Judul Buku: Negara Paripurna, Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Penulis : Yudi Latif
Penyunting: Idi Subandy Ibrahim
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 701 halaman
Resensi : Anas Al Ansar
Yudi Latif adalah seorang intelektual yang konsisten dalam berbagai kajian kebangsaan. Konsistensi menulis Yudi Latif tidak hanya menunjukan ia sebagai ilmuwan tetapi juga sekaligus menegaskan posisinya sebagai aktivis. Karir penelitiannya dilmulau sejak ia bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1993. Yudi Latif merupakan penyusun rencana pendirian Universitas Paramadina pada 1996. Ia telah menerbitkan berbagai buku antara lain Negara Paripurna, Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, selain itu ia juga menulis Buku dengan Judul Genealogi Intelegensia Muslim. Bahkan ia juga banyak menulis diberbagai media dan mengisi rubrik di hatian Kompas, Republika dan Majalah Gatra.
Atas karya-karyanya, Yudi Latif telah meraih banyak penghargaan. Beberapa diantaranya, Islam ic fair Of Indonesia (IFI) Award pada Desember 2011, untuk kategori Intelektual Muda Paling Berpengaruh; Ikon Politik Indonesia tahun 2011 dari Majalah Gatra, National Bulding (Nabil) pada 18 Oktober 2012 dari Yayasan Nabil, Megawati Soekarno Putri Award pada 6 Desember 2012. Ia juga dipercaya menjadi Kepala Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018).
Keunikan dari Buku ’Negara Paripurna, Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila’’ ini terdapat pada kepiawaian Penulisnya dalam mengulas sejarah pembentukan Pancasila dan sejarah bangsa Indonesia, ia pun memberi gambaran tentang cara menghadapi masa depan bermodalkan Pancasila.
Pancasila merupakan warisan jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negara yang memiliki banyak lautan yang ditaburi beribu-ribu kepulauan. Jenius Nusantara juga menggambarkan sifat lautan yang menyerap dan membersihkan, tanpa mengotori lingkungannya.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menjadi titik strategis persilangan antar benua dan antar samudera. Dengan daya tarik kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Nusantara sebagai tamansari peradaban dunia. Selain itu, jenius Nusantara juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, akibat muntahan debu vulkanik. Dengan demikian, jenius Nusantara adalah kesanggupan untuk menerima serta berbagi. Apapun budaya dan ideologi, selama dapat dicerna oleh tata nilai dan sistem sosial, maka dapat dengan bebas berkembang.
Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan raligius, toleransi dan kekeluargaan dari tanah air ini. Karena hal itu sangat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan di negara ini yang membuat negara menjadi tidak bisa berada dalam kebebasan yang nyata dan layak. Indonesia pada saat itu memerlukan dasar negara yang mutlak agar bisa menjalankan sistem kenegaraannya sendiri. Maka, ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUK), pada Mei 1945, meminta agar sidang segera mengemukakan dasar negara Indonesia merdeka, mengingatkan para pendiri bangsa untuk menggali kepribadian dan jati diri bangsa yang telah terpendam dalam sejarah.
Dengan demikian, betapapun rumusan dasar negara itu baru dikemukakan selama masa persidangan BPUPK, bahan-bahan pemikirannya telah dipersiapkan sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Setidaknya sejak dekade 1920-an, pelbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai usaha menyintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk ‘’blok historis’’ (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.
Sejak tahun 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di Belanda, mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya bahwasanya tujuan kemerdekaan itu memiliki dasar prinsip, yaitu: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian. Konsepsi ideologi PI itu sebenarnya buah sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu.
Di tahun yang sama, Tan Malaka berpendapat di dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia bahwa paham kedaulatan rakyat atau demokrasi telah mengakar kuat dalm tradisi masyarakat Nusantara. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pemikir-pemikir memiliki pandanganya masing-masing seperti Tjokroaminato yang mengidealiskan suatu pemikirannya terhadap suatu sintetis antara Islam, sosialisme, dan demokrasi. Ada juga pemikiran Soekarno mengenai sintetis ideologi yang di rumuskan pada tahun 1930, yang berisikan rumusan sintetis dari subtansi unsur Ideologi menurut pandangannya bahwa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat (nasionalis, Islamistis, dan marxistis) menjadi istilah “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”.
