Praya, MEDIAUnram.com – Beberapa kompleks pemakaman kuno di Desa Peresak, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah (Loteng) telah lama ditemukan. Sayangnya mayoritas warga sekitar tidak mengetahui sejarah tentang makam kuno tersebut. Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Mataram (Unram) Desa Peresak 2021 berinisiatif menggali informasi tentang sejarah makam kuno tersebut agar mendapat perhatian beberapa lembaga yang akan meneruskan.
“Kami menggali sejarahnya supaya masyarakat Desa Peresak dapat mengetahui tentang sejarah makam kuno ini. Kemudian, ini sebagai langkah awal untuk memperkenalkannya ke masyarakat luas dengan harapan mendapat perhatian dari pemerintah atau lembaga terkait agar meneliti lebih dalam dan menjadikan makam ini sebagai tempat wisata,” terang Imam Jayadi ketua kelompok KKN, pada hari Minggu (18/7).
Setiap tahun makam kuno tersebut dikunjungi oleh keluarga-keluarga untuk berziarah. Kurangnya kemampuan untuk membuka sejarah lebih jauh, pemerintah desa belum memanfaatkan makam kuno ini sebagai destinasi wisata. Selain itu, di samping kompleks pemakaman kuno dimanfaatkan sebagai pemakaman umum sebab adanya lahan kosong yang luas.
“Setiap tahun selalu ada keluarga yang tetap mengunjungi makam tersebut, biasanya pada idul fitri atau hari besar islam. Makam itu sampai dengan saat ini hanya dimanfaatkan sebagai pemakaman umum, karena makam itu sangat luas. Karena kemampuan kami yang masih kurang untuk membuka sejarahnya, kami akan berusaha lebih membukanya lagi,” jelas Sahirudin kepala Desa Peresak pada Senin (19/7).
Warga Peresak biasa menyebut makam itu dengan nama makam kuno dan beberapa warga menyebutnya dengan nama Makam Batukliang. Namun, lain halnya bagi keturunan keluarga Menak (bangsawan) pada masa kejayaan Batukliang. Minggu (4/7) lalu, mahasiswa KKN Unram menemui sejarawan Batukliang, Lalu Sendra. Dia menjelaskan nama makam tersebut adalah makam Montong Batu.
“Para keluarga biasa menyebut kompleks makam itu dengan makam Montong Batu. Karena orang Sasak itu sederhana, ada batu montong (batu bergunduk/menumpuk, red) maka disebut Montong Batu,” jelas pria yang biasa disapa Miq En itu, saat ditemui di kediamannya, Desa Mantang.
Miq En menganggap makam tersebut merupakan makam keluarga yang memerintah Batukliang pada masanya. “Kalau skema besarnya, ini merupakan makam keluarga. Karena saya beranalogi, makam Selaparang juga makam keluarga dong, makam Slewe kerajaan Pejanggik juga makam keluarga,” ucap Miq En.
Nampaknya, pemakaman kuno ini sudah ada sebelum abad ke-19 Masehi, sebelum terjadinya Perang Praya I. Karena pemakaman ini merupakan kompleks pemakaman keluarga dan yang dimakamkan di sana merupakan keluarga-keluarga menak dan juga rakyat Batukliang.
Dilansir dari Babad atau kitab mengenai sejarah Sasak yang dipegang Lalu Sendra, pemimpin terakhir Batukliang yang disebutkan adalah Raden Sumintang. Raden Sumintang wafat karena mengorbankan diri demi warganya dan dimakamkan di pemakaman Montong Batu. Setelah dibunuh, tidak disebutkan siapa pemimpin Batukliang. “Hal itu terjadi karena kekacauan politik perebutan kekuasaan,” jelas Miq En.
Sepeninggal Raden Sumintang, diketahui pemimpin setelah eranya ialah Jro Miarge, Jro Sriaji, Ilang Cakre, dan lain-lain yang melakukan perlawanan dan dimakamkan di Makam Montong Batu. Sampai pada era Mamiq Ginawang salah satu pemimpin Congah Praya (Perang Praya, red) sebagian besar keluarga berpindah ke Mantang.
Keluarga berpindah diperkirakan karena keadaan saat itu membuat masyarakat tertekan dalam kondisi politik yang krisis dan mencari lokasi strategis untuk mempermudah koordinasi sesama saudara Sasak dan mempermudah perlawanan. “Karena perpindahan ini, Batukliang kini menjadi Desa Peresak yang berarti desa yang ditinggalkan,” ungkap sejarawan Batukliang.
Berdasarkan buku “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat” yang diterbitkan pada tahun 1978 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Batukliang merupakan salah satu desa otonom hasil dari digrogotinya daerah kekuasaan Banjar Getas pada abad ke-19 M. Terbentuknya desa-desa otonom ini adalah salah satu penyebab dari runtuhnya kekuasaan Praya yang merupakan keinginan dari Mataram untuk menguasai seluruh Lombok dengan melakukan politik adu domba.
Mataram menghasut Kopang dan Batukliang sehingga terjadi persengketaan batas wilayah dengan Praya. Ketika Praya menyerang Kopang dan Batukliang, kedua desa ini mendapat bantuan dari Mataram beserta sekutunya, yaitu Jonggat, Suradadi, Penujak, Puyung, Rarang dan Sakra sehingga wilayah Praya terkepung. Perang terjadi selama hampir satu setengah tahun sehingga Praya kelaparan dan beberapa orang yang ingin keluar Praya untuk mencari makanan terbunuh oleh musuh. Akhirnya Praya kalah dan sejak saat itu Praya langsung di bawah kekuasaan Mataram.
Kekalahan Praya justru menambah martabat Kopang dan Batukliang, hal ini membuat Mataram tidak senang karena cita-cita Mataram untuk menguasai seluruh Lombok. Politik pecah-belah terus dijalankan dan satu persatu sekutunya dihancurkan. Hal ini menggelisahkan pimpinan Sasak namun tidak dapat bersatu karena politik Mataram.
Hingga Batukliang akan dihancurkan, Raden Sumintang sebagai pemimpin pada masa itu dilarang untuk memenuhi surat panggilan raja Mataram. Setelah tiga kali surat diterima namun tidak dihiraukan, Mataram mengirim pasukan untuk menjemput Raden Sumintang hidup atau mati.
Khawatir Batukliang akan senasib dengan Praya, Raden Sumintang menyerahkan diri di Aikgering kepada pasukan yang akan menawannya. Di sanalah Raden Sumintang dibunuh, kemudian dimakamkan di Batukliang, sekarang bernama Desa Peresak Batukliang. Makam tersebut dinamakan Makam Montong Batu yang kini berada di wilayah administrasi Desa Peresak, Kecamatan Batukliang, Loteng tepatnya di antara Dusun Penyengak dan Dusun Bujak Daye. (*roy)