29.8 C
Mataram
Monday, October 7, 2024
spot_img

Pembungkaman dan Rasisme Bangsa yang Mendarah Daging 

Seperti kata pepatah “Bisa karena terbiasa dan terbiasa karena kebiasaan.” Pembungkaman yang dialami bangsa Papua selama ini merupakan produk dari rasisme yang dibentuk sedemikian rupa.

Sejujurnya saya lahir dan tumbuh di atas kekerasan operasi militer, penindasan, perbudakan, rasisme, diskriminasi, pemerkosaan, penghisapan, pembantaian, pembungkaman dan pembunuhan.

Di tahun 2014, saat ditahan oleh aksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Holandia Jayapura West Papua, saya bersama bersama tahanan lainnya direndahkan martabat kami, diinjak kepala kami serta ditodongkan kepada kami senjata beserta ucapan seperti “Kalian m*ny*t, b*b*, anj*ng, hitam, tidak pernah mandi,” dan kemudian dibukalah pakaian kami.

Saat kami meminta tolong atas nama Tuhan Yesus maka  aparatur negara berujar “Tuhan Yesus sudah disalibkan dan sudah mati bagaimana mau menolong kalian para m*ny*t,” ujar TNI-POLRI dan Brimob di depan kantor Brimob Kota Raja Jayapura Papua.

Kami dilarang berbicara, menggunakan bahasa daerah, bahkan untuk makan dan minum. Inilah pembungkaman secara permanen dan terstruktur oleh bangsa kolonial indonesia.

Saat menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), di SMA NEGERI 4 SINGARAJA BALI. Disinilah, saya benar-benar merasakan diskriminasi dan rasisme yang luar biasa oleh guru-guru dan oleh teman-teman sekolah. Di saat bersamaan pula jiwa pemberontak saya lahir untuk melawan diskriminasi, rasisme dan pembungkaman bangsa Indonesia.

Beberapa hal yang saya alami disekolah diantaranya dilarang membicarakan tentang bangsa West Papua, tidak diloloskan Patroli Keamanan Sekolah (PKS), dengan alasan bahwa saya primitif, bodoh dan anak kampung. Saat mencalonkan diri sebagai Ketua Osis pun saya tidak terima dengan alasan yang sama.

Saat saya kritisi terkait sejarah trikora, maka guru  dan teman-teman marah dan berkata “Jangan membicarakan masalah masa lalu, kamu sudah dibiayai oleh negara indonesia.” Tidak ada seorang teman maupun guru-guru yang senang dengan saya, namun saya tetap konsisten dan berteguh pada keyakinan saya.

Contoh lain dari diskriminasi dan rasisme yang saya dapatkan dan lahir dari sekolah kolonial Indonesia adalah kerja kelompok, tidak pernah ada yang ingin bekerjasama dengan saya, tidak pernah duduk disatu meja, tidak pernah ada yang memakan sisa makanan dan minuman saya.

Lebih baik saya menjadi hantu bagi Negara Kolonial Indonesia daripada menjadi manusia tapi di Negara Indonesia yang menganggap saya m*ny*t, anj*ng dan b*b* sekalipun.

Lebih baik dimusuhi dan tidak punya teman karena membela kebenaran, keadilan dan membela harkat dan martabat manusia daripada disukai oleh negara serta memiliki banyak teman karena hanya ingin menjadi budak abadi.

Lebih baik hancur, ditangkap, dipenjarakan dan dibunuh dalam perlawanan untuk mempertahankan harga diri, harkat dan martabat manusia daripada kita diam tapi ditindas, diperbudak dan dibunuh oleh militer Indonesia sampai HABIS.

Setelah menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Mataram (Unram), ternyata pembungkaman ruang demokrasi, serta diskriminasi dan rasisme dipelihara dan dilindungi oleh para dosen dan para mahasiswa yang buta sejarah, buta kebenaran dan buta keadilan.

Semester satu, saya pernah mendapat sebuah ancaman oleh seorang dosen. Beliau berkata “Barangsiapa yang membicarakan tentang pelanggaran HAM di West Papua di kelas saya, maka saya (dosen) tidak akan memberikan nilai,” namun saya respon dengan santai mengatakan “Pak saya bukan mencari nilai tetapi yang saya cari adalah pengalaman dan ilmu, sebab bagi saya nilai tidak berguna di negara ini.”

Beberapa pertanyaan RASISME yang kerap kali saya dengar adalah:

1. Apakah di Papua ada kereta?

2. Mengapa orang Papua itu kasar dan keras-keras?

3. Raja Ampat itu bagus ya?

4. Orang Papua makan apa? Minum apa? Tidur dimana?

5. Apakah di Papua ada Bank, jalan dan mobil?

6. Freeport bagaimana?

Pertanyaan yang mungkin terlupakan, bagaimana nasib rakyat dan bangsa West Papua dibawah naungan penjajah kita kolonial Indonesia dan bagaimana dengan pelanggaran HAM di West Papua?

Saya akui dan kagumi hanya satu kamrade yang tidak pernah menanyakan keenam pertanyaan diatas, yakni Kelompok Studi Independent (KSI) selanjutnya disebut Pembebasan Kolektif Kota Mataram.

Harus diakui hal itu karena saya sudah akrab dengan mereka, makan dan,minum dengan mereka, bahkan tidur bersama selama satu tahun setengah, tapi mereka tidak pernah bertanya pertanyaan diatas.

Saya hanya melihat teman-teman fokus pada pelanggaran HAM di West Papua, diskriminasi, rasisme, penindasan, pembunuhan, pembungkaman ruang demokrasi dan status politik Papua. pertanyaan mereka adalah seputar bagaimana keadaan rakyat Papua?, bagaimana kondisi Papua? Saya selalu menjawab “Kawan keadaan Papua biasa-biasa saja, tidak pernah berubah dari dulu sampai hari ini.”

Salah satu teman selalu menasihati saya “Perjuangan masih panjang, jadi kawan tetap sabar dan konsisten dan jangan pernah lelah atas penangkapan, intimidasi, teror dan pembunuhan karena itulah konsekuensi seorang pejuang,” ujar kawan KSI.

Disitulah saya mengerti dan tahu bahwa masih banyak orang Indonesia yang  peduli dengan orang West Papua meskipun negara selalu membungkam suara mereka, mendiskriminasi mereka, meneror mereka dan mengancam mereka dengan mengeluarkan mereka dari kampus hanya karena mereka membicarakan kebenaran, keadilan dan tentang kemanusiaan.

Akhir kata, untuk  para mahasiswa Papua yang penjilat dan kompromis sadarlah dan ambil bagian untuk melawan penindasan, rasisme dan diskriminasi, bukan ketika ada rasisme lalu buka mata, buka suara lalu sok peduli dengan bangsamu dan tanahmu Papua. itu namanya bangsa pengemis dan bangsa tidak berdaya atau bangsa budak.

Saya menghormati setiap orang Indonesia sebagai sesama manusia. Tetapi, saya menolak kebijakan penguasa kolonial Indonesia yang rasis dan menindas rakyat dan bangsa Melanesia di West Papua dengan stigma: separatis, makar, monyet, teroris  dan KBB yang rasis.

Lawan pembungkaman ruang demokrasi dan Lawan  RASISME.

Mataram, 28 Juli 2021.

 

Media
Mediahttps://mediaunram.com
MEDIA merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) Universitas Mataram yang bergerak di bidang jurnalistik dan penalaran.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles