Oleh: Zulhaq Armansyah (Khan)
Mahasiswa Sosiologi Unram
Sejenak, mari kita menjadi netizen yang baik. Melupakan tugas perkuliahan, percintaan. Bagi teman-teman pecinta K-POP, film Korea, sebentar saja, tunda dulu beberapa episode yang akan kalian tonton.
Mari kita lihat keadaan negara kita tercinta ini. Sebagai mahasiswa sekaligus rakyat yang baik, jujur, saya merasa sedih dengan kondisi ini.
Bagaimana tidak, permasalahan silih berganti. Belum selesai dengan RKUHP, Papua, dan kasus-kasus lumrah yang sering terjadi di Indonesia. Kini muncul lagi kasus baru seperti Indonesia menjadi bagian dari negara maju.
Mendengar hal itu, saya bingung, bangga atau tidak, senang atau tidak, bahagia atau tidak. Ku bakar sebatang rokok sembari menyerut kopi yang kubuat sejam yang lalu. Kemudian kubaca berita detikcom, dalam berita itu, Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin mengatakan kurang lebih begini, “Indonesia masuk negara maju, tapi angka kemiskinan dan stunting masih tinggi”.
Tak terasa, sebatang rokok tadi yang ku bakar sudah habis. “Ah sial,” ungkap ku dalam hati. Usai itu, ku buka google, untuk mencari kriteria negara maju. Dan betul, sesuai dengan dugaan ku, Indonesia memang belum pantas mendapatkan label “Negara Maju”.
Sekarang mari sesuaikan kriteria negara maju dengan kondisi Indonesia saat ini.
Menurut yang kubaca, untuk menjadi negara maju, masyarakat di negara tersebut mudah mendapatkan pekerjaan. Dengan kata lain, pengangguran yang ada di negara itu berskala kecil. Selain itu, kriteria untuk menjadi negara maju adalah terjaminnya kesehatan masyarakat yang ada. Ternyata tidak hanya itu, keamanan yang terjamin juga merupakan bagian dari kriteria negara maju. Ku kira sampai di situ, kesehatan yang terjamin dan ekspor lebih tinggi daripada impor juga kriterianya.
Sekarang, mari kita sesuaikan dengan keadaan yang ada di negara yang katanya demokrasi ini. Menurut data yang disebut pak Ma’ruf Amin dalam berita detikcom, jika diliat dari tahun 2018 hingga tahun 2019, kemiskinan yang ada di Indonesia menurun 9,22 persen. Memang secara statistik, itu bagus. Tapi apakah sesuai dengan plementasian dalam rangka kesejahteraan rakyat?
Seruput, ah… Ku nikmati lagi kopi ini.
Mari lanjutkan pembahasan. Coba perhatikan, kesehatan yang ada di negara ini. BPJS mahal, biaya rumah sakit mahal, obat-obatan mahal. Rakyat susah, menderita. Asumsi mu, mungkin, pemerintah sedang mengumpulkan banyak dana untuk pemindahan ibu kota?
Ah, tapi tidak mungkin. Pemerintah kan cadas, eh cerdas. Dengan rencana yang begitu memakan banyak dana, tentu saja pemerintah memiliki tabungan (barangkali) atau meminjam uang dari bank dunia. Dan pastinya, tidak ada dalam pikiran pemerintah untuk menaikkan; biaya kesehatan, bahan pokok, subsidi, minyak bumi dan sebagainya. Iya kan?
Kemudian mengenai impor, yang kubaca, Indonesia akan impor gula sebanyak 200.000 ton pada bulan Mei 2020. Bayangkan, jika uang yang digunakan untuk mengimpor itu dialihkan untuk membantu pertanian atau membantu produksi gula di Indonesia. Pasti gula yang dihasilkan jauh lebih banyak, bahkan Indonesia bisa mengekspor.
Kawan-kawan, permasalahan Indonesia bukan hanya itu. Ada banyak lagi permasalahan yang belum bisa terselesaikan.
Kedepannya, semoga Indonesia semakin baik, permasalahannya semakin berkurang. Itu harapan ku.