Oleh: Ledang Surya Putra
Vonis Harvey Moeis adalah tamparan yang terlalu keras untuk diredam, sebuah ironi getir yang menguliti wajah hukum negeri ini. Dalam ruang sidang yang konon dirancang untuk mendistribusikan keadilan, justru muncul kejanggalan yang sulit diterima akal sehat. Hukuman 6,5 tahun untuk kerugian negara sebesar Rp 300 triliun (CNBC Indonesia, 2024) adalah sebuah satire yang lebih tajam dari sarkasme apapun. Bagaimana mungkin, angka fantastis yang bisa mengentaskan kemiskinan, membangun ribuan sekolah, atau memperbaiki infrastruktur hancur begitu saja dianggap setara dengan masa hukuman yang tak cukup untuk menebus satu dekade kesengsaraan rakyat? Keputusan ini lebih mirip parodi hukum (hukum yang seperti pedang tumpul untuk elit, tetapi tajam untuk mereka yang tak punya kuasa). Vonis ini tak logis, menyentak keadilan, demikian Mahfud (dalam CNN Indonesia, 2024).
Kasus Moeis bukan sekadar soal angka Rp 300 triliun, melainkan adalah angka yang berteriak, menyuarakan puluhan juta harapan rakyat yang dirampas tanpa ampun. Korupsi sebesar ini tidak sekadar mencuri uang negara, ia menjarah masa depan, melucuti kesempatan anak-anak untuk pendidikan, dan memaksa pasien-pasien miskin menghadap maut di rumah sakit akibat kekurangan fasilitas. Ini menerangkan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan finansial, tetapi juga kejahatan kemanusiaan yang menghancurkan lapisan sosial dari akar hingga pucuk. Apa yang dilakukan Moeis bukanlah sekadar kriminalitas individual, melainkan tragedi kolektif yang kita tanggung bersama. Dan ironisnya, kejahatan sebesar ini diperlakukan seperti pelanggaran kecil dengan hukuman yang, jujur saja, tak jauh beda dengan kasus pencurian ayam di desa-desa.
Lihatlah perbandingannya. Rita Widyasari dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena gratifikasi sebesar Rp 110 miliar (Tempo.co, 2018). Djoko Tjandra, yang membuat heboh dengan skandal Bank Bali, dihukum 4,5 tahun penjara atas kerugian Rp 904 miliar. Eni Maulani Saragih mendekam 6 tahun di balik jeruji besi karena suap senilai Rp 4,750 miliar (Kompas.com, 2020). Dan jangan lupa nenek Asyani di Situbondo, yang dihukum 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta karena mencuri kayu untuk bertahan hidup (CNN Indonesia, 2015). Jika dibandingkan, keputusan atas Harvey Moeis adalah parodi yang tidak lucu, sebuah pembuktian bahwa hukum di negeri ini punya tarif berbeda, tergantung siapa yang duduk di kursi terdakwa, dan tergantung seberapa tinggi kedudukan individu dalam piramida sosial.
Lebih parahnya, vonis ringan seperti ini bukan hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga menciptakan narasi yang berbahaya, bahwa semakin besar kejahatan yang dilakukan, semakin kecil risikonya. Ini terdengar seperti promo besar-besaran yang hanya bisa diperoleh dengan nominal belanja yang besar pula. Jika anda menghitung vonis hukuman (6,5 tahun atau 6,5 x 365 = 2.372,5 hari) dibagi total korupsi (300 t) hasilnya adalah 7,91 hari. Artinya, dalam setiap triliun yang dikorupsi dihukum kurang dari 8 hari. Dengan sistem ini, korupsi skala besar lebih nampak seperti bisnis berisiko rendah alih-alih kejahatan. Realita inilah yang merampas kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Tanpa kepercayaan itu, hukum tidak lebih dari formalitas yang hambar, sebuah panggung sandiwara di mana aktor-aktor yang berkuasa bisa mengatur jalannya cerita. Ini adalah degradasi moral sistemik yang menggerogoti legitimasi negara dari dalam, meninggalkan masyarakat dalam kubangan apatisme yang makin curam.
Apakah kita lupa bahwa Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahkan mengamanatkan hukuman mati untuk korupsi dalam skala besar? Entah karena takut dianggap barbar atau sekadar pura-pura lupa, pasal ini nyaris tak pernah digunakan. Hukuman mati memang masih menjadi perdebatan, namun pesan dari pasal ini menunjukkan ketegasan negara ihwal dampak destruktif tindakan korupsi yang mempertaruhkan kesejahteraan rakyat. Maka, hukuman berat dalam kasus Harvey Moeis menjadi lebih dari sekadar pilihan moral, itu adalah tanggung jawab hukum. Sebab hukum tidak boleh menjadi teks mati melainkan harus tetap hidup dalam nadi keadilan sosial (Rahardjo, 2009).
Bagi mereka yang masih percaya pada prinsip keadilan, hukuman berat bagi Harvey Moeis menjadi kebutuhan mendesak untuk mengembalikan wibawa hukum yang perlahan buram. Misal saja dekaman 50 tahun jeruji sebagaimana ungkapan Prabowo (CNBC Indonesia, 2024), serta pengembalian penuh kerugian negara, akan menjadi langkah konkret untuk memperbaiki sistem. Ini karena beberapa prahara yang telah lahir atau yang akan lahir dapat bermuara dari persoalan kerentanan hukum. Sebagaimana Engkus dkk. (2022), negara dengan sistem hukum lemah akan mengalami degradasi sosial dan ekonomi sebagai dampak potensial yang tidak dapat dihindari.
Pada akhirnya, kasus Harvey Moeis adalah cermin bagi sistem hukum kita. Apakah kita akan membiarkan hukum terus menjadi alat kekuasaan, atau kita akan berjuang untuk menjadikannya sebagai penegak keadilan yang sejati? Keputusan ada di tangan kita semua: hakim, legislator, aktivis, dan rakyat biasa. Sebab, keadilan bukan hanya soal apa yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga tentang keberanian untuk berdiri di sisi yang benar, di tengah arus deras ketidakadilan yang terus menghantam negeri ini.