Oleh: Algifari (Mahasiswa Fakultas Hukum Unram)
Negeri Indonesia seperti epos dengan berbagai absurditas dan keanehan, sebuah negeri kayangan dengan limpahan kekayaan, berisi pemandangan indah sekaligus kejamnya lumatan kenyataan. Sementara negara-negara lainnya yang lebih mudah dari Indonesia telah menjadi negara kaya, Indonesia justru masih tertinggal menjadi negara berkembang. Indeks sumber daya manusia dan demokrasi pun mengkhawatirkan. Ketika rakyat melakukan kritikan, pemerintah membunuh karakter rakyat dengan berbagai tuduhan dikotomis. Oposan dihabisi perlahan-lahan dan penjilatan perawatan dirawat seperti benda yang akan menggonggongi pengganggu tuannya.
Saat bhinneka tunggal Ika dijadikan sebagai dalih persatuan bagi kekuasaan, dilain sisi kekuasan membiarkan rakyat terbelah. kini bhinneka tunggal Ika menjadi bhinneka tinggal duka. Pancasila pun menjadi Panca Luka. Bagaimana, bila menilik realitas yang terjadi hari ini, pengekangan dan pemberitahuan yang melanda negeri ini terus berlanjut. Hari demi hari, tahun demi tahun, pembodohan, pembiaraan, kemisikinan terus dilakukan oleh kekuasaan. Bila meminjam ungkapan Ahmad Syafii Ma’aruf “Bila ada perintah untuk pesimis dalam Al-Quran, maka saya adalah orang yang pertama melakukannya. Saya pesimis melihat luluh lantahnya kondisi bangsa ini.”
Pancasila yang katanya menjadi pedoman bagi (NKRI) kini telah dikhianati. Muatan sila-sila dengan tegas mengatakan, yakni sila kedua dan kelima bahwa keadilan itu harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun yang terjadi hari ini, isi Pancasila tersebut hanya menjadi keadilan bagi kelompok kekuasaan dan kaum oligarki. Jeffrey A. Winters menyingkap kondisi oligarki Indonesia yang meskipun merupakan negara muslim terbesar di dunia, oligark yang menguasai modal malah orang keturunan Cina dan beragama Kristen.
UUD 1945 yang menjadi hukum tertinggi pun dikangkangi, rezim hari ini semakin lancung, main serong dan bahkan dalam makna tertentu despotik. Rezilm menunjukan sikap haus, rakus dan tamak melalui wacana melanggengkan kekuasaan dengan dalil pembangunan. Amanat konstitusi dilacuri. Pembatasan kekuasaan dan sirkulasi pergantian kekuasaan yang merupakan esensi demokrasi, hendak diludahi dengan BigData sebagai alibi.
Persoalan meningkatnya penduduk, mulai dari kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga BBM, pemindahan Ibukota Negara (IKN) yang digadang-gadang sebagai wujud akselerasi pembangunan. Dan tidak henti-hentinya dari masalah itu kini kekuasaan ingin membentuk kerangka kekuasaan, mirisnya rezim era ini telah reformasi dengan adanya isu 3 periode, kekuasaan ingin menunda pemilu dengan alasan faktor ekonomi yang tidak mendukung pemilu pada 2024 mendatang akibat Covid-19.
Jikalau kita kaitkan dengan rumusan pembangunan IKN yang membutuhkan anggaran yang begitu besar, lantas rasionalkah alasan akibat faktor ekonomi tersebut? Atau mungkin ini merupakan langkah melanggengkan kekuasaan?
Alih-alih diwujudkan dalam kenyataan, sebagai wacana saja, perpanjangan masa jabatan presiden telah menghianati amanat reformasi. Peradaban yang susah payah dibangun dengan keringat darah yang keluar bercucuran, seolah tak ingin diabaikan. Dua periode lebih dari cukup untuk mengungkap praktik manusia dan perampasan hak asasi manusia (HAM) yang kerap dilakukan kekuasaan. Padahal, Lord Acton telah jauh-jauh hari mempostulatkan sebagai dasar kekuasaan, “Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan mutlak, korupsi mutlak”. Tidak perlu penjelasan apapun untuk membuktikan ekspresi itu, cukup menyaksikan sejarah sendiri, bahwa kekuasaan berkuasa, dan kekuasaan di rezim yang lalu, korup secara absolut.
Ironisnya, negara yang mengambil wujud hukum, dimana hukum tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan apapun, kini malah membalikkan arah menjadi instrumen untuk menindas. Pada akhirnya, keadilan menjadi tersumbat dan menjadi selera kuasa politik dan kuasa ekonomi sebagai perilaku yang dipertukarkan dengan kepentingan segelintir golongan (oligarki).
Mahasiswa yang melakukan demonstrasi demi kebenaran dan kepentingan umum, malah mendapatk perlakuan tidak manusiawi dari aparat penegak hukum. Bahkan sampai ada yang mengalami luka berat dan meninggal akibat perlakuan represif tersebut.
Kepolisian diamanatkan memberi perlindungan terhadap rakyat, karena kepolisian merupakan hukum yang hidup. Undang-undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dengan jelas memuat tugas kepolisia, yakni dalam Pasal 13, memelihara keamanan dan nomor masyarakat, perlindungan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat. Namun hari ini kepolisian telah melenceng begitu jauh dari tindakan sebagai aparat penegak hukum.
