oleh: Ahmad Badawi
Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa arah pembangunan nasional semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial, terutama bagi kelompok masyarakat rentan seperti mahasiswa, kaum tani, dan masyarakat miskin di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan yang diklaim berpihak kepada rakyat ternyata seringkali menjadi instrumen baru untuk memperkuat dominasi kekuasaan negara dan korporasi atas ruang hidup rakyat. Dua sektor penting—pendidikan dan agraria—mengalami tekanan struktural yang menunjukkan wajah asli dari pembangunan nasional: eksploitatif, eksklusif, dan anti-partisipatif.
Pendidikan yang Dikomersialisasi, Mahasiswa yang Direpresi
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Prabowo-Gibran menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengelolaan konflik agraria di daerah-daerah pinggiran seperti Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemerintahan ini dibuka dengan kebijakan pengetatan anggaran (fiscal tightening) di sektor pendidikan yang berdampak langsung terhadap mahasiswa dan pelajar Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah pemotongan drastis terhadap anggaran pendidikan tinggi, termasuk Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) sebesar Rp711 miliar. Bahkan, sebagian anggaran pendidikan dialihkan untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG), meskipun efektivitas dan prioritas program tersebut masih dipertanyakan dalam konteks krisis pendidikan (Kompas, 2025).
Alih-alih memperkuat pendidikan publik, pemerintah justru memperdalam praktik privatisasi dan komersialisasi pendidikan, seperti terlihat dalam pembangunan Sekolah Rakyat dan SMA Garuda yang cenderung eksklusif dan tidak merata dalam akses. Kebijakan ini memperparah ketimpangan pendidikan dan mengabaikan kebutuhan struktural sekolah-sekolah di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), termasuk NTB. Investasi besar pada infrastruktur seperti pengadaan laptop dan 330.000 smart board, yang rawan korupsi dan tidak relevan dengan kebutuhan pedagogis lokal, memperlihatkan pendekatan teknokratis yang dangkal.
Ironisnya, di tengah kontroversi Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 dan stagnasi revisi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, alokasi anggaran negara justru lebih berpihak pada pendidikan kedinasan. Tahun 2025, anggaran sekolah kedinasan mencapai Rp104 triliun untuk sekitar 13.000 siswa, sementara pendidikan umum untuk 64 juta pelajar hanya mendapat Rp91,4 triliun (Kemendikbudristek, 2025). Artinya, setiap mahasiswa PTK (pendidikan tinggi kedinasan) mendapat subsidi belasan juta rupiah, sementara mahasiswa PTN hanya sekitar Rp3 juta per orang. Dampaknya dapat terlihat pada Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi yang stagnan di angka 31,45%, mencerminkan bahwa sebagian besar pemuda usia kuliah belum mampu mengakses perguruan tinggi (BPS, 2025). Bagi mereka yang berhasil kuliah pun, belum ada jaminan pekerjaan yang layak, mengingat tingkat pengangguran sarjana masih lebih dari satu juta orang.
Dalam konteks sosial-politik, respons pemerintah terhadap kritik mahasiswa tampak represif. Selama gelombang aksi massa Agustus–September 2025 yang dipicu krisis pendidikan dan ekonomi, lebih dari 5.444 mahasiswa ditangkap, 42 di antaranya dilaporkan mengalami penculikan, dan 11 orang tewas dalam bentrokan di kota-kota besar seperti Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Mataram, dan Sorong. Hingga Oktober 2025, 959 orang—termasuk 295 anak-anak—ditetapkan sebagai tersangka, sementara kasus kekerasan aparat nyaris tak ditindaklanjuti secara hukum. Hal ini diperparah dengan terbitnya Peraturan Kapolri No. 4 Tahun 2025, yang memperluas kewenangan polisi melakukan penangkapan dan penyitaan tanpa izin pengadilan, menandai kemunduran serius terhadap prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi (Data YLBHI, 2025).
Di sisi lain, muncul upaya kooptasi gerakan mahasiswa melalui program LLDIKTI senilai Rp1,9 triliun, yang menyasar pembiayaan riset dan pengabdian masyarakat berbasis proposal dari BEM. Strategi ini dapat dibaca sebagai bentuk soft power co-optation yang bertujuan melemahkan mobilisasi mahasiswa melalui integrasi ke dalam program-program negara yang bersifat simbolik. Wacana seperti “Kampus Berdampak” atau narasi “agent of change” tanpa perubahan struktural hanya mempertegas bahwa pemerintah lebih tertarik pada retorika inklusif ketimbang membenahi akar permasalahan dalam sistem pendidikan nasional (PP FMN, 2025). Situasi ini memperlihatkan bagaimana pemerintah lebih mengutamakan stabilitas politik dan loyalitas birokrasi ketimbang kesejahteraan pendidikan rakyat. Ketika pendidikan tinggi diperlakukan sebagai komoditas, bukan hak warga negara, dan ketika aparat digunakan untuk membungkam kritik ketimbang melindungi kebebasan sipil, maka demokrasi substantif mengalami ancaman serius.
Pembangunan Tanpa Rakyat: Arah Kebijakan Agraria dan Perampasan Ruang Hidup di NTB
Sejalan dengan sektor pendidikan, arah kebijakan pembangunan nasional di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin menjauh dari kepentingan rakyat banyak, khususnya kaum tani dan kelompok masyarakat miskin di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Agenda pembangunan yang secara retoris diklaim berpihak kepada rakyat, seperti program Perhutanan Sosial (PS) dan Proyek Strategis Nasional (PSN), justru kerap menjadi instrumen baru dalam reproduksi ketimpangan agraria dan intensifikasi praktik perampasan tanah (land grabbing). Alih-alih mendorong distribusi keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan UUPA 1960, kebijakan-kebijakan tersebut cenderung memperkuat struktur penguasaan tanah yang bersifat oligarkis dan feodalistik. Berbagai proyek yang dibungkus dengