Oleh: Orang yang Pemalu
“Apa kamu juga menyukai warna langit saat matahari turun seperti mereka?”
Tidak, bukan itu poin pentingnya. Aku tahu, itu hanyalah semacam angin lalu, hanya karena suasananya hening. Sudahlah, kalimat basa basi itu sudah tidak mempan.
“Aku sedang memperhatikan pria tua yang sedang membaca buku di sana, bukan warna langit saat ini,” tetap aku jawab.
Aku membayangkan sosok pria itu adalah ayahku, bertanya dalam hati “apakah dia sedang melakukan hal yang sama?” membaca buku sambil menikmati kopi sore harinya.
Tidak semudah itu untuk lupa, andai dia tahu. Dulu, membaca koran di pagi hari sembari menikmati kue buatan ibu adalah hal yang paling dia sukai. Yaah… walaupun hal itu jarang dia nikmati seiring dengan kesibukannya yang semakin bertambah.
Sampai sekarang keinginan ibu kepadanya belum terwujudkan, apalagi selain piknik dengan bekal buatan sendiri. Andai dia tidak pergi, mungkin sekarang kami sedang berpiknik.
“Kamu sedang membayangkanku seperti bapak itu?” Tanya Milan, membuatku kaget.
“Hufft… Pria ini sangat menyebalkan,” pikirku. Bisa-bisanya dia mengganggu kenyamananku. Walaupun begitu, aku tetap saja tidak bisa memperlihatkan wajah kesalku di depannya, ahhh sialan.
Aku hanya menjawab pertanyaannya itu dengan senyuman, bukan karena aku tidak mau menjawab, tetapi karena aku selalu membeku saat sedang bersama pria berkulit sawo matang ini.
Dia membalas senyumanku dengan manis, matanya berbinar-binar, pandangannya tidak berpaling sedikitpun dariku, dalam hati aku bergumam “ini orang kapan noleh ya, badanku semakin meriang rasanya jika dipandangi begini.”
“Berhenti melihatku begitu!” ucapku setelah mengumpulkan keberanian.
“Aku sedang memikirkan apa yang kamu pikirkan. Ketika tua nanti kita akan dihadapkan dengan berbagai jenis pilihan di dunia ini, dan kita harus memilih mana yang akan kita jalani hingga tua nanti. Menjadi tua itu tidak gampang, Thal.”
Pria yang sangat aku sukai ini memang selalu bisa membaca pikiranku, aku dan Milan seumuran tetapi pemikirannya jauh lebih dewasa dariku. Dia selalu paham jika aku hanya terdiam, itu karena kami sudah kenal sejak 4 tahun, tetapi tetap saja aku selalu membeku saat dipandanginya.
Benar kata Milan, menjadi tua memang tidaklah mudah, tetapi pernah tidak melihat sisi serunya? Seru sekali, merasakan permasalan dan diharuskan untuk menyelesaikannya sendiri. Sadar tidaknya, perlahan kita mampu menghadapi semuanya.
“Bonus menjadi tua itu bisa merasakan suka yang sesungguhnya, dan itu sangat menyenangkan,” ucap Milan sambil menarik tanganku beranjak pulang.
Ini adalah pertemuan pertama kami lagi setelah 6 bulan menunggu libur semester.
“Menjadi tua itu menarik, banyak bersyukur ya!”