24.1 C
Mataram
Friday, July 18, 2025
spot_img
Home Blog

Tanjung Aan Terancam Digusur: Masyarakat Lawan Proyek KEK Mandalika

0

Mataram, MEDIA – Rencana pengosongan lahan di kawasan Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah, kembali menuai sorotan. Warga dan kelompok mahasiswa menyuarakan penolakan atas proyek pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang dinilai meminggirkan masyarakat lokal dan mengancam ruang hidup.

Pada Jumat pagi (11/7), Bupati Lombok Tengah bersama ribuan ASN, aparat TNI, dan Polri menggelar senam bersama di sekitar Pantai Tanjung Aan. Di hari yang sama, surat peringatan ketiga dilayangkan kepada warga dan pedagang setempat untuk mengosongkan lahan dalam waktu tiga hari. Kegiatan ini memicu kecemasan karena dinilai sebagai bagian dari strategi intimidatif menjelang penggusuran.

Pemerintah menyebut pengosongan ini sebagai bagian dari program nasional, sementara aparat ditugaskan untuk sterilisasi lokasi. Namun di tengah masyarakat, kegiatan yang diklaim simbol sinergi antarinstansi ini justru memunculkan rasa tertekan.

Sebagai bentuk perlawanan, Mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FMN) Mataram menyelenggarakan forum publik pada Jumat malam dengan menghadirkan warga Tanjung Aan dan beberapa organisasi sipil. Dalam forum tersebut, warga mengungkapkan ketiadaan sosialisasi, konsultasi bermakna, hingga ganti rugi yang adil.

“Selama puluhan tahun sebelum adanya pembangunan kami hidup dengan aman dan damai tanpa adanya intimidasi dari pihak manapun. Ketika ada pembangunan justru kami akan kehilangan sumber kehidupannya karena tempat kami akan digusur,” ujar Raia, warga setempat.

Kartini, pengelola warung di Tanjung Aan, juga menyoroti gagalnya skema relokasi yang pernah ditawarkan ITDC. Lokasi relokasi sebelumnya dianggap tidak layak karena jauh dari pantai dan menghapus identitas lokal.

Koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Indonesia (KPPI) Wilayah NTB, Harry Sandi Ame, menjelaskan bahwa konflik lahan di KEK Mandalika telah berlangsung lama dan diwariskan dari pengelola sebelumnya, mulai dari PT Rajawali hingga ITDC. Ia menyoroti berbagai pelanggaran hak yang terjadi selama proses pembangunan kawasan tersebut sejak tahun 2018.

Menurutnya, hingga kini masih ada dua persoalan besar. Penggusuran di Bukit Tengal-engal atas lahan yang belum dibebaskan dan ancaman penggusuran terhadap 186 pedagang di pesisir Tanjung Aan. Ia juga mengkritik praktik privatisasi akses pantai yang sejatinya merupakan ruang publik.

Selain persoalan sosial, dampak ekologis turut disinggung. Penimbunan kawasan hutan bakau untuk kepentingan pembangunan dinilai memperparah degradasi lingkungan.

Ketua Umum FMN, Ahmad Badawi, menekankan pentingnya suara dari kalangan mahasiswa dan masyarakat kota. Ia mengkritik relasi kampus dengan proyek pembangunan yang dianggap telah berpihak pada kekuasaan dan modal.

“Kampus hari ini lebih banyak menopang proyek pembangunan, alih-alih berpihak pada masyarakat. Maka penting bagi mahasiswa untuk membangun kesadaran kritis,” ujarnya.

Acara ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap yang menuntut penghentian intimidasi, pelibatan warga dalam pengambilan keputusan, evaluasi proyek nasional di Mandalika, serta penghentian pelanggaran HAM terhadap masyarakat terdampak.

(rfi)

Kasus Dugaan Penipuan Mahasiswa Unram Diselesaikan Secara Kekeluargaan, Korban: “Tidak Ada Lagi yang Perlu Diperpanjang”

0

Mataram, MEDIA — Kasus dugaan penipuan yang menyeret nama salah satu mahasiswa Universitas Mataram kini dikabarkan telah diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini disampaikan langsung oleh salah satu korban kepada MEDIA Unram.

Korban menjelaskan bahwa sebelum berita terkait kasus ini beredar di media sosial, mereka telah melakukan kunjungan ke rumah mahasiswa yang bersangkutan pada Sabtu, 24 Mei 2025. Dalam kunjungan tersebut, korban tidak bertemu langsung dengan mahasiswa, melainkan dengan orang tuanya.

“Pada hari Sabtu tanggal 24 Mei 2025 kami berkunjung ke rumah Mahasiswa yang bersangkutan, namun kami hanya bertemu dengan Orang Tua dari Mahasiswa tersebut yang ingin bertanggung jawab dan beritikad baik untuk membayarkan pinjaman hutang paling lambat 15 Juni 2025 (namun tidak ada komunikasi/koordinasi sampai dengan tanggal yang tertera), dan dikonfirmasi lagi oleh pihak Orang Tua Mahasiswa tersebut sampai dengan tanggal 20 Juni 2025 dengan harapan Orang Tua agar tidak dipublikasikan ke media dan tidak melebih-lebihkan pemberitaan oleh media terkait,” jelas korban.

Korban juga mengakui bahwa pemberitaan yang beredar di media sosial telah menimbulkan kegaduhan dan merugikan berbagai pihak, termasuk mahasiswa yang bersangkutan. Atas dasar itu, kedua belah pihak memilih untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai.

“Kami menyadari bahwa pemberitaan yang beredar di media sosial tersebut banyak menimbulkan kegaduhan dan merugikan banyak pihak, terutama Mahasiswa yang bersangkutan. Karena masalahnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan dan damai maka tidak ada lagi yang perlu diperpanjang terkait berita yang beredar,” tambahnya.

Kini, setelah proses mediasi dan penyelesaian dilakukan, pihak-pihak yang terlibat berharap agar persoalan ini tidak lagi menjadi bahan perdebatan di ruang publik dan tidak melebih-lebihkan kejadian yang terjadi serta tidak benar. Penyelesaian yang telah dicapai dianggap sebagai langkah terbaik untuk menutup persoalan ini secara damai dan saling menghormati.

Kedua pihak juga telah menandatangani kesepakatan sebagai berikut:

Aliansi Rinjani Memanggil Gelar Aksi Tolak SeaGlamping dan Seaplane di Zona Gunung Rinjani

0

Mataram, MEDIA – Ratusan warga, mahasiswa, aktivis lingkungan, dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rinjani Memanggil, dan Masyarakat Peduli Rinjani, menggelar aksi demonstrasi menolak pembangunan proyek SeaGlamping dan Seaplane di kawasan inti Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), tepatnya di sekitar Danau Segara Anak. (9/7)

Aksi yang berlangsung di depan Kantor Balai TNGR sejak pukul 09.00 WITA ini menuntut penghentian rencana proyek yang dinilai akan merusak ekosistem Rinjani dan mengabaikan nilai spiritual serta budaya lokal masyarakat sekitar.

Terdapat tujuh tuntutan utama yang disuarakan massa aksi:

  1. Menghentikan dan membatalkan secara permanen proyek SeaGlamping dan seaplane, termasuk segala bentuk investasi pariwisata yang berpotensi merusak zona inti TNGR.
  2. Melakukan audit total atas tata kelola TNGR serta mempublikasikan hasilnya secara terbuka.
  3. Melindungi Danau Segara Anak sebagai ruang spiritual dan ekologi, bukan sebagai objek komersial.
  4. Mempublikasikan secara penuh pendapatan dan alokasi dana TNGR dari sektor pariwisata.
  5. Menuntut transparansi dan revisi zonasi TNGR secara partisipatif dan berbasis ilmiah.
  6. Mengevaluasi seluruh izin pariwisata di TNGR, termasuk izin untuk warung, ojek, porter, dan operator trekking.
  7. Menstandarisasi keterampilan/sertfikasi K3Guide, porter dan TO.

Koordinator Umum Aksi, Wahyu Habbibullah, menilai proyek SeaGlamping dan Seaplane bertentangan dengan prinsip pelestarian. “Pembangunan yang tidak berbasis pada kajian ilmiah dan partisipasi publik jelas akan memperburuk kondisi lingkungan di Gunung Rinjani,” ujarnya.

Aksi juga diwarnai teatrikal lingkungan yang menggambarkan kerusakan akibat eksploitasi pariwisata. Kritik keras datang dari Amri Nuryadin, Direktur Eksekutif WALHI NTB. “Negara tidak memprioritaskan prinsip ekologi dalam pengelolaan kawasan ini,” tegasnya.

Sementara itu, dosen Universitas Mataram, Ahmad Junaidi, M.A., Ph.D., mengingatkan bahwa proyek tersebut akan memperburuk kondisi Rinjani. “Jika terus dieksploitasi, kerusakan yang terjadi akan bersifat tak terbalikkan,” katanya.

Massa aksi juga menuntut tanggapan resmi dari Kepala Balai TNGR dalam waktu 1×24 jam dan telah menyerahkan dokumen kajian serta pernyataan sikap kepada perwakilan TNGR.

Menanggapi aksi tersebut, Kasubag TU Balai TNGR, Teguh Rianto, S.Hut., M.P., menyatakan komitmennya membuka ruang dialog. “Perlindungan terhadap Gunung Rinjani adalah tanggung jawab kita semua,” ucapnya di hadapan peserta aksi.

Aksi berlangsung damai dan bubar pada pukul 12.00 WITA dengan pengawalan dari aparat kepolisian.

(rfi)

Warga Tanjung Aan Terancam Digusur, Mahasiswa Desak Evaluasi Proyek

0

Mataram, MEDIA – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Mataram menggelar aksi mimbar bebas di perempatan Bank Indonesia, Kamis (3/7). Aksi ini digelar sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya dugaan intimidasi dan ancaman penggusuran terhadap warga di kawasan pesisir Tanjung Aan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.

Aksi tersebut menyoroti penyebaran surat peringatan pengosongan lahan oleh kelompok bernama Vanguard, yang disebut-sebut mewakili kepentingan investor di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Vanguard dinilai bertindak di luar kewenangannya dengan menekan warga agar segera mengosongkan lahan yang selama ini mereka manfaatkan untuk usaha dan kehidupan sehari-hari.

Setidaknya 186 pelaku usaha lokal seperti pedagang kaki lima, pengelola warung, guru surfing, dan pemandu wisata disebut terdampak dari rencana alih fungsi lahan menjadi kawasan hotel dan beach club.

Isu penggusuran warga bukan hal baru dalam pembangunan KEK Mandalika. Aksi mahasiswa ini menyoroti sejumlah catatan pelanggaran hak yang disebut terjadi sejak awal pengembangan kawasan tersebut. Proses pembebasan lahan disebut dilakukan tanpa konsultasi bermakna, transparansi hukum, maupun kompensasi yang memadai.

FMN mencatat bahwa banyak warga telah tinggal dan mengelola lahan di kawasan pesisir selama lebih dari dua dekade. Namun demikian, keberadaan mereka kerap diabaikan dalam proyek pembangunan yang diklaim sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Disebutkan pula bahwa proyek ini didanai oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), namun pelaksanaannya dinilai belum memenuhi prinsip-prinsip perlindungan sosial dan lingkungan internasional seperti Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).

Kritik terhadap Pendekatan Represif

Aksi juga menyoroti pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik lahan. Dalam pernyataan sikapnya, peserta aksi mengecam keterlibatan aparat serta pihak keamanan non-negara dalam pengosongan wilayah pesisir, yang dinilai dapat mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.

Penggunaan kelompok seperti Vanguard untuk menjalankan penggusuran dinilai bermasalah secara hukum. Mahasiswa mempertanyakan otoritas dan dasar legal dari tindakan tersebut, mengingat hanya pemerintah dan pengelola resmi kawasan yang memiliki kewenangan.

Aksi diakhiri dengan pembacaan sejumlah tuntutan. Di antaranya, mahasiswa mendesak dihentikannya intimidasi terhadap warga, evaluasi terhadap proyek-proyek strategis di kawasan Mandalika, dan pelibatan masyarakat terdampak dalam setiap proses pembangunan. Selain itu, mereka juga menyerukan perlunya pelaksanaan reforma agraria sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional yang adil.

(rfi)

Terjadi Kecacatan, Masa Depan Pemira Unram Masih Menggantung

0
Sumber: https://oia.unram.ac.id/categorized/about-unram/

Unram, MEDIA – Masa depan Pemilihan Raya (Pemira) Universitas Mataram 2025 masih berada dalam ketidakpastian. Setelah salah satu pasangan calon mengajukan gugatan, tim hukum Universitas Mataram menyatakan bahwa proses Pemira mengalami kecacatan hukum yang melibatkan seluruh pasangan calon.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr. Sujita, S.T., M.T., membenarkan bahwa proses Pemira tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Ada pelanggaran lah di proses Pemira itu, berdasarkan kajian tim hukum,” ungkapnya saat diwawancarai oleh Media Unram.

Temuan ini membuat posisi ketiga pasangan calon dalam Pemira menjadi tidak jelas. Tidak ada satu pun pasangan yang dinyatakan benar-benar sah, dan semua opsi penyelesaian masih terbuka. “Ada kecacatan di ketiga pasangan calon. Jadi ketiganya,” jelasnya.

Sebagai respons atas hasil kajian tersebut, tim Hukum menyarankan beberapa alternatif. Salah satunya adalah menyelenggarakan musyawarah antara ketiga paslon yang difasilitasi oleh birokrasi dan melibatkan perwakilan masing-masing paslon serta Penyelenggara Pemira, yakni Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM). Namun hingga kini, belum ada langkah konkret yang diambil.

Waktu yang semakin sempit juga menjadi pertimbangan. Kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) akan segera dilaksanakan, sehingga opsi untuk mengulang Pemira dinilai tidak realistis. “Gimana mau Pemira ulang, waktunya udah mepet, udah dekat PKKMB juga,” ujar Sujita.

Meski begitu, ia memastikan polemik ini tidak akan mengganggu pelaksanaan PKKMB. “Nggak ada kemungkinan mengganggu PKKMB, kita masih punya UKM juga, nanti kita melibatkan juga pasti,” tambahnya.

Meskipun Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tidak tersangkut konflik seperti halnya BEM, posisi mereka ikut terdampak karena keterpilihan mereka berada dalam satu paket hasil Pemira. “Tetap DPM, karena sepaket kan dalam Pemira,” jelasnya lagi.

Di tengah ketidakpastian tersebut, suara mahasiswa terus bertanya: ke mana arah penyelesaian Pemira 2025? Tidak ada kepastian apakah proses ini akan diulang, diselesaikan lewat musyawarah, atau justru dibiarkan menggantung.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keputusan resmi dari pihak kampus terkait nasib Pemira maupun arah kebijakan yang akan diambil untuk mengisi kekosongan kepemimpinan mahasiswa di tingkat universitas. “Kita tunggu lah hasil musyawarah dulu,” tutupnya.

(rfi)

Suara Warga Tanjung Aan: Tolak Penggusuran, Tuntut Keadilan Agraria

0
https://surfwells.com/blog/tanjung-aan-lombok-surf/

Mandalika, MEDIA – Polemik penggusuran lahan di kawasan pesisir Tanjung Aan, Lombok Tengah, kembali menjadi sorotan publik. Rencana pengosongan lahan oleh PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) memicu kecemasan warga yang selama bertahun-tahun menetap dan menggantungkan hidup di kawasan tersebut. Di tengah ambisi pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, warga merasa semakin terpinggirkan. Konflik ini menjadi salah satu potret ketegangan antara pembangunan nasional dan hak hidup masyarakat lokal.

Sebuah video dokumenter yang dipublikasikan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melalui akun Instagramnya, menampilkan suara keresahan warga pesisir Tanjung Aan, Lombok Tengah, yang menolak rencana penggusuran lahan oleh PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), anak usaha BUMN yang mengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.

Dalam video tersebut, dua warga menyampaikan keluhan mereka atas situasi yang dinilai tidak adil dan merugikan masyarakat lokal.

Ela Nurlailiah, warga pesisir Tanjung Aan, menyebut bahwa tanah yang mereka tempati telah dikuasai keluarganya selama tiga generasi. Ia menyatakan bahwa kehadiran KEK Mandalika sejak 2014 membawa dampak sosial yang buruk bagi warga.

“Lahan itu adalah milik keluarga kami sejak dulu, sudah 3 generasi kami menempati lahan itu. Terbitnya KEK Mandalika di tahun 2014 menyisakan penderitaan tersendiri bagi kami warga-warga lokal,” ucapnya.
“Penderitaan kami dari sosial ekonomi, intimidasi fisik dan mental dimulai. Kami menghadapi aksi penggusuran yang kesekian kalinya. Untuk pemerintah, lihatlah kami warga pesisir yang membutuhkan keadilan,” tambahnya.

Senada dengan itu, Subur, warga lainnya menyuarakan kekhawatiran terhadap kekerasan dalam penyelesaian konflik lahan.

“Saya akan bertahan sampai selesai permasalahan. Saya berhak untuk menuntut hak saya. Dan jangan sampai para investor atau ITDC memakai kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan,” ujarnya.
“Sedikit-dikit pakai aparat. Tidak mungkin masyarakat menuntut jika tidak ada haknya,” tegasnya.

Menanggapi situasi ini, Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menyatakan bahwa proyek KEK Mandalika perlu dievaluasi secara menyeluruh oleh Presiden RI.

“Saya pikir Presiden Prabowo harus melihat ulang, melakukan evaluasi terhadap proses pembangunan KEK Mandalika. Sudah jelas dari proses pengadaan tanah sejak 2019, sudah banyak terjadi penggusuran tanah warga dan penghilangan mata pencaharian masyarakat setempat,” ungkapnya.
“Jadi sangat layak untuk dilakukan evaluasi secara menyeluruh oleh Presiden yang berkaitan dengan seluruh proses pembangunan termasuk proses pengadaan tanah yang terjadi di KEK Mandalika,” lanjutnya.

(rfi)

Vanguard Kirim Surat Penggusuran, Warga Tanjung Aan Terancam Kehilangan Mata Pencaharian

0
https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/maha-karya-tuhan-di-pantai-selatan-lombok/

Mandalika, MEDIA — Sekelompok pasukan keamanan gabungan mendatangi kawasan Pantai Tanjung Aan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, pada Minggu (15/6). Mereka menyisir warung-warung milik warga sambil mengantarkan surat peringatan pengosongan lahan atas nama Vanguard, satuan keamanan yang mengaku mewakili investor Mandalika.

Surat tersebut mencantumkan batas waktu 14 hari bagi warga untuk mengosongkan area usaha mereka. Dalam surat itu, disebutkan bahwa Vanguard ditunjuk untuk melakukan land clearing di wilayah pesisir Pantai Tanjung Aan hingga Batu Kotak. Namun, keberadaan Vanguard sebagai pelaksana penggusuran menimbulkan tanda tanya, mengingat kelompok ini bahkan tidak terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) Lombok Tengah.

PT. ITDC disebut telah menyerahkan proses pengosongan lahan kepada pihak ketiga, yaitu investor, yang dijalankan oleh tim pelaksana dari Vanguard. “Alih-alih menghormati eksistensi dan aspirasi masyarakat terdampak, PT. ITDC dan pemerintah justru tanpa konsultasi, sosialisasi, serta mekanisme dan prosedur yang tepat telah menyerahkan proses pengosongan lahan kepada pihak ketiga,” tertulis dalam pernyataan pers Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) Wilayah NTB.

Adi Wijaya, warga sekaligus pengelola warung makan di kawasan tersebut, menyatakan bahwa tanah warisan keluarganya belum pernah dibebaskan, meski ITDC mengklaim lahan tersebut sudah masuk dalam HPL mereka. “Tanah Orang Tua Saya tidak pernah dibebaskan, tapi ITDC selalu mengklaim tanah Kami clean and clear dan sudah dimasukkan dalam HPL mereka,” ucap Adi.

Ia juga mengaku sering didatangi aparat keamanan serta orang-orang tidak dikenal pada malam hari. “Cara-cara seperti ini dulu sering dilakukan untuk menakut-nakuti warga agar hilang rasa aman dan nyaman, hingga ‘seolah-olah pergi dengan sendirinya secara sukarela’,” jelasnya.

Kartini, pengelola kafe di kawasan pesisir, turut menyampaikan keresahannya. “Jika orang asing boleh berusaha di sini, kenapa kami tidak? Padahal kami juga memiliki izin dan membayar pajak usaha kepada pemerintah daerah Kabupaten Lombok Tengah,” ungkap Kartini. Ia juga mengatakan, “Berkali-kali petugas ITDC bersama aparat keamanan mendatangi Saya, menyampaikan bahwa kami akan digusur.”

Pernyataan tegas juga disampaikan Habibi, SH., kuasa hukum dari Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH NTB). Menurutnya, terdapat dua masalah pokok di wilayah ini: konflik lahan yang belum terselesaikan dan pengabaian hak sosial-ekonomi warga terdampak.

“Dalam proses pembebasan lahan di seluruh kawasan ini, tidak pernah dijalankan secara adil dan transparan, sehingga banyak menyisakan masalah yang selalu dijawab oleh ITDC dengan ‘clean and clear’, padahal belum tuntas,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penggusuran atau pembebasan lahan hanya boleh dilakukan oleh pemerintah daerah atau PT. Injourney Tourism Development Corporation (TDC), bukan oleh pihak ketiga atau investor. “Tidak boleh ada pihak lain selain pemerintah, terutama Pemerintah Daerah dan ITDC melakukan land clearing terhadap tanah yang diklaim sebagai HPL ITDC,” tambah Habibi.

KPPII NTB menilai, pola intimidatif, tidak transparan, dan tidak adil masih terus digunakan ITDC dalam proyek pembangunan di KEK Mandalika. Mereka mendesak agar forum terbuka segera diselenggarakan, ruang dialog dibuka, dan hak-hak warga dipulihkan.

(rfi)

PKL Mahasiswa Sosiologi Unram di BNNP NTB: Sebuah Pengabdian dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba

0

oleh: Mahasiswa PKL Prodi Sosiologi Unram Penempatan BNNP NTB

Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Mataram (Unram) menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di Nusa Tenggara Barat melalui kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan bersama Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) NTB pada pertengahan tahun 2025.

PKL ini menjadi ruang belajar sekaligus kontribusi sosial bagi mahasiswa dalam menerapkan ilmu sosiologi secara langsung. Selama penempatan, mahasiswa tidak hanya bekerja di balik meja, tetapi terlibat aktif dalam berbagai program kerja BNNP NTB, mulai dari penyuluhan ke sekolah dan kampus, pengumpulan data lapangan, hingga mendampingi proses rehabilitasi berbasis komunitas.

Salah satu fokus utama dari keterlibatan mahasiswa adalah mendukung pelaksanaan program Desa Bersinar (Bersih Narkoba), sebuah inisiatif BNN yang bertujuan membentuk ketahanan sosial masyarakat terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan edukatif, partisipatif, dan berbasis komunitas.

Koordinator PKL dari pihak BNNP NTB menyampaikan bahwa kehadiran mahasiswa membawa energi baru dalam pendekatan sosial yang diterapkan selama ini. Pengetahuan mereka dalam membaca dinamika masyarakat dinilai mampu memperkaya metode intervensi yang lebih menyentuh aspek sosial dan kultural, bukan sekadar pendekatan hukum semata.

“Mahasiswa memiliki cara pandang sosiologis yang dibutuhkan untuk memahami akar masalah peredaran narkoba di masyarakat. Mereka menjadi mitra strategis dalam mendorong perubahan perilaku sosial,” ujar salah satu koordinator program.

Dari sisi mahasiswa, keterlibatan dalam kegiatan ini dianggap sebagai pengalaman belajar yang tidak ternilai. Mereka dapat melihat langsung bagaimana praktik kelembagaan seperti BNN bekerja dalam membangun ketahanan sosial, serta memahami betapa kompleksnya persoalan narkotika jika dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan.

Kegiatan ini juga menjadi bukti pentingnya sinergi antara dunia pendidikan dan institusi negara dalam menyelesaikan persoalan sosial. Dengan dukungan mahasiswa sebagai bagian dari kekuatan intelektual muda, BNNP NTB berharap dapat memperkuat gerakan masif yang berakar dari kesadaran kolektif masyarakat.

Melalui kolaborasi ini, mahasiswa Sosiologi Unram tidak hanya menjalankan tugas akademik, tetapi juga turut menjadi bagian dari upaya membangun NTB yang lebih sehat, kuat, dan bebas dari ancaman narkoba.

Mahasiswa Sosiologi UNRAM Laksanakan PKL di Kemenkum: Edukasi Hukum untuk Masyarakat NTB

0

oleh: Mahasiswa PKL Prodi Sosiologi Unram Penempatan Kemenkum

Mahasiswa Program Studi Ilmu Sosiologi Universitas Mataram telah melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di lingkungan Kementerian Hukum (Kemenkum) sejak tanggal 21 Januari hingga 25 Februari 2025. Kegiatan ini berlangsung di bawah pembinaan langsung dari pembimbing lapangan Kemenkum dan berfokus pada program edukasi hukum, sosialisasi, dan penyuluhan kepada masyarakat..

Dalam pelaksanaannya, para mahasiswa berperan sebagai agen edukatif yang aktif menyampaikan materi hukum kepada kelompok sasaran. Penyampaian dilakukan melalui berbagai metode, seperti ceramah, diskusi terbuka, serta pembagian media edukatif berupa brosur, leaflet, dan infografis. Materi yang dibawakan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, mencakup topik-topik hukum yang relevan dan aktual.

Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan ini dilaksanakan di berbagai lokasi, termasuk lingkungan kampus, desa binaan, serta beberapa titik yang menjadi sasaran Pos Bantuan Hukum Desa di wilayah Nusa Tenggara Barat. Mahasiswa juga turut serta dalam kegiatan promosi hukum melalui media sosial dan seminar sebagai upaya memperluas jangkauan edukasi hukum kepada publik.

Seluruh rangkaian kegiatan terdokumentasikan secara lengkap dalam bentuk foto, video, serta catatan kegiatan, yang akan dilampirkan dalam laporan akhir PKL sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus dokumentasi resmi.

Kegiatan ini tidak hanya memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa dalam praktik edukasi hukum, tetapi juga menjadi bagian dari kontribusi nyata Universitas Mataram dalam mendukung peningkatan literasi hukum masyarakat melalui kolaborasi strategis bersama Kemenkumham RI.

Mahasiswa Sosiologi Universitas Mataram Laksanakan PKL di Bawaslu NTB

0

oleh: Mahasiswa PKL Prodi Sosiologi Penempatan Bawaslu NTB

Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Mataram telah melaksanakan Praktik Kuliah Lapangan (PKL) di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Nusa Tenggara Barat (17/2). Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman langsung kepada mahasiswa mengenai dinamika pengawasan pascapemilu, sekaligus menggali tantangan-tantangan yang dihadapi lembaga pengawas dalam menjaga integritas demokrasi di daerah.

Selama pelaksanaan PKL, mahasiswa terlibat aktif dalam berbagai kegiatan kelembagaan seperti penginputan data pelanggaran, pendampingan rapat evaluasi, hingga dokumentasi rapat koordinasi antar lembaga. Melalui pendekatan observatif dan partisipatif, mahasiswa memperoleh pemahaman mendalam mengenai peran Bawaslu dalam menangani sengketa hasil pemilu, menjaga netralitas aparatur negara, serta mencegah potensi konflik politik di masyarakat.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tantangan pengawasan pascapemilu di NTB cukup kompleks, mulai dari lemahnya penegakan sanksi terhadap pelanggaran ASN, rendahnya literasi politik masyarakat, hingga kendala koordinasi antar instansi. Kendati demikian, Bawaslu NTB terus berupaya meningkatkan efektivitas pengawasan melalui kerja sama lintas sektor, penguatan fungsi kehumasan, dan pemanfaatan teknologi informasi.

Praktik lapangan ini juga menumbuhkan kesadaran mahasiswa akan pentingnya pengawasan partisipatif dan kolaborasi antarlembaga dalam menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis. Pengalaman ini memperkaya wawasan akademik sekaligus mengasah sensitivitas sosial mahasiswa terhadap isu-isu strategis dalam demokrasi elektoral.

Kegiatan PKL ini merupakan wujud pengabdian mahasiswa kepada masyarakat serta menjadi langkah konkret dalam membangun kapasitas generasi muda sebagai pengawal demokrasi masa depan.