Muhammad Hatta mengungkapkan bahwa kita telah merdeka, namum kita belum sepenuhnya merasakan manisnya sesungguhnya yang sesungguhnya. Namun pemegang kekuasaan masih didominasi oleh oligarki dan kapitalis. Inilah yang menyebabkan Indonesia terbengkalainya, sebab Indonesia terus terbelenggu di bawah kendali neo-kolonial dan neo-imperialisme. Dalam demokrasi, kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Keputusan tertinggi harus ada ditangan rakyat.
Senja Kala Merdeka
Alih-alih mewujud dalam kenyataan, kemerdekaan justru semakin menjauh menuju ufuk, seperti senja indah yang tenggelam dan mengantar pada malam yang kelam. Kemerdekaan yang didambakan oleh para fouding fathers berwindu-windu lalu telah ditenggelamkan oleh praktik bernegara rezim kekuasaaan. Tujuan dan filosofis hanya jadi semacam pajangan dalam teks konstitusi, tanpa secuilpun upaya untuk diwujudkan dalam kenyataan yang mulia. ratusan tahun bangsa ini dijajah dan dirampok, sumber daya alam kita dikerok, sumber daya manusia dihabisi. Bahkan, intelektual pribumi dibabat dan dipenjarakan oleh kolonial.
Semangat para tokoh agama, tokoh bangsa, hingga tokoh pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dan pergerakan yang dimulai dengan revolusi “ilmu pengetahuan” para tokoh bangsa merasakan pentingnya gerakan fundamental pada sektor ilmu agar dapat memproklamasikan kemerdekaan, sebab kolonial mampu menjajah pribumi hingga ratusan tahun disebabkan pada bidang penguasaan ilmu pengetahuan. Berangkat dari pada kesadaran itu para tokoh terdahulu menguapkan semangat yang membara pentingnya masyarakat pribumi menempuh pendidikan, mulai dari membentuk organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan agar dapat menciptakan intelektual yang berkeadaban.
Jutaan nyawa telah dikorbankan untuk menyongsong kemerdekaan. Mati satu tumbuh seribu, 1945 adalah puncak dari perjuangan para syuhada yang rela mendedikasikan jiwa dan raga untuk masa depan bangsa dan hidup masyarakat.
Namun, masihkah hari ini perjuangan abadi para syuhada itu dikenang oleh para penguasa kini? Apakah perjuangan para syuhada dibayangkan oleh penguasa hari ini pedihnya mencapai puncak kemerdekaan bahkan harus berjuang untuk memperjuangkan kemerdekaan, perjuangan para syuhada itu mulai dan mulai oleh para penguasa hari ini. Mereka hanya mendukung kepercayaan publik dengan menyebarkan (HUT kemerdekaan) agar publik menanam kepercayaan pada kekuasaan, dan itupun banyak tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan penghapusan dalam sejarah bangsa.
Dimasa akhirnya kita memiliki semangat semangat cita-cita kepemilikan rakyat, sekarang, setelah melahirkan Indonesia merdeka kita dihadapkan dengan soal mempraktekkan-nya seperti masa akhirnya yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Sekarang ini, alih-alih melanjutkan dan mempraktekkan cita-cita kita itu, justru disibukkan dengan berbagai hal-hal yang berbaur ke-absuran. Ingatlah, bahwa orang luar dapat mengukur barometer benar-salahnya suatu cita-cita dengan hasil dari praktek.
Cendekiawan terdahulu memiliki peran yang berat dalam urusan kekuasaan. Pikiran-pikiran tentang kedaulatan rakyat tidak terlepas dari ide dan gagasan cendekiawan masa lampau.
Namun kini, masihkah para cendekiawan modern mengulang kembali tugas para cendekiawan masa lampau? Dan mampu mendedikasikan dirinya untuk kemajemukan masyarakat.
Inilah yang fundamental penyebab runtuhnya peradaban para cendekiawan yang diharapkan telah “berselingkuh” dengan kekuasaan, sebab, para cendekiawan telah dijadikan robot oleh kekuasaan, sehingga tugas cendekiawan yang semula mendistribusikan “ilmu pengetahuan” sudah tidak diterapkan lagi, melainkan agar mampu bahwa aturan publik bajingan dari kekuasaan mereka benarkan, dan menyulap publik dengan mengetahui bahwa aturan yang diterapkan itu dapat mempermudah dan mengutamakan rakyat.
Entah, entah apa yang terlintas dalam benak kekuasaan sehingga harus menindas rakyat dan anak bangsa, bahkan tanah yang kekayaan alam beserta yang terkandung didalamnya yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, alih-alih dialihkan untuk memmakmurkan asing yang datang.
Negara yang seharusnya mendistribusikan tanah untuk rakyat. Kini, malah memiliki tanah dan dijadikan aset pribadi oleh penguasa, dalam hukum agraria. Negara tidak boleh memiliki tanah, tugas negara yakni menguasai tanah dan mendistribusikan untuk rakyat. Dengan begitu, tujuan mulia pembentukan negara dapat terwujud dalam kenyataan.