Puncak dari segala usaha untuk mencari sintesi ideologi tersebut adalah Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), dengan visinya yang mempertautkan keragaman dalam kesatuan tanah air dan bangsa. Semua hasil pergumulan sejarah yang telah melekat dalam benak para pendiri bangsa, tentunya dengan memperhitungkan segala aspek yang ada, membuat para perumus dasar negara menjadi lebih mudah untuk merumuskan bagaimana nantinya dasar negara ini.
Endapan pemikiran sebagai hasil pergumulan sejarah yang tersimpan di laci ingatan para pendiri bangsa itu mempermudah mereka dalam merespons tantangan untuk merumuskan dasar negara. Dengan mengurai kembali jaringan memori kolektif ke belakang dan ke samping, meresapi persamaman nasib dan impian kemerdekaan serta pertatutan genealogis dan keatuan geopolitik, masing-masing pendukung aliran politik memahami titik-titik persamaanya secara substantif, sehingga dapat mengatasi perbedaan identitas masing-masing.
- Fase Perumusan
Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai di bicarakan pada sidang pertama BPUK (pada tanggal 29 mei-1 juni 1945). Dalam rencana awal yang disusun oleh Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap yaitu pertama melalui BPUPK kemudian disusul dengan pendirian PPKI. Tugas BPUPK itu hanyalah melakukan penyelidikan mengenai persiapan kemerdekaan, sedangkan untuk rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan dari PPKI. Tetapi dengan kreatifitas dan keberanian yang kuat, para pemimpin bangsa dapat menerobos batas formalitas tersebut.
BPUPK telah mengemukakan pandanganya terhadap dasar negara melalui pemikiran-pemikiran dari anggotanya, yang di antaranya adalah: Pentingnya nilai ketuhanan sebagai fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai persatuan sebagai fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai-nilai demokrasi permusyawaratan sebagai fundamen kenegaraan, Pentingnya nilai keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundamen kenegaraan. Pemikiran-pemikiran yang dikemukakan tersebut bisa terlihat jelas bahwasanya secara subtansif semua prinsip dasar negara. Meski demikian, prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh BPUPK itu masih belum dikatakan layak karena bentuknya masih serabutan, dan belum ada yang mengusungkan prinsip secara sistematis dan holistik sebagai dasar negara yang koheren. Meskipun demikian pandangan-pandangan yang telah diusungkan oleh anggota BPUPK telah memberikan masukan penting bagi Soekarno untuk mengkombinasikan konsepsinya dan ideologi-ideologi dalam pemikirannya untuk membuat suatu dasar negara yang utuh dan bisa menjadi suatu dasar yang dapat dijadikan sebagai tuntunan atau panutan bagi suatu negara.
Menjelang pidatonya pada tanggal 1 Juni, Soekarno bercerita akan kebimbanganya dan ketakutannya akan apa yang harus dia sampaikan esok pada tagal 1 Juni di pidatonya dalam mengemukakan usulnya tentang dasar negara. Soekarno bercerita, pada malam hari sebelum esoknya dia berpidato Soekarno keluar dari rumahnya di sana dia hanya menemui kesunyian malam, dia berfikir dan dia merasa betapa kecilnya manusia dan betapa dhaifnya aku (Soekarno) ini, di situlah dia merasa pertanggungjawaban yang amat berat dan besar yang di letakan di pundaknya, karena esok dia harus mengusulkan pendapatnya tentang dasar negara yang harus dia sampaikan untuk negara yang dia emban saat ini. Pada saat itu dengan segenap kerendahan hatinya dia berdoa pada sang pencipta “Ya Allah, ya rabbi, berikanlah petunjukmu kepadaku. Berikanlah petunjukmu kepadaku apa yang harus aku katakan esok saat aku berpidato nanti, sebab engkaulah tuhanku, engkau yang mengerti pertanyaan yang di berikan oleh ketua Dokurisu Zynbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar dari negara Indonesia merdeka. Dasar negara yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia selama berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaanya. Aku, ya Tuhan, telah kau beri kesempatan untuk melihatnya. Mereka yang dipenjara, mereka yang disiksa, mereka yang tak punya dosa mati dengan segenap perjuanganya, dan aku melihat semua dengan jelas dengan mataku. Dalam sebuah surat itu dia mengamanatkan kepada saya.’Bung karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini, lanjutkanlah perjuangan kita ini’. Ya tuhan ya allah, ya rabbi, berilah petunjuk kepadaku, sebab esok hari aku harus menjawab pertanyaan yang amat penting ini.
