Filsuf kenegaraan besar, Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan menguraikan prakondisi yang mendahului negara dengan istilah “state of nature”. Menurut Hobbes, sebelum keberadaan negara, masyarakat terpenuhi brutalitas, dimana kebebasan setiap orang melumat kebebasan yang lainnya, yakni dengan kekerasan, kekejaman dan kekejian (baca: teror), terhadap satu sama lainnya. Pada momentum itulah, muncul ungkapan Hobbes yang termahsyur, “Homo Homini Lupus” yang artinya manusia serigala bagi yang lainnya.
Kondisi semacam itu sama sekali tidak memungkinkan kebebasan, sebab kebebasan bersifat paradoksal, yang mengisyaratkan, diperlukan pembatasan atas kebebasan untuk dapat menegakan kebebasan. Pra negara, “Kehidupan bersama manusia tidak hanya menyedihkan, melainkan juga sangat berat.” tulis Hobbes. Terhadap kondisi yang demikian, Hobbes menawarkan sebuah solusi untuk mengakhiri derita manusia. Setiap orang yang menghendaki memperoleh kebebasan menyerahkan kebebasannya kepada suatu pihak yang dapat menjamin kebebasan setiap orang, pihak itulah yang disebut negara.
Dari perspektif historis, negara penting ada untuk dapat menjamin kebebasan. Karenanya negara diberikan hak memonopoli pemakaian kekerasan terhadap warga negara. Berkat kuasa tersebut, negara dan setiap warga negara memperoleh kedamaian, tercipta respek antar setiap orang dan negara berhasil memberadabkan manusia. Negara dikukuhkan sebagai “Deus Mortalis” atau Allah yang fana.
Sistem ketatanegaraan modern, fungsi-fungsi kenegaraan terbagi dalam institusi-institusi tertentu. Di Indonesia sendiri, Polri adalah institusi yang memiliki legitimasi menggunakan kekerasan terhadap warga negara demi menjamin kedamaian dan ketertiban antar setiap orang sebagaimana doktrin Hobbes.
Intensi (kedudukan) dasar kepolisian termuat secara normatif dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Merujuk Pasal 4 dengan terang termaktub “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”
Dewasa ini, perlu direfleksikan kembali keberadaan Polri sebagai sebuah lembaga yang memiliki legitimasi dan monopoli atas kekerasan. Apakah Polri berhasil menggunakan kekuasaan dan seluruh kewenangannya itu untuk menghadirkan kedamaian, ketertiban serta respek antar sesama warga negara? Singkatnya menjadikan Negara sebagai Deus Mortalis, Tuhan yang fana. Atau sebaliknya? Eksistensi Polri justru gagal meniadakan kejahatan, atau bahkan membuat warga negara dan negara kian brutal?
Polisi dan Public Distrust
Belakangan, tagar #PercumaLaporPolisi mencuat di media sosial Twitter, pasca kasus “3 Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Berdasarkan tulisan Multatulli Project yang dimuat kembali oleh sejumlah media nasional, Lidya, ibu dari tiga anak yang berusia di bawah 10 tahun melaporkan pemerkosaan yang menimpa ketiga putrinya, kejinya, pemerkosaan itu dilakukan oleh mantan suami Lidya, yang juga ayah kandung mereka sendiri.
Lidya, membeberkan tindakan malang yang menimpa ketiga putrinya. Ketiganya menderita sejumlah luka dan infeksi pada organ kelamin dan dubur mereka. Berdasarkan pengakuan mereka kepada ibunya, luka tersebut diakibatkan oleh pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung mereka sendiri. Seusai mendengar pengakuan tersebut, Lidya dan ketiga putrinya pecah dalam tangisan, mereka terselubungi kesedihan, meratapi kemalangan yang sama sekali tak terjangkau nalar.
