memilih beroposisi karena tergiur pada jabatan yang diobral untuk partai-partai koalisi.
Partai Politik Deliberatif
Bagaimanapun, identitas dan ideologi partai politik penting demi mewadahi dan menjadi kanal bagi pluralitas masyarakat dan tata nilai yang dianut.
Opini masyarakat tentang – apa yang dikonsepsikan oleh John Rawls sebagai – “the goods” (yang baik) seharusnya diteruskan oleh partai politik dalam ruang publik. Tugas partai politik adalah memastikan ruang publik diisi dengan diskursus yang memperjuangkan kepentingan kelompok masyarakat yang diwakili. Partai politik di Indonesia harusnya beranjak dari perjuangan semata demi kepentingan politis dan ekonomis menuju kepentingan-kepentingan etis.
Praktik legislasi belakangan betul-betul menguak tersumbatnya opini publik, diskursus deliberatif dan praktik perjuangan demi kepentingan etis. Undang-undang yang ditelurkan menyiratkan bahwa parlemen dikendalikan oleh transaksi politis dan kepentingan ekonomis elit.
Tanpa modal identitas dan ideologi, praktik partai politik hanya akan berkutat pada persoalan “untung rugi”. Pada titik ini, kita menemukan relevansi thesis demokrasi deliberatif yang ditawarkan J. Habbermas. Partai politik seharusnya mempraktekkan politik deliberatif. Untuk mewujudkan itu, tentu tidak mudah.
Butuh perubahan fundamental, kader-kader yang diorbitkan parpol, haruslah yang paling bernas, memiliki kemampuan argumentasi rasional. Selain itu, nurani yang memihak konstituen, alih-alih sponsor atau pemodal. Sebab tanpa nurani, maka argumentasi hanya akan digunakan untuk memuluskan kepentingan lancung. Identitas dan ideologi partai harus diperjelas, demikian pula dengan nilai yang diperjuangkan.
Mataram, 22 Januari.