Mataram, MEDIA – Rencana pengosongan lahan di kawasan Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah, kembali menuai sorotan. Warga dan kelompok mahasiswa menyuarakan penolakan atas proyek pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang dinilai meminggirkan masyarakat lokal dan mengancam ruang hidup.
Pada Jumat pagi (11/7), Bupati Lombok Tengah bersama ribuan ASN, aparat TNI, dan Polri menggelar senam bersama di sekitar Pantai Tanjung Aan. Di hari yang sama, surat peringatan ketiga dilayangkan kepada warga dan pedagang setempat untuk mengosongkan lahan dalam waktu tiga hari. Kegiatan ini memicu kecemasan karena dinilai sebagai bagian dari strategi intimidatif menjelang penggusuran.
Pemerintah menyebut pengosongan ini sebagai bagian dari program nasional, sementara aparat ditugaskan untuk sterilisasi lokasi. Namun di tengah masyarakat, kegiatan yang diklaim simbol sinergi antarinstansi ini justru memunculkan rasa tertekan.
Sebagai bentuk perlawanan, Mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FMN) Mataram menyelenggarakan forum publik pada Jumat malam dengan menghadirkan warga Tanjung Aan dan beberapa organisasi sipil. Dalam forum tersebut, warga mengungkapkan ketiadaan sosialisasi, konsultasi bermakna, hingga ganti rugi yang adil.
“Selama puluhan tahun sebelum adanya pembangunan kami hidup dengan aman dan damai tanpa adanya intimidasi dari pihak manapun. Ketika ada pembangunan justru kami akan kehilangan sumber kehidupannya karena tempat kami akan digusur,” ujar Raia, warga setempat.
Kartini, pengelola warung di Tanjung Aan, juga menyoroti gagalnya skema relokasi yang pernah ditawarkan ITDC. Lokasi relokasi sebelumnya dianggap tidak layak karena jauh dari pantai dan menghapus identitas lokal.
Koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Indonesia (KPPI) Wilayah NTB, Harry Sandi Ame, menjelaskan bahwa konflik lahan di KEK Mandalika telah berlangsung lama dan diwariskan dari pengelola sebelumnya, mulai dari PT Rajawali hingga ITDC. Ia menyoroti berbagai pelanggaran hak yang terjadi selama proses pembangunan kawasan tersebut sejak tahun 2018.
Menurutnya, hingga kini masih ada dua persoalan besar. Penggusuran di Bukit Tengal-engal atas lahan yang belum dibebaskan dan ancaman penggusuran terhadap 186 pedagang di pesisir Tanjung Aan. Ia juga mengkritik praktik privatisasi akses pantai yang sejatinya merupakan ruang publik.
Selain persoalan sosial, dampak ekologis turut disinggung. Penimbunan kawasan hutan bakau untuk kepentingan pembangunan dinilai memperparah degradasi lingkungan.
Ketua Umum FMN, Ahmad Badawi, menekankan pentingnya suara dari kalangan mahasiswa dan masyarakat kota. Ia mengkritik relasi kampus dengan proyek pembangunan yang dianggap telah berpihak pada kekuasaan dan modal.
“Kampus hari ini lebih banyak menopang proyek pembangunan, alih-alih berpihak pada masyarakat. Maka penting bagi mahasiswa untuk membangun kesadaran kritis,” ujarnya.
Acara ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap yang menuntut penghentian intimidasi, pelibatan warga dalam pengambilan keputusan, evaluasi proyek nasional di Mandalika, serta penghentian pelanggaran HAM terhadap masyarakat terdampak.
(rfi)