Atas perlakuan keji yang menimpa ketiga putrinya, Lidya berupaya mencari keadilan dengan melapor ke Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur. Namun, alih-alih memperoleh keadilan, Lidya justru disudutkan. Petugas penerima laporan malah melaporkan aduan Lidya kepada terduga pelaku. Ada relasi kuasa kolutif antara petugas penerima laporan dan terduga pelaku yang sama-sama berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Tanpa mempertimbangkan trauma dan beban psikis Lidya dan ketiga putrinya, terduga pelaku malah dipertemukan dengan mereka. Tidak tersedia ruang aman bagi mereka. Pelaporan itu malah memojokan mereka, bukannya menyediakan perlindungan.
Penanganan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak atas laporan tersebut malah menjadi buah simalakama bagi Lidya. Mereka diperiksa secara serampangan dengan mengabaikan aspek-aspek penting yang seharusnya diperhatikan, seperti profesionalitas dan kompetensi petugas. Aspek lain yakni, trauma dan beban psikis, serta luka fisik korban diabaikan. Hasil pemeriksaan menyebut tidak ditemukan gejala traumatis dan bekas luka terhadap mereka, disebutkan “keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat.”
Pada saat memasukan laporan ke kepolisian, hasil pemeriksaan itulah yang kemudian dijadikan dasar kepolisian Luwu Timur menghentikan penyelidikan. Meski dengan sejumlah bukti, yakni bekas luka, foto, pakaian dan keterangan korban, Polisi tetap mementahkan laporan. Ada indikasi kuat kecacatan prosedural dalam penanganan kasus tersebut, sebab dalam proses penanganan tidak ada pendampingan dan perlakuan khusus terhadap korban pemerkosaan yang berusia dibawah umur, terlebih dengan fakta bahwa terduga pelaku adalah ayah kandung para korban sendiri.
Pihak LBH Makassar yang kemudian dimintai bantuan hukum, menyatakan proses penyelidikan sudah “cacat prosedur” sejak visum pertama hingga pengambilan keterangan setiap anak.
Demi melegitimasi penghentian penyelidikan, Lidya bahkan dituding bermotif dendam dan menyandang gangguan kejiwaan waham. Kepolisian sebagai hukum yang hidup bukan hanya gagal menghadirkan keadilan, lebih dari itu, Polisi seolah berkolusi dengan terduga pelaku kejahatan keji.
Respon publik terhadap kasus tersebut terluap dalam tagar #PercumaLaporPolisi. Tersirat kemuakan, kekecewaan dan distrust (ketidakpercayaan) kolektif terhadap instansi kepolisian.
Polisi dan Kuasa Kekerasan
Masih segar dalam ingatan, tragedi mengerikan KM 50 yang menimpa 6 orang anggota FPI pengawal Rizieq Syihab pada 7 Desember 2020 lalu. Pada 5 Desember Polda Metro Jaya mengeluarkan perintah pembuntutan terhadap keberadaan Rizieq Syihab. Tragedi itu bermula ketika Muhammad Rizieq Syihab bersama rombongannya meninggalkan perumahan The Nature Mutiara Sentul, Bogor, Jawa Barat pada 6 Desember malam. Rombongan itu menuju karawang melalui tol Jakarta-Cikampek, lalu keluar melalui jalan tol Karawang Timur, Karawang. Mereka dibuntuti empat mobil tim dari Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Metro Jaya. Pada saat itulah, tragedi mengerikan itu terjadi. Enam dari delapan mobil rombongan Rizieq berhasil menjauh, sedangkan dua lainnya menghalau penguntit.
Terjadi saling salip, tubruk dan tembak-menembak antara pihak Kepolisian dan pengawal Rizieq Syihab. Dua dari enam pengawal Rizieq tewas tertembak dan mobil terhenti. Empat orang lainnya yang masih hidup, dipindahkan ke mobil milik polisi. Dititik inilah, brutalitas yang sesungguhnya terjadi, empat pengawal Rizieq yang tertangkap dibunuh dengan dalih melawan petugas.