Pada akhirnya Soekarno mendapat jawaban dari yang kuasa, beliau merumuskan lima prinsip meja statis dan leitstar dinamis di dalam pidatonya pada 1 Juni. Kelima prinsip yang dikemukakan oleh bung karno menjadi titik persetujuan segenap elemen bangsa itu, prinsip tersebut meliputi: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme, atau Prikemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial, 5. Ketuhanan Yang Berkebudayaan
Kelima prinsip yang dibuat Soekarno di atas adalah suatu konsep dasar negara yang disebut dengan Pancasila. Tetapi, sehebat apapun hasil penggalian dan uraian dari Soekarno tersebut, eksposisinya itu adalah masih sebagai pemikiran Soekarno pribadi, dan masih perlu kesepakatan dari BPUPK sebelum memang mutlak dipakai sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dan pada proses ini prinsip-prinsip yang diusungkan oleh Soekarno itu mengalami proses reposisi dan penyempurnaan.
Di akhir pertemuan Soekarno yang membahas tentang usulan-usulan dari panitia kecil, Soekarno berinisiatif membentuk panitia kecil (tidak resmi) beranggotakan sembilan orang, yang kemudian disebut sebagai panitia sembilan. Panitia sembilan ini bertugas untuk menyusun undang-undang dasar yang di dalamnya terdapat dasar negara. Panitia sembilan ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan pembukaan UUD itu, yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota dari panitia sembilan pada tanggal 22 juni. Rancangan tersebut diberi nama oleh Soekarno dengan nama “Mukadimah”, oleh M. Yamin disebut sebagai “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut sebagai “Gentelmen’s Agreement”.
Dalam perumusan UUD ini terdapat pula konflik-konflik yang terjadi, dan paada akhirnya BPUPK menyepakati pembukaan UUD 1945 pada 11 Juli. Semangat gotong royong senbagai dasar menusia Indonesia yang disebutkan oleh Soekarno tercerminkan dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD). Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli) Radjiman Widiodiningat membentuk 3 panitia: panitia rancangan hukum dasar, panitia rencana keuangan dan ekonomi, dan panitia perancang pembelaan tanah air.
Dalam perkembangannya terdapat beberapa tahap yang terjadi dalam pembentukan rancangan UUD. Pada 11-12 Juli panitia kecil mulai merancang batang dari UUD yang kedua dan hasil rancangan atau rumusannya itu diperbicarakan pada rapat besar panitia perancang yang diketuai oleh Soekarno pada tanggal 13 Juli 1945. Setelah diperbincangkan rapat besar panitia perancang, lahirlah rancangan pertama UUD, setelah rancangan pertama dibahas dalam rapat besar BPUPK pada 14 Juli, lahirlah rancangan kedua UUD. Rancangan ini kemudian mendapatkan masukan-masukan baru lagi pada rapat besar BPUPK pada tanggal 15-16, maka lahirlah rancangan ketiga UUD (terakhir).
Berlandaskan pada Piagam Jakarta, panitia ini merumuskan lima pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD. Diantaranya yaitu : 1. Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar pada persatuan, 2. Negara yang berdasar atas hidup kekeluaargaan, 3. Negara yang berkedaulatan rakyat, 4. Negara berdasar atas ke-Tuhanan, 5. Negara Indonesia memperhatikan penduduk mayoritasnya, dalam konteks ini adalah umat Muslim.
Yang selanjutnya dikatakan bahwa “pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari undang-undang dasar negara Indonesia”. Selain itu, “pokok-pokok yang mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negaara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. UUD mendapatkan sebuah masukan baru yang terpapar pada pasal 28 (rancangan terakhir). Dengan penerimaan itu pula rancangan UUD 1945 mengandung semangat pemulihan hak-hak dasar yang luas dan visioner. Demikianlah, hingga akhirnya masa persidangan BPUPK telah berakhir (17 Juli), di luar skenario Jepang, BPUPK telah berhasil menyusun dasar negara (pancasila), dalam pembukaan UUD -versi piagam Jakarta sebagai norma dasar, yang menjiwai perumusan (batang tubuh) undang-undang dasar sebagai aturan dasar
Walaupun banyak sekali konsesus secara luas dan rancangan UUD telah di sepakati oleh anggota BPUPK pada tanggal 16 Juli, kecuali satu orang (M. Yamin), di balik pengesah n tersebut ternyata masih terdapat ganjalan yang dirasakan oleh oleh golongan-golongan kebangsaan, karena pencantuman “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta, yang dianggap itu tidak adil karena mengandung unsur perlakuan khusus bagi umat Islam, dan itu dirasa tidak cocok dengan suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Moh. Hatta sebagai pebagai presiden Indonesia dan wakil presiden republik Indonesia. Dan pada saat yang sama pula PPKI menyetujui Piagam Jakarta sebagai landasan dasar pembukaan UUD 1945, kecuali “Tujuh Kata” (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) di belakang sila ke-Tuhanan. “Tujuh Kata” itu lantas diganti dengan “Yang maha esa”. Sehingga selengkapnya menjadi “ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Meskipun pencoretan “Tujuh Kata” itu menimbulkan rasa kekecewaan bagi sebagian di golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya.
Itulah proses sejarah pengonsepan Pancasila, yang melintasi banyak rangkaian dan fase-fase, yang di dalamnya itu terdapat fase pembuahan, fase perumusan, dan juga fase pengesahan. Dimulai dari fase pembuahan pada tahun 1920 di mana di tahun itu baru menyusun konsep sintesis tentang ideologi. Dan dengan seriringnya berjalannya waktu dan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode bangsa kebangsaan bersama. Lalu dilanjutkan dengan fase perumusan, dimulai dari sidang pertama BPUPK dengan pidato dari Soekarno (1 Juni) sebagai creme de la creme-nya yang memunculkan istilah Pancasila. Dan perumusan Pancasila ini yang begitu sulit karena banyak sekali perbedaan paham di dalam perumusannya yang akhirnya rancangan pancasila dari konsepesi dan pemikiran ideologi dari Soekarno dibenarkan pada persidangan pertama BPUK dan setelah itu diterima oleh PPKI. Dan akhirnya fase pengesahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang mengikat konstitusional dalam kehidupan bernegara.
Dalam setiap fase konseptualisasi dari perumusan pancasila itu melibatkan banyak sekali golongan dan diperoleh dari pemikiran-pemikiran semua anggota BPUPK, PPKI, Panitia Kecil, Panitia sembilan dll. Yang bahwasanya Pancasila merupakan pemikiran bersama yang menjadi suatu pondasi negara Indonesia ini.
Sejak disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi ideologi dasar dan pemikiran suatu bangsa. Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki peranan yang sangatlah penting karna menjadi sumber dari berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara. Rasionalitas dalam pancasila merupakan bentuk dari pemikiran yang rasional, yang di mana Pancasila mendapatkan pembenaran teoretik, dan komparatifnya dalam teori-teori kentemporer yang menolak tentang “public religion” yang menolak tesis “separation” dan “privation”, dan mendukung tesis “differentiation”. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing, dengan istilah “toleransi-kembar.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Dasar negara yang mempunyai konteks paling sensitif di dalam suatu negara adalah konteks keagamaan yang menjadi sumber pokok utama yang ada di dalam suatu negara (kecuali negara komunis). Konsepsi ini merujuk pada pemikiran tentang ideologi yang nyata di dalam kehidupan. Ada hal yang perlu dikaitkan dalam konsepsi ini yaitu tentang keadilan.
Dalam konteksnya keadilan ini perlu dimasukan dalam konsepsi pemikiran dalam dasar negara ini, karena di dalam sebuah keagamaan dan kebudayaan memiliki banyak perbedaan dan pandangan yang hal itu harus bisa dipadukan dan harus bisa satukan supaya bisa menjadikan suatu konsepsi yang mutlak untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Usaha-usaha kompromi dilakukan untuk menjaga harmonisasi antara pendukung ide-ide agama dengan “sekuler” kenegaraan. Hasil dialektika itu menjadikan Indonesia sebagai negara yang khas, yang dilukiskan William E. Shepard (1987) sebagai “sekularisme religius”, di mana proses sekulerisasi harus bernegosiasi dengan religiosasi.
KeTuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai-nilai moraalitas dan budi pekerti yang luhur. Dalam mengamalkan komitmen etis keTuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa dia bukanlah agama (sebenarnya), tetapi merupakan konsepsi “agama sipil” yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari agama.
Memang ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan bagi kemajuan. Akan tetapi, dalam konteks yang lain, agama bisa menjadi sumber kemajuan, itu merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Dengan Pancasila, kehidupan kolektif yang berorientasi pada penghayatan nilai-nilai itu terangkat dari tingkat sekuler ke tingkat moral atau sakral.
- Kemanusiaan Universal
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Di dalam konteksnya sila tersebut memiliki sebuah tujuan atau maksud di mana negara ini itu mengutamakan adanya rasa solidaritas yang tinggi dan kemanusiawian yang mutlak untuk ditetapkan. Sebagai mana maknanya sila tersebut adalah sebagai panutan bagi kehidupan di negara ini untuk bisa mengutamakan jiwa sosialnya dan jiwa kemanusiaanya untuk membantu sesama dan menjalin ikatan persaudaraan secara global.
Di sisi lain, karena ada stimulus pemikiran dan pergerakan internasional dalam formasi kebangsaan Indonesia, nasionalisme Indonesia membalas kontribusi internasional ini dengan mengembangkan nasionalisme yang lapang, yang mempertautkan diri dengan kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa (internasionalisme).
Solidaritas internasional ini pada awal pertumbuhannya terutama dipertautkan dengan bangsa-bangsa terjajah lainnya, terutama di Asia sebagai kawasan yang terdekat, dengan mengembangkan perasaan sensib-sepenanggungan dalam kerangka “Revolusi Asia” atau “Pan-Asiatisme”. Dengan kesadaran akan pertautan rasa kemanusiaan antarbangsa, menjadi jelaslah bahwa sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang luas, yang berdimensi internasionalisme. Dengan kesadaran eratnya hubungan antara nasionalime dengan internasionalisme, orientasi kemanusiaan yang adil dan beradab itu bersifat ganda: “keluar”(ikut memperjuangkan perdamaian dan keadilan dunia) dan “ke dalam” (memuliakan hak-hak asasi manusia, sebagai individu ataupun kelompok).
Kesadaran akan pentingnya internasionalisme sebagai wahana saling belajar dan saling membantu dalam kebaikan, membuat para pendiri bangsa mempelajari pelbagai rancangan konstitusi negara-negara besar di dunia dalam merumuskan rancangan UUD. Meskipun demikian, keterbukaan mereka terhadap asupan dari berbagai negara luar tidak menyurutkan tekad mereka untuk menyusun konstitusi yang cocok bagi tata-nilai masyarakat Indonesia sendiri.
Pada dasarnya kemanusiaan universal ini bisa dijadikan sebagai sub konteks dari sila ketiga yang ada dalam pancasila, karena arti nyata dari kemanusiaan yang universal itu adalah kemanusiaan yang menyeluruh, dalam garis besar kemanusiaan yang berasaskan atas keTuhanan yang didasari dengan kesatuan dan persatuan.
