Oleh: Suhaebatul Islammiyah
Isu mengenai tenaga kerja perempuan menjadi isu yang sering disoroti hingga saat ini. Dalam berbagai tulisan, tenaga kerja perempuan memiliki risiko mengalami ketimpangan lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja laki-laki. Isu ketimpangan gender ini telah banyak di bahas oleh berbagai negara, baik itu negara maju maupun berkembang.
Jika menilik pada sejarah yang ada, terlebih di Indonesia, perempuan seringkali diposisikan di bawah kaum laki-laki. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor pengikat dan pengungkung bagi kaum perempuan, diantaranya pengaruh budaya, adat istiadat hingga agama.
Budaya konservatif menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap dari berbagai aspek kelembagaan masyarakat, terutama di lembaga keluarga yang seyogyanya menjadi lembaga paling inti dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Di dalam lembaga keluarga yang konservatif, perempuan yang diposisikan sebagai pelengkap, hanya mampu mengakses ranah domestic di dalam lingkungan keluarga. Ketika perempuan memiliki kemampuan melampaui kaum laki-laki maka ia dianggap telah melampaui kodratnya sebagai perempuan.
Namun sebagaimana layaknya kepahitan, selalu ada rasa manis yang menjadi penawar di dalamnya. Berbagai ketimpangan tersebut menjadi alasan bagi orang-orang yang berpikir untuk akhirnya berupaya melawan pembodohan peran dan bias gender yang terjadi di dalam masyarakat luas.
Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) menjadi tonggak pergerakan kaum perempuan khususnya di Indonesia. Keterlibatan perempuan mulai diperhitungkan sebagai sesuatu yang memang harus ditegakkan dan dijamin dalam masyarakat luas. Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja menjadi salah satu isu sangat rentan dengan ketimpangan dan diskriminasi, terlebih di negara berkembang seperti Indonesia.
Berdasarkan pemaparan kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto pada Februari 2020, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia mencapai 54,06%. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja mulai diperhitungkan dan menjadi sesuatu yang diperhatikan. Namun, apakah kondisi ini sejalan dengan pemenuhan hak-hak terhadap tenaga kerja perempuan yang ada?
Pasalnya pada 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa tenaga kerja perempuan mendapatkan gaji lebih rendah 23% dibandingkan tenaga kerja laki-laki. Fakta tersebut menunjukkan bagaimana perempuan mengalami ketimpangan sebagai tenaga kerja bahkan dari segi upah yang di terima.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, diantaranya ketersediaan sektor yang bisa diakses perempuan lebih banyak menempati posisi dengan upah rendah. Selain itu akses terhadap posisi di dunia kerja yang sangat minim terutama di pekerjaan formal menunjukkan bagaimana realitas dunia kerja terhadap perempuan.
Teori Penindasan Struktural mengakui penindasan berasal dari fakta bahwa beberapa kelompok orang mengambil manfaat langsung dari tindakan, mengontrol, memanfaatkan, menundukkan, dan menindas kelompok lainnya. Teoretisi Penindasan Struktural menganalisis bagaimana kepentingan dalam dominasi diberlakukan melalui struktur sosial.
Melalui aransemen besar yang terus berulang dan selalu muncul di sepanjang sejarah. Para teoritisi ini memfokuskan pada struktur patriarki, kapitalisme, rasisme, dan heteroseksisme. Serta menempatkan pelaksanaan dominasi dan pengalaman penindasan dalam interplay dari struktur-struktur tersebut, yakni dalam cara di mana mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya ( Ritzer, 2014).
Keterbatasan akses akibat adanya pembatasan posisi perempuan di dunia kerja merupakan sebuah ketentuan yang harus diperbaiki dan dipertegas, mengingat hal ini menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan ketimpangan upah antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan.
Disbanding mengklasifikasi secara struktural mengenai ranah yang bisa dimasuki oleh perempuan di dalam dunia kerja. Alangkah baiknya, tenaga kerja diseleksi sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas tanpa adanya bias gender di dalam seleksi tersebut.
Oleh karena itu, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan harus memiliki akses yang sama terhadap posisi di ranah formal. Selama seseorang memiliki kompetensi yang baik maka ia berhak mendapatkan posisi di dalam dunia kerja.
Pada dasarnya sistem sosial yang ideal harus mampu menjamin kesejahteraan setiap lapisan masyarakat tanpa ada pihak yang merasa tertindas dan dirugikan oleh sebuah regulasi. Karena sejatinya kesejahteraan dan keadilan merupakan hak mutlak bagi setiap individu dalam suatu bangsa.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Prodi Sosiologi 2017 Universitas Mataram.