Dering telepon terdengar di ujung sana, tidak ada yang menghampirinya? Baik, aku saja.
“Selamat sore manisku.”
Mendengar kalimat itu, aku benar-benar tidak percaya ayah meneleponku. Ini tidak bisa didefinisikan, kerinduan yang selama ini rasanya terbayarkan
walau hanya melalui telepon.
Tidak pikir panjang, aku spontan menanyakan kapan kira-kira ia kembali. Lagi, ia tidak menjawab pertanyaanku. Apakah begitu sulit pertanyaan yang aku lontarkan atau pertanyaanku salah?
“Ayah sudah kembali sejak 1 bulan lalu, kembali bekerja di kantor, hanya saja tidak kembali ke rumah. Penat sekali rasanya,” ucapnya.
Mengapa ayah berkata seperti itu? Entah apa yang dimaksud, aku tidak mengerti dengan ucapannya. Jika ia tidak kembali ke rumah lalu ia kembali kemana selama ini? Enggan kutanyakan, penat katanya.
“Apa ayah tidak rindu? Aku akan ke kantor ayah sekarang,” menutup telepon kemudian bergegas.
Melewati gedung-gedung tinggi sambil merenungi perkataan ayah saat di telepon, apa sebenarnya yang terjadi? Membingungkan.
Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepalaku, akan aku tanyakan ketika sudah bertemunya. Bukankan ia pergi karena tugas kantornya? Lalu kenapa ia penat kembali ke rumah? Apa alasan kepenatannya? Apa maksud perkatannya?
Sesampai di ruangan yang sangat wangi itu, aku hafal aroma ini, aroma tubuh sosok pria yang masih menempel di pikiranku itu, aroma yang sangat aku rindukan.
“Apa kau baik-baik saja manisku?” tanyanya.
Aku hanya mengangkat kepala memandangnya pekat kemudian tersenyum. Pelukannya menenangkan, hangat. Aku tidak ingin melepaskan pelukan itu, sungguh.
Ia menceritakan perjalanan bisnisnya, bertemu orang baru yang sangat baik kepadanya, menceritakan hal-hal lucu yang membuat kami terbahak. Ia memang begitu, selalu punya cerita untuk dibagikan kepadaku.
Hingga akhirnya…
“Kami sudah memutuskan untuk berpisah sejak lama, ayah sudah menikah lagi.”
“Kami? Siapa?”
“Ayah dan ibumu.”
Tak perlu berkata seperti itu, ini bukan hal yang harus dijadikan lelucon.
“Ayah serius.”
Ia menceritakan semuanya, penat yang ia rasakan timbul atas rasa gengsi untuk saling mengalah. Ia keberatan jika ibu mengemban pekerjaan yang berat hingga terkadang mengharuskannya pulang terlalu larut.
Saat ini ia sudah meyerah, merasa letih jika harus dihadapkan dengan keegoisan ibu setiap harinya. Tetapi kenapa harus memilih pergi daripada harus menyelesaikannya baik-baik?
Aku tidak bisa berkata apapun, mematung, mencoba menstabilkan nafasku yang sangat berat, dadaku rasanya sakit sekali, air mataku enggan keluar.
Berpikir bahwa apakah ini semua benar terjadi padaku? Bagaimana jadinya aku menjalani hari bagaikan orang pincang. Orang yang sangat berarti dalam hidupku pergi begitu saja.
“Kami terlalu egois, tidak pernah menyelesaikan permasalahan tetapi memilih menghindari permasalahan,” ucap ayah penuh kekesalan.
“Jangan terlalu dipikirkan, ayah akan selalu menemuimu,” lanjutnya.
Oh tidak, aku tidak bisa menerima semua ini. Mengapa harus bersatu jika pada akhirnya harus berpisah? Aku memang tidak paham rasanya, tetapi berpisah bukanlah solusi terbaik menurutku.
Raut wajah ayah terlihat sangat lusuh, rasa lelah terlihat jelas di wajahnya. Menjelaskan semuanya dengan menahan tangisannya, wajahnya memerah menahan malu di depanku.
“Penat, lebih baik menyerah saja,” tutupnya.
Ini nyata, bukan mimpi. Sudah terjadi, keputusan terbaik menurut mereka, tetapi tidak bagiku.