Komnas HAM berdasarkan hasil investigasinya menyimpulkan tindakan tersebut sebagai “Unlawful Killing” dan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Komnas HAM menyatakan Polisi tidak seharusnya merenggut nyawa empat orang itu. Dalam reka adegan tersingkap, bahwa tragedi itu terjadi karena kecacatan prosedural kepolisian sendiri, yang tidak memborgol dan mengambil tindakan pencegahan dan pelumpuhan.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun Tempo.co dari keluarga para korban, ditemukan bekas brutalitas yang mengerikan di sekujur tubuh para korban, yakni LH, AO dan MSK. Pada tubuh LH didapati empat lubang bekas peluru yang menembus dada kiri hingga punggungnya, kejinya lagi, ada bekas injakan di kemaluannya. Hal serupa terjadi pada MSK, terdapat tiga luka bekas lubang tembakan di dada kirinya, keluarga menyatakan darah masih terkucur bahkan saat jenazah dikafankan. Kondisi jenazah AO lebih mengenaskan, ditemukan lubang bekas tembakan di sekujur tubuhnya. Saat jenazah dimandikan, ada hantaman peluru di mata kiri yang tembus hingga ke bagian belakang kepala. Juga ditemukan luka bekas tembakan yang masuk dari belakang telinga kanan yang tembus hingga ke belakang telinga kiri.
Sulit untuk bahkan menerima kenyataan bahwa brutalitas itu dilakukan oleh manusia, apalagi manusia itu bertugas memelihara keamanan dan ketertiban dengan mengayomi, melindungi serta melayani masyarakat. Masyarakat yang seharusnya terayomi, terlindungi dan terlayani oleh Kepolisian sebagaimana perintah undang-undang, malah diperlakukan seolah kriminal, penjahat atau teroris. Padahal, penjahat terburuk sekalipun seharusnya diperlakukan humanistis. Para korban seolah dianggap sebagai objek, sesuatu yang lain, yang tidak memiliki nilai kemanusiaan sedikitpun.
Terakhir pada 05 Oktober lalu, kasus pembunuhan brutal tersebut dikabarkan baru sampai tahap pelimpahan berkas dari Kejaksaan Agung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Tempo.co 06/10).
Dua kasus yang terurai diatas adalah secuil puncak dari fenomena gunung es. Hal ini terkonfirmasi laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menguak, Polri diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas. (Lihat CNN Indonesia). Masih menurut Kontras, sepanjang bulan Juli 2020 hingga Mei 2021 Polri diduga melakukan 651 kasus kekerasan. (Lihat, Hadiah Kayu Untuk Demonstran).
Daripada menjadi institusi yang menjamin hak, kebebasan dan kedamaian melalui perlindungan, pelayanan serta pengayoman atas warga negara, Polri malah nampak seperti institusi yang melumat hak-hak warga negara.
Kinerja buruk dan ketiadaan profesionalisme dalam penanganan kasus warga negara kontras dengan kinerja Polisi manakala mengatasi kasus yang bersinggungan langsung dengan kekuasaan.
Negara sebagai pemilik legitimasi atas kekerasan, yakni melalui institusi Kepolisian, tidak lagi menggunakannya untuk melindungi hak, kebebasan, kedamaian serta respek antar sesama warga negara, sebagaimana konsepsi filosofis Hobbes, namun sebagai perenggut hak-hak warga negara. Daripada menyebut negara sebagai Deus Mortalis (Tuhan yang fana), negara nampak mirio Diabolus Mortalis (iblis fana) nampak lebih sesuai.
Kondisi itu dapat memperburuk reputasi Polri dan meningkatkan ketakutan warga negara terhadap klaim-klaim pengayom dan pelindung rakyat. Indonesia sebagai negara demokrasi berdasarkan hukum yang menaruh ruang terhormat bagi hak asasi manusia. Jika tradisi teror terhadap rakyat tidak dihentikan dan mentalitas “serigala” tidak direvolusi maka klaim Polri presisi hanya sekedar kamuflase.
Orang-orang Amerika menjaga demokrasi berbasis dua prinsip utama, yakni toleransi dan kehati-hatian menggunakan hak khusus yang melekat dalam instrumen-instrumen negara. Kita mesti percaya, jika hak khusus berupa penggunaan kekerasan tidak didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan HAM, maka bukan hanya indeks demokrasi kita yang akan tergerus, tetapi Polisi kita akan berubah menjadi “Homo Homini Lupus,” atau Manusia – dalam hal ini Polri- serigala bagi manusia lainnya.