“Bahwa kemerdekaan tak lain tak bukan ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Bahwa diseberang jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.”
-Bung Karno, Didalam Pidato 1 Juni dihadapan BPUPKI.
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dicapai melalui jalan panjang perjuangan. Jalannya adalah berabad-abad penjajahan, penindasan kemanusiaan, pemadaman pikiran, pembantaian kehidupan, pengerukan kekayaan, serta perbudakan. Jalan itu ditempuh dengan pena yang mengurai luka bangsa, dengan darah yang tertumpah dari geriliya, dengan nyawa yang diregang kolonialisme Belanda, dan keterpaksaan romusha, bahkan dengan “bantuan” penjajah (jepang). Jalan panjang dengan cobaan seberat langit dan bumi itu berhasil membawa bangsa kita mencapai titik kulminasinya pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Cobaan dan penindasan itulah yang menyulut nalar restoratif kemerdekaan, nalar restoratif itu termanifestasikan secara konseptual dan tekstual didalam konstitusi dan UUD 1945. Setelah genap 75 tahun Indonesia merdeka, nalar restoratif itu belum mampu ditransformasikan menjadi kenyataan, bahkan apabila berkaca pada kondisi objektif kenegaraan sekarang, indikator ketercapaiannya sama sekali nihil. Meminjam ungkapan Prof. A. Syafii Maarif “Seandainya di dalam Al-Quran ada perintah pesimis, sayalah orang pertama yang akan melakukannya… Saya melihat betapa luluh lantahnya bangsa ini” (2019:5).
Memoar catatan kelam negara.
“Sejarah tidak selalu menulis pemenang, sejarah yang baik adalah yang menulis kecurangan. Sejarah yang baik bukan menghafal nama-nama pahlawan, tapi menghafal nama-nama penghianat”
-Rocky Gerung.
Periodisasi awal kemerdekaan. Negara Indonesia yang baru terbentuk dihantam dengan persoalan yang begitu kompleks. Upaya Belanda dan sekutunya untuk kembali menjajah melalui agresi militer masif dan destruktif. Surabaya berubah jadi medan laga (1945), Bandung berkobar menjad lautan api (1946), Jogja yang dikuasai melalui Agresi (1948). Belum lagi berbagai pemberontakan didalam negeri, mulai dari PKI Madiun (1948), Permesta di Indonesia Timur (1957), PRRI yang tersulut di Indonesia Barat (1958), DI/TII yang menyebar dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, sampai dengan Kalimantan (1949-1962), RMS di Maluku (1950) dan G30S/GESTOK PKI Jakarta (1965).
Di ranah politik, terjadi instabilitas akut. Upaya Demokratisasi yang terdorong nalar restoratif dijewantahkan Muhammad Hatta dalam maklumat X, yang pada pokoknya mendorong pembentukan Parpol (Partai Politik). Alhasil, 40 Parpol terbentuk. Namun, bukannya menyuburkan sistem Demokrasi, oleh Sukarno, banyaknya parpol dinilai memperunyam masalah, hal ini terbukti dengan kabinet-kabinet yang tidak pernah bertahan lebih dari 2 tahun, oleh sebab rombak sana-sini. Sistem Demokrasi Parlementer dinilai Sukarno gagal mendorong Indonesia menuju tujuan revolusi. Di tengah gejolak pemberontakan dan instabilitas politik, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959. Ini yang menjadi embrio lahirnya Demokrasi Terpimpin yang sebenarnya bukan demokrasi itu, bahkan cenderung berwajah Otoriter. Melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup.
Meski sebelumnya mempercayakan kekuasaan ditangan tokoh-tokoh lainnya, seusai dekrit 5 Juli 1959, Soekarno perlahan melumat ruang kebebasan berpendapat, apalagi terhadap kritik yang diarahkan kepadanya. Dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, ia juga menyampaikan pengerangkengannya terhadap pers. Tokoh-tokoh besar seperti Sjahrir, Hamka dan Natsir harus mendekam dalam penjara dengan dalih Kontra Revolusi. Pasca G30S PKI, krisis terjadi hampir di semua sektor, utamanya ekonomi, inflasi teramat tinggi hingga mencapai 635%, Investasi merosot tajam dan laju PBD (Produk Domestik Bruto) teramat rendah (Bank Indonesia: History of Monetary Period 1959-1966). Kekuasaan Sukarno dilucuti sedikit demi sedikit, pidato pembelaan dirinya (Nawaksara) ditolak MPRS, puncaknya, posisi presiden diambil alih Soeharto melalui Supersemar, dan justifikasi MPRS. Atas kehendak Soeharto, Soekarno harus menjalani sisa hidupnya sebagai tahanan rumah di Wisma Yasoo, dengan pengekangan ketat dan tanpa pengobatan yang layak.
