28.5 C
Mataram
Friday, September 20, 2024
spot_img

Politik Kampus Membuat Kita Tidak Rasional

Oleh: Muhammad Royyan Fadli

 

Dalam pembicaraan masalah politik, seringkali terjadi perdebatan, khususnya mengenai pilihan calon, kualitas calon, program-program yang diajukan ataupun kebijakan yang telah dijalankan. Sayangnya perdebatan-perdebatan ini seringkali tidak melibatkan rasionalitas, dan lebih mengedepankan sentiment. Perdebatan politik beserta bias didalamnya tak hanya terjadi di level negara, provinsi ataupun kabupaten, melainkan juga di lingkungan kampus.

Mungkin banyak diantara kita yang sering menyaksikan perdebatan dimana kedua belah pihak tidak menerima fakta yang disampaikan satu sama lain, menolak fakta dikarenakan identitas, atau afiliasi dengan kelompok tertentu. Fenomena tersebut seolah bertentangan dengan sifat manusia sebagai makhluk rasional. Namun faktanya, fenomena ini masih seringkali terjadi, pertanyaannya, mengapa?

Sebuah video menarik yang di upload oleh channel youtube yang juga sangat menarik yakni Ted-Ed, yang berjudul “Do Politics Make Us Irrational?”, yang merupakan visualisasi dari kuliah Jay Van Bavel seorang professor psikologi dari New York University (NYU), mengenai bias otak manusia dalam mengelola dan menginterpretasikan informasi. Video tersebut menjelaskan konsep-konsep seperti Partisanship, disonansi kognitif dan solusi untuk menghadapi bias pemikiran tersebut.

Video tersebut diawali dengan mengutip penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 di Amerika Serikat. Penelitian tersebut melibatkan sekitar 1.111 orang dewasa di Amerika Serikat untuk menguji kemampuan mereka dalam menganalisa data. Dalam soal-soal yang disediakan terdapat soal yang berkaitan dengan “Identitas Politik” dari masyarakat Amerika Serikat seperti “Bagaimana hubungan antara angka kriminalitas dengan UU Gun Control di AS?”, yang menjadi perdebatan yang terpolarisasi dalam masyarakat AS berdasarkan identitas politik mereka (democrat, republican). Sementara soal lainnya dengan tingkat kesulitan yang sama tidak berhubungan dengan identitas politik masyarakat.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan peserta dengan kemampuan matematika yang tinggi cenderung menjawab dengan benar pertanyaan yang tidak berkaitan dengan identitas politik. Sedangkan peserta dengan kemampuan matematika yang juga baik, bahkan tergolong matematikawan handal cenderung menjawab dengan salah pertanyaan yang berkaitan dengan identitas politik jika jawaban yang benar bertentangan dengan political beliefs mereka.

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa identitas seseorang mempengaruhi pikiran mereka dalam memproses dan menginterpretasikan fakta dan data, fenomena ini disebut sebagai partisansihip, yakni suatu preferensi atau bias yang kuat terhadap suatu ide atau kelompok.

Politik, etnis, agama dan nasionalisme termasuk ke dalam bentuk-bentuk dari partisanship. Mengelompokkan diri kedalam suatu komunitas dengan jenis-jenis di atas tentunya suatu hal yang normal dan sehat dalam kehidupan manusia, dikarenakan sifat sosial dari manusia itu sendiri. Berkelompok dalam suatu pemikiran atau komunitas tertentu membentuk identitas dan karenanya manusia cenderung termotivasi untuk mempertahankan atau membela kelompok dan identitas kelompoknya sekaligus membela pemikirannya. Namun hal ini kemudian akan menjadi masalah apabila yang dipercayai oleh suatu kelompok bertentangan dengan kenyataan.

Dalam video tersebut diberikan analogi yang sangat representatif mengenai fenomena ini;
“Jika anda menonton tim olahraga favorit anda dan anda melihat tim anda melakukan pelanggaran yang serius, anda tahu bahwa itu melanggar peraturan, tetapi teman-teman anda sesama penggemar dari tim tersebut berpikir bahwa pelanggaran tersebut dapat diterima, oleh sebab itu anda bisa jadi mulai menyalahkan wasit, menuduh tim lawan melakukan pelanggaran lebih dulu, bahkan meyakinkan diri anda sendiri bahwa tidak ada pelanggaran sama sekali”.

Pergulatan “anda” dalam analogi diatas disebut “disonansi kognitif”. Disonansi kognitif sendiri adalah teori yang dipopulerkan oleh Leon Festinger, psikolog sosial yang terkenal dan berpengaruh dalam sejarah psikologi sosial. Disonansi kognitif dideskripsikan sebagai suatu kondisi membingungkan yang terjadi ketika individu menemukan diri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang diyakini.

Disonansi tersebut menimbulkan ketegangan psikologis yang berujung pada ketidaknyamanan. Maka dari itu, untuk mengurangi hal tersebut individu akan mencari informasi yang konsonan dengan keyakinan atau sikap diri mereka dalam melakukan pemilahan terhadap informasi maupun situasi yang sama dan sejalan dengan sikap mereka serta menolak atau menghindari semua materi informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau sikap mereka (Hutagalung, 2016).

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, ketika kita dihadapkan pada situasi dimana fakta bertentangan dengan identitas dan keyakinan kita, ataupun bertentangan dengan posisi dari kelompok dimana kita berafiliasi, “kita cenderung mencari pembenaran, mencari informasi yang sesuai dengan keyakinan atau sikap dari kelompok afiliasi kita dan menolak serta menghindari semua materi informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau sikap kelompok kita”. Disonansi kognitif seringkali membuat kita lebih mengutamakan relasi kita dengan kelompok dibandingkan memandang permasalahan secara objektif, akurat, dan faktual.

Fenomena disonansi kognitif ini sangat relevan dengan yang terjadi di kampus kita akhir-akhir ini, tepatnya mengenai unggahan ucapan selamat kepada Ketua dan Sekjend BEM Prodi di bawah Rektor “terpilih”, dan aklamasi dari calon Ketua dan Sekjend BEM Universitas, yang keduanya memancing reaksi masyarakat Unram. Unggahan ucapan selamat kepada Ketua dan Sekjend BEM Prodi di bawah Rektor “terpilih” menghebohkan masyarakat tiga prodi, yang tidak tahu menahu mengenai pemilihan tersebut, bahkan Ketua Himpunan Mahasiswa masing-masing prodi mengaku sama sekali tidak mengetahui tentang pemilihan tersebut.

Pihak yang pro maupun kontra dengan “terpilih”nya Ketua dan Sekjend tersebut masing-masing mempertahankan argumentasinya. Namun, tidakkah terlihat berat sebelah? Kita seringkali mendengar mengenai “kampus miniatur negara” dan kalimat yang semisal dengannya, penerapan lembaga Eksekutif dan Legislatif di kampus tidak lain adalah untuk mewujudkan demokrasi di lingkungan kampus, sebagai duplikasi dari sistem demokrasi yang telah berjalan dalam kehidupan bernegara kita. Lantas bagaimana calon yang tidak didukung bahkan tidak diketahui pencalonannya dapat dikatakan mewakili sistem demokrasi yang berusaha diterapkan di lingkungan kampus? Secara filosofis, sangat bertentangan, namun tetap menghadirkan dukungan dengan segala argumentasi.

Fenomena kedua juga tidak kalah menghebohkan, aklamasi dari satu calon menghadirkan gelombang protes di sosial media bahkan berujung pada aksi demonstrasi. Jika dikerucutkan (sebatas pengetahuan penulis), inti dari polemik ini adalah pada penafsiran mengenai kata LKMM di salah satu peraturan DPM, Penanggung Jawab Sementara (PJS) Sulaiman Perawira Sasakadi yang ditugaskan oleh ketua DPM Unram menafsirkan LKMM sebagai Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa.

Sedangkan, pada UU Pemira tertulis Latihan Kepemimpinan Manajemen Organisasi, dan pada Petunjuk Teknis Penyelenggaraan tertulis Latihan Kepemimpinan saja, bahkan pada Peraturan Rektor terbaru, pasal 4 poin b sama sekali tidak menyebutkan LKMM secara spesifik, melainkan hanya latihan kepemimpinan/pendidikan dasar yang diadakan oleh Universitas, Fakultas atau organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan lainnya yang dibuktikan dengan sertifikat.

Penunjukkan Sulaiman Prawira Sasakadi sendiri sebagai PJS bukannya tanpa kontroversi, penunjukkannya diklaim tidak menggunakan surat tugas, dan tanpa kesepakatan anggota DPM Unram. Penunjukkan ini adalah perintah langsung dari Ketua DPM Unram Muhammad Al-Fajar, yang mana tindakan ini dianggap sebagai tindakan yang tidak demokratis oleh beberapa anggota DPM lainnya, sehingga akhirnya menghadirkan gugatan yang ditandatangani beberapa BPH dari DPM Universitas sendiri.

Penafsiran dari PJS DPMU ini sendiri pada akhirnya berujung pada diskualifikasi dua calon lainnya, dan menyisakan pasangan calon Wahyu Adi Guna dan Galuh Savitri Maharani sebagai satu-satunya calon yang lolos dalam persyaratan administrasi. Pihak yang pro dan kontra dengan kebijakan ini mempertahankan posisinya dengan argumentasi masing-masing, yang cenderung terlihat berat sebelah.

Menurut pandangan penulis, proses penunjukan PJS yang tidak melibatkan dan mendapatkan persetujuan dari anggota DPMU serta penafsiran yang tidak melibatkan anggota DPMU merupakan tindakan yang melanggar prinsip perwakilan dari lembaga DPM sendiri. Karena sejatinya setiap anggota DPM mewakili suara mahasiswa dari dapil mereka masing-masing, sehingga mengabaikan suara anggota DPM sama dengan mengabaikan suara semua mahasiswa yang mereka wakili, terlebih lagi para dewan yang duduk menjadi anggota DPM tahun ini merupakan mereka yang “dipilih langsung” oleh mahasiswa. Sehingga suara mereka tidak dapat diabaikan dan digantikan oleh penunjukan secara sepihak oleh ketua DPMU saja.

Mengabaikan suara para anggota DPMU yang dipilih mahasiswa adalah tindakan mengamputasi demokrasi yang notabene hanya atas dasar demokrasi inilah semua lembaga pelaksana dan pendukung demokrasi kampus dibentuk, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, komisi pemilihan, badan pengawas dan lain sebagainya. Lantas apa artinya segala proses untuk penentuan nahkoda lembaga eksekutif jika dalam prakteknya tidak mengiraukan suara para “wakil rakyat” yang sama saja mengabaikan suara mahasiswa yang diwakilinya?.

Politik kampus sangat amat harus untuk lebih berkualitas dari politik Desa, Kecamatan, Kabupaten maupun Provinsi, bahkan Negara. Mengapa? Karena rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia adalah 7,6 tahun, alias tidak lulus SMP, sedangkan masyarakat kampus, 100 persennya adalah lulusan SMA sederajat, bagaimana kita akan rela perpolitikan dari masyarakat yang 100 persennya lulusan SMA sederajat ini akan sama dengan yang rata-ratanya tidak lulus SMP?

Lantas apa gunanya pendidikan jika kualitas perpolitikan kita sama saja, dengan beragam siasat untuk menggapai jabatan, amat jauh dari kontestasi berbasiskan gagasan. Segala kesimpulan kembali kepada pembaca. Apakah politik kampus kian tidak rasional? Apakah keputusan-keputusan pejabat pemilu kampus sudah rasional? Apakah membelanya akan menjadi tindakan yang rasional atau hanya karena disonansi kognitif pihak pembela membela mati-matian demi kesamaan dan bertahannya relasi yang baik dengan kelompok afiliasinya?

Silahkan pembaca simpulkan sendiri, karena saya bisa saja bias. Tapi setidaknya saya mengakui bahwa saya bisa bias, saya tidak lepas dari kecacatan logika, bukannya membela mati-matian hanya karena kelompok. Semoga kedepannya politik kampus kita akan lebih berkualitas dan menjadi kontestasi berbasis ide bukan berbasis kelompok. (*)

 

Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional (HI).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

20,000FansLike
1,930FollowersFollow
35,000FollowersFollow

Latest Articles