- Pancasila Dalam Kebhinekaan
Pancasila memiliki konsepsi dasar negara mengenai persatuan Indonesia, itu artinya pancasila sebagai negara yang mendapatkan kemerdekaannya dengan kerja keras para pejuangnya dengan menyatukan rakyatnya sehingga Indonesia bisa mendapatkan apa itu yang namanya kemerdekaan atau bebas dari penjajahan. Meski menunjukkan keragaman dan perubahan, sebagai dampak kehadiran aneka budaya dan peradaban besar dalam jangka waktu panjang, baik yang hadir serentak maupun beruntun, yang kuat maupun yang lemah, Nusantara, dalam pandangan Dennis Lombard, masih mampu mempertahankan “keasliannya” yang mendalam.
Dengan pendekatan geopolitik, yang mempertautkan antara orang dan tempat, seorang Soekarno menyimpulkan bahwa kehendak untuk bersatu dan persatuan perangai karena kesmaan nasib saja tidak cukup sebagai dasar pembentuk suatu nationale staat, melainkan perlu dihubungkan dengan kesatuan geopolitik berskala luas. Asal-usul yang menyangkut persatuan kebangsaan Indonesia tersebut telah digodok oleh panitia kecil (tidak resmi) beranggotakan sembilan orang, yang bertugas merumuskan rancangan Pembukaan UUD. Berdasarkan hasil rumusan Panitia Sembilan, yang disepakati pada 22 Juni 1945, kebangsaan Indonesia diakui sebagai salah satu Dasar Negara dalam ungkapan “Persatuan Indonesia”. Posisinya ditempatkan pada urutan (sila) ketiga pada Pancasila, mengalami pergeseran dari urutan pertama dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945.
Upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsesus nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu lainnya, seperti bahasa Indonesia.
- Demokrasi Permusyawaratan
Negara persatuan dari kebangsaan multikultur bisa bertahan lebih kokoh jika berdiri di atas landasan pengelolaan pemerintahan yang sanggup menjamin keseimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku bagi segenap warga dan elemen kebangsaan. Yang dituntut bukan hanya pemenuhan hak-hak individu dan kelompok masyarakat, melainkan juga kewajiban untuk mengembangkan solidaritas sosial dalam rangka kemaslahatan umat.
Dalam pandangan Soekarno, pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat feodal menuju kepada masyarakat yang lebih demokratis. Dalam perkembangannya, Moh. Hatta juga berpendapat bahwa stimulus Islam sebagai salah satu penyebab yang menghidupkan cita-cita demokrasi di dalam kalbu para pemimpin pergerakan kebangsaan. Nilai-nilai demokratis Islam itu bersumber dari akar-akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan kepada keTuhanan yang maha esa, sehingga melahirkan prinsip pada paham kesetaraan (kesederajatan)manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antara sesama manusia. Transformasi ini tercermin pada sikap orang-orang Indonesia antar sesama.
Dalam demokrasi, isu terpenting adalah bagaimana sebuah roda pemerintahan dapat dijalankan dengan baik tanpa adanya pihak yang terdiskriminasi ataupun pihak yang dikesampingkan oleh suatu hal. Semua kalangan atau pihak berhak untuk memberikan aspirasinya atau pendapatnya, dengan tujuan untuk menuju kepada yang lebih baik.
Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki peraturan-peraturan yang dibentuk berdasarkan kebijakan-kebijakan pemerintahanya dengan melalui permusyawaratan (demokrasi). Dalam kasus ini, Indonesia sangat peduli akan pemikiran bersama yang membuat semuanya itu merasa tidak ada yang didiskriminasikan. Indonesia adalah negara yang mempunyai pemimpin (presiden). Indonesia mempunyai cara tersendiri dalam pemilihan pemimpin negaranya, yaitu dengan cara demokrasi atau permusyawaratan, yang sekarang di sebut sebagai pemilu.
- Keadilan Sosial
Keadilan sosial merupakan sebuah gagasan pokok yang dilandaskan oleh dasar negara ini. Sila ke lima ini juga merupakan satu-satunya sila yang ada dalam pembukaan UUD 1945 di mana sila kelima ini merupakan tubuh penting dari UUD yang membuat ideologi bangsa ini menjadi utuh dan bisa dijadikan suatu acuan yang baik dan memiliki nilai-nilai yang rasional. Sila kelima ini merupakan gabungan dari konsepsi atau aspek-aspek dari sila sebelumnya, yang intinya di dalam sila ini merujuk kepada semua aspek yang ada di dalam kehidupan berbangsa di negara ini. Tanpa adanya konsepsi pemikiran dari sila kelima ini kehidupan di negara ini pasti akan sedikit mengalami kekurangan dalam hal kesejahteraan sosial, kedamaian bangsa dan juga bisa pula terjadi konflik atau beda paham antar sesama warga negara, karena di dalam negaranya tidak ada keadilan sosial yang artinya keadilan yang menyeluruh untuk semua bukan untuk satu objek atau golongan.
Keadilan sosial ini merupakan landasan ideologi bangsa yang sangat berpengaruh penting akan kesenjangan sosial bangsa ini. Segala komponen dalam bernegara jika tidak ada keadilan di muka bumi ini pastilah tiada arti, karena hidup ini bagaikan tidak memiliki arti jika tidak mendapatkan apa itu yang namanya keadilan. Pancasila sangatlah sensitif bagi bangsa maka dari itulah sila kelima ini dibuat berdsar ideologi yang ada dan dengan konsepsi yng begitu sistematis sehingga bisa diterima di dalam kehidupan di negara ini. Semua ini merupakan sekema dari ideologi yang sosialis, dan demokratis, yang dimana skema itu merupakan kunci dari dasar negara yang sebenarnya.
**
Sejuauh ini, nilai-nilai ideal Pancasila itu belum sepenuhnya terbumikan dalam kenyataan, terutama karena krisis keteladanan para penyelenggara negara. Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realitas, tidak hanya jadi retorika atau verbalisme di pentas politik. Karena itu, rejuvenasi Pancasila harus dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar falsafah negara, mengembangkannya ke dalam wacana ilmiah, mengupayakan konsistensinya dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan menjadikannya sebagai karya, kebanggaan dan komitmen bersama.
Keunggulan
Buku ini sangat lengkap dan mampu menjabarkan nilai-nilai Pancasila secara mendetail dari akar sejarahnya hingga perkembangan saat ini disertai dengan contoh-contoh dan bukti-bukti konkret dari berbagai sumber. Siapaun yang membacanya sangat terkesima dengan cara Yudi Latif menyajikan materi tentang Pancasila yang selama ini dianggap biasa dan monoton, menjadi lebih hidup dan mengglobal, artinya Pancasila tidak hanya sekedar menjadi bagian dari Indonesia, namun juga menyempurnakan nilai-nilai dari seluruh belahan dunia.
Buku Negara Paripurna ini tidak hanya menjelaskan tentang Pancasila, namun juga mengulas tuntas setiap sila dari Pancasila dari latar belakang pemikiran dan berbagai tokoh terutama para pendiri bangsa secara konsisten. Menurut saya, buku ini sangat baik untuk dibaca oleh mahasiswa terutama mahasiswa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan.
Kelemahan
Bahasa yang digunakan dalam penyusunan buku ini terlalu rumit dan bertele-tele sehingga membungungkan para pembaca. Banyak kata-kata atau ejaan lampau yang sepertinya saat ini sudah tidak digunakan, dan tidak terlalu penting. Buku ini terlalu tebal untuk kalangan mahasiswa baru, apalagi bahasanya terasa bosan.
Buku ’Negara Paripurna, Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila’’ yang ditulis oleh Yudi Latif ini merupakan maha karya yang sangat menakjubkan, karena mengurai secara lengkap sejarah, makna, dan model pengejewantahan Pancasila untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang paripurna. Buku ini saya rekomendasikan untuk semua mahasiswa.