Periodisasi Orde Baru. Melalui Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968 episode kekuasaan Orde Baru dimulai. Episode panjang Orde Baru dimulai dengan salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam sepanjang sejarah bangsa, bahkan dunia, yakni penumpasan PKI dan yang diduga simpatisannya. Memberontak memang salah, namun membunuh manusia tanpa proses pengadilan, tidak dapat ditemukan dalih pembenarannya. Pramodya Ananta Toer dalam salah satu wawancara membeberkan tiga versi korban jiwa penumpasan PKI, menurut pers Barat, sekitar 500 ribu sampai sejuta orang dibunuh, menurut Jendral Sudomo setidaknya dua juta orang terbunuh, menurut Jendral Sarwo Edi selaku komandan eksekutor, tiga juta orang terbunuh dan hal ini diungkap dengan bangga oleh sang Jendral. Belum lagi mereka yang harus hidup dalam sunyi sebagai tahanan politik.
Berbeda dengan Soekarno yang mengutuki Amerika – Inggris (Bank Dunia & IMF) dengan “Go to hell with your aid.” Soeharto justru me-redesain ekonomi sekehendak Amerika, guna mempermudah Barat (kapitalis/neokolonialisme) menguasai sumber daya mineral, pasar dan buruh murah Indonesia. Presiden Amerika Nixon menyebutnya sebagai “Upeti terbesar dari Asia” (John Pilger).
Kepatuhan Soeharto pada Barat adalah bukti keterlibatan Barat dalam pelengseran Soekarno juga penumpasan PKI, mengingat waktu itu Soekarno ‘mesra’ dengan blok timur dan sangat anti dengan Neo Kolonialisme Barat. “Aku benci imperialisme, aku jijik (terhadap) kolonialisme” kutuknya atas intervensi Amerika di Indonesia dihadapan PBB (1960). Kebijakan Soekarno dalam menasionalisasi perusahaan asing, pembatalan sepihak kesepakatan KMB melalui UU 13/1956, keluar dari PBB dan menghimpun kekuatan dunia baru melalui NEFOS (New Emergencing Forces), membuat kolonialis menyusun siasat kelam. Siasat Amerika dengan Angkatan Darat.
Miftakhuddin dalam bukunya “Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni” (2019:121) menguak bukti keterlibatan Amerika dalam pelengseran Soekarno. “Mengutip De Vries (2011), Maxwell (Peneliti Oxford University) dalam risetnya tahun 1965, menemukan surat bertanggal Desember 1964 yang menyatakan Indonesia siap jatuh ke pangkuan Barat melalui kudeta (rekayasa) Komunis dan menjadikan Soekarno sebagai tahanan. De Vries juga bersandar pada buku Legacy of Ashes: The History of The CIA karya Weiner, yang menjelaskan bagaimana (proses) berjalannya rencana itu… Soeharto mengatur penculikan Jendral sekaligus pembantaian simpatisan PKI sesuai daftar nama yang disediakan CIA”. John Pilger, kritikus neokolonialis mengungkap hal yang persis sama dalam dokumenternya, The New Rulers of The World (2001). Sebagai mahar atas tahta kekuasaan, diadakan konferensi di Swiss yang di sponsori oleh Time Line Corporation. Agenda utamanya adalah pencantutan ekonomi Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh para pebisnis besar dan terkuat dunia, salah satunya David Rockefeller dari keluarga Rockefeller itu. Berbagai korporasi raksasa asing semisal General Motors, American Express dll juga tidak mau ketinggalan kesempatan menjamah “perawan” yang oleh Soekarno tidak dibiarkan disentuh kapitalis. Kapitalis Global menentukan sendiri prasyarat dan ketentuan investasi serta infrastruktur hukum yang mereka perlukan. Kapitalis Global itu menjamah sang “perawan” sekehendak nafsu mereka, dari mulai tubuhnya, hingga hati dan pikirannya.
Hasil konferensi tersebut diterjemahkan Suharto dalam UU 1/1967 tentang PMA (Penanaman Modal Asing), Freeport menjadi perusaahan asing pertama di Indonesia. Kontrak Karya bahkan diambil sebelum Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia, sebab Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) baru dilakukan 1969, itupun dilakukan dibawah songsongan senjata tentara. Penandatanganannya dilakukan oleh Suharto yang saat itu belum diangkat menjadi presiden. Keabsahannya tidak disoal PBB, sebab menyangkut kepentingan mereka.
Jeffrey Winters dari Southwestern University bahkan berujar “saya belum pernah mendengar situasi semacam ini di negara manapun sebelumnya, dimana kapitalis global bertemu dengan sebuah negara dan menentukan prasyaratnya untuk masuk kenegara itu.” Betapa kita beranjak dari memimpin dunia ke tiga dan aktif dalam forum-forum dunia, menjadi terperosok jatuh tanpa sedikitpun kedaulatan dan nilai jual.
Seri panjang Orde Baru diproduseri oleh Neokolonialis Global, disutradarai oleh “Mafia Barkeley” yang merupakan sekelompok ekonom penanggung jawab ekonomi dan keuangan Indonesia pada masa awal pemerintahan Soeharto. David Ransom, aktivis kiri Amerika, menyematkan gelar mafia sebab mereka menjembatani kepentingan CIA (Central Intellegence Agency) Amerika untuk menjadikan Indonesia sebagai negara boneka. Lebih jauh, Ransom turut menguak keterlibatan Amerika dalam penggulingan Sukarno, pemberangusan pengaruh PKI dan paham kiri di Bumi Pertiwi, pendudukan Soeharto sebagai presiden oleh CIA demi menjalankan kegiatan ekonomi dan politik yang berorientasi pada Barat (1970:27-28, 40-49). Mafia Barkeley adalah lulusan University of California at Barkeley, Amerika. Nama-nama besar seperti Widjodjo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, J.B. Soemarlin sampai Dorodjantun Koentjoro-jakti adalah bagian dari Mafia Barkeley.
Dengan kekuatan militer yang terstruktur, sistematis dan masif, Soeharto bertranformasi jadi diktator otoriter. Selama 32 tahun kepemimpinannya, kasus pelanggaran HAM melimpah, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis berbagai kasus pelanggaran HAM era Soeharto, di antaranya Kasus Tanjung Priok (1984), Daerah Operasi Militer di Aceh (1989-1998), Penembakan Misterius (1981-1984), kasus Talangsari Lampung (1989), pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pemberedelan media cetak (1994), penyerangan kantor DPP PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1998), Tragedi Trisakti (1998), kerusuhan Mei ’98 (1998), Kasus Timika (1998), operasi militer di Papua (1969-1998), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1996), kasus pembantaian padepokan Haur Koneng Majalengka (1993).
Sebagaimana adagium klasik “Kekuasaan absolut, korup secara absolut.” Majalah dunia Forbes bahkan menempatkan Soeharto di puncak pemimpin paling korup sepanjang masa, dengan estimasi korupsi antara US$ 15-35 miliar, sebagai perbandingan, Presiden Filipina, Ferdinand Marcos “hanya” menggelapkan US$ 5-10 miliar. Jumlah fantastis tersebut terakumulasi selama 32 tahun masa kepemimpinannya. Berbagai yayasan dan perusahaan milik klan cendana tambun oleh dana aliran pemerintah dan pengusaha. Selain korupsi, rezim orba juga digerogoti oleh kolusi dan nepotisme.
Bagai kotak “pandora”, setelah semua musibah dan bencana, yang tersisa adalah asa. Asa itu hadir bersama dengan terpaan krisis ekonomi, ekonomi bentukan Mafia Barkeley menjadi bom waktu, yang meledak bersama kesengsaraan rakyat. Mahasiswa menuntun segenap golongan rakyat menuju asa itu. Menghimpun kekuatan pikiran, memobilisasi kesadaran massa, mengikhlaskan tubuhnya teraniaya pada dialektika jalan raya, bahkan meregang nyawa dihadapan songsongan senjata penguasa, sampai menjadi misteri abadi. Semua dedikasi mahasiswa itu berbuah baik, Soeharto dilengserkan, 21 Mei 1998 menjadi tonggak era baru reformasi.