Oleh : Muh. Nasirudin Albani
Sejarah bangsa kita memiliki cerita panjangan tetang agraria atau pertanahan. Mulai dari zaman Sebelum kemerdekaan sampai dengan era Setelah kemerdekaan. Kita di jajah oleh Belanda dikarenakan tanah Nusantara ini sangatlah subur dan kaya Dengan Sumber daya Alam.
Sedikit kita tilik era awal VOC masuk ke Indonesia, dia awal VOC datang ke raja-raja di pulau jawa dengan menawarkan perjanjian kerja sama dalam hal perdagangan. Lama kelamaan VOC mulai menikung raja-raja tersebut dari belakang dan menguasai tanah, hutan, bahkan mengusir para raja tersebut dari Kerajaan mereka.
Lanjut ke masa penjajahan oleh Belanda dimana salah satu aturan yang dibuat adalah pencatatan pertanahan, ini merupakan cara untuk mengambil alih tanah-tanah milik rakyat. Disini penjajah dulu mereka akan memeriksa tanah-tanah milik Pribumi apakah memiliki sertifikat atau tidak, sedangkan pada masa itu Pribumi masih menggunakan hukum adat dalam pembagian tanah dan seperti yg kita ketahui bahwa hukum adat tidak tertulis. Jadi ketika Pribumi pada masa itu yangtidak bisa membuktikan bawah tanah itu adalah milik akan di ambil alih oleh kolonial dan di anggap sebagai tanah negara.
Ketika awal kemerdekaan pemerintah berusaha untuk membuat peraturan perundangan-undang guna mengatur tentang agraria. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi dasar peraturan perundang-undangan tersebut. Bahwasanya “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Hal tersebut menjadi cikal bakal lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 yang akhirnya bisa terbentuk setelah 15 tahun lamanya Indonesia merdeka.
Pada Era Reformasi hingga sekarang, banyak sekali yang kita temukan masalah-masalah Agraria yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
“Dalam lima tahun terakhir paling tidak sebanyak 2.288 konflik agraria terjadi. Sebanyak 1.437 orang dikriminalisasi atas konflik agraria ini. Lalu, 776 orang dianiaya, 75 orang tertembak, dan 66 orang tewas di wilayah konflik agraria,” Saan Mustofa wakil komisi II DPR RI ( web. DPR RI)
Dari ungkapan diatas kita tahu bahwa banyak sekali konflik Agraria yang terjadi. Kebanyakan konflik ini terjadi karena ambisi dari pemerintah itu sendiri dengan Proyek-proyek strategis Nasional yang mereka canangkan.
Dalam pertempuran dengan IMF pada 2018 di Nusa Dua bali, Staf Khusus I Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Sahala Lumban Gaol. Dalam acara tersebut Sahala menyampaikan bawah Indonesia akan membuat 10 bali baru antara lain Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Candi Borobudur, Mandalika, Gunung Bromo, Wakatobi, Labuan Bajo, hingga Morotai akan menjadi 10 bali baru. (CNN Indonesia)
Masalah di Pulau Rempang 16.583 Hektar tanah yang menajadi tempat proyek strategis Nasional dan 7. 500 orang yang di paksa keluar dari tanah nenek moyang mereka. Tindakan represif dari para aparat negara yang melakukan penangkapan dan pemukulan yang lakukan oleh mereka.
Belum lagi dengan proyek 10 bali baru yang menimbulkan banyak Konflik Agraria, seperti Mandalika banyak konflik yang terjadi disana. Pulau komodo yang masyarakat disana dipaksa keluar dari tanah kelahiran mereka. Labuan Bajo proyek jalan yang di suatu desa yang di paksa untuk membongkar rumah dalam 3 hari, jika tidak segeradilaksanaka maka jalan itu tidak melewati kampung mereka. Dan disana mereka tidak mendapat kompensasi atas tanah mereka.
Jika kita runutkan dari kejadian diatas, ini merupakan sebuah gejala Dari Neo Kolonialisme Agraria dari pandangan saya. Bagaimana pemerintah sendiri yang melakukan pengusiran terhadap masyarakat yang seharusnya mereka jaga dan lindungi.
Neokolonialisme adalah masa penjajahan yang baru dan lebih halus. Perlu diketahui bahwa masyarakat dahulu merasakan zaman kolonialisme dan sekarang masyarakat merasakan neokolonialisme dalam kehidupan. Neokolonialisme mempunyai cakupan yang lebih kompleks daripada kolonialisme.
Neokolonialisme Agraria sendiri merupakan suatu kegiatan yang dimana hak atas tanah rakyat dirampas dengan cara yang legal dimata hukum.
Gejala Neokolonialisme ketika negara-negara berkembang menjadi butuh industri dari perusahaan asing dengan upah yang sangat kecil. Sekarang kita lihat bagaimana negara kita terus membuka peluang asing bagi para investor. Bahakan tanah-tanah masyarakat sediri ada yang di ganti rugi dan ada juga yang tidak sama sekali.
Semua itu dengan dalih bawa akan membuka lapangan kerja, akan tetapi dengan Sumber Daya Manusia kita yang masih belum siap dengan semua itu ini mengakibatkan banyak tenaga dari luar yang terserap.
Ini merupakan Neo kolonialisme Agraria/ Penjajahan baru di bidang pertanahan dan yang sangat disayangkan yang melakukan penjajah itu adalah pemerintah kita sendiri. Para pemangku Kekuasaan seakan tutup mata melihat penderitaan masyarakat kecil yang mempertahankan tanah mereka.