Oleh: Kelompok Pemerhati Sosial (KPS) FHISIP Unram
Akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan tentang penerimaan anggota polri melalui jalur santri pondok pesantren, rekrutmen ini menjadi salah satu program prioritas dari Kepolisian Rrepublik Indonesia, mereka menilai bahwa orang yang masuk melalui jalur ini memiliki pendidikan keimanan, moral dan etika yang baik serta memiliki kematangan di dalam karakter kesehariannya sehingga diharapkan polisi yang memiliki latar belakang sebagi santri kuat menghadapi berbagai godaan dalam bertugas.
Program ini sejatinya bukan merupakan suatu inisiatif yang baru, melainkan telah dilaksanakan sejak tahun 2021. Pada tahun pertama, program ini berhasil merekrut sebanyak 84 orang, yang kemudian diikuti oleh 55 rekrutmen pada tahun 2022. Tren rekrutmen kembali meningkat pada tahun 2023 dengan total 74 orang yang bergabung, sementara pada tahun 2024 jumlah rekrutmen mencapai 52 orang. Hal ini menunjukkan bahwa program ini telah berjalan secara berkelanjutan selama beberapa tahun terakhir dengan jumlah peserta yang fluktuatif setiap tahunnya.
Pada tahun 2025 program ini kembali dilanjutkan di razim pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dimana program ini merupakan suatu upaya dari pemerintah dalam menangani permasalahan dari moralitas aparat penegak hukum (POLRI) yang selam ini diragukan. Hal demikian selaras dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Bapak Listyo Sigit Prabowo, bahwa “Rekrutmen jalur santri ini menjadi salah satu program prioritas di kepolisian, karena kita ingin punya polisi-polisi yang tidak hanya paham tentang ilmu kepolisian, namun juga memiliki kematangan di dalam karakter kesehariannya,”. Dengan menjalankan program ini kepolisian berharap dapat mebentuk karakter anggota kepolisian yang baik agar dapat menjalankan fungsinya sebagaimana yang diamantkan oleh Undang-Undang, mengingat beberapa waktu belakangan muncul berbagai kasus yang menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Tetapi ternyata bahkan semenjak kebijakan ini mulai diterapkan pada tahun 2021 masih banyak terjadi kasus serupa yang menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap kepolisian. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat bahwa sepanjang tahun 2019-2023 POLRI menempati peringkat paling atas sebagai institusi paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manausia). Lebih lanjut kondisi serupa juga dapat dilihat dalam laporan tahunan Ombudsman RI dalam rentang 4 (empat) tahun terakhir dari tahun 2020-2023, bahwa institusi kepolisisan konsistem menempati posisi teratas sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan, dengan rincian perilaku seperti pelayanan publik yang buruk, penyalahgunaan wewenang, dugaan korpusi, perlakuan diskriminatif, hingga penggunaan diskresi yang keliru. selain itu berdasarkan hasil survei tingkat kepercayaan masyarakat indonesia terhadap istitusi penegakan hukum yang dilakuakn oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 bahwa kepolisian menempati tempat terendah dengan perolehan 64%. Berbagai data dan deretan temua tersebut menempatkan polri sebagai institusi yang memiliki masalah besar.
Dengan data-data tersebut juga telah menggambarkan bahwa permasalahan kepolisian bukan hanya soal moralitas aparatnya, tetapi ada masalah yang jauh lebih besar dan sistemik di dalam Institusi Kepolisian itu sendiri. Hal demikian sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Koalisi Reformasi Sektor Kemanan Pada tahun 2021, bahwa masalah-masalah tersebut terus muncul karena adanya pengabaian terhadap masalah yang struktural, yang penyelesainnya tidak cukup hanya menggunakan pendekatan kasuistik, apalagai hanya dengan melakukan rekruitmen dengan memprioritaskan santri sebagai calon anggota dengan harapan punya kompas moral yang jauh lebih baik dari kelas lainnya, malahan sebenarnya kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya diskriminasi berbasis agama, sebab santri identik dengan pemeluk agama islam, maka timbul pertanyaan bagaimana dengan pemeluk agama lain?, apakah mereka tidak diprioritaskan juga, padahal hampir bisa dipastikan seluruh agama mengajarkan kebaikan kepada umatnya, maka dengan begitu program tersebut tidak menjawab persoalan. Padahal orang yang suci sekalipun dapat menjadi jahat ketika berada dilingkungan yang rusak.
Harusnya kalau memang serius untuk memperbaiki institusi kepolisian maka perlu dilakukan reformasi kelembagaan kepolisian secara menyeluruh melalui revisi Undang Undang kepolisian sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah selama ini. Melalui revisi ini hendaknya dilakukan beberapa perubahan diantaranya memperkuat mekanisme pengawasan eksternal yang tertugas melakukan penindakan terhadap oknum kepolisisan yang melakukan pelanggaran, mempertegas larangan anggota kepolisian yang merangkap jabatan. Selain itu Koalisi Reformasi Sektor Kemanan menegaskan bahwa langkah tersebut tidak hanya berhenti pada reformasi regulasi, tetapi juga struktural dan kultural, agar Institusi Kepolisian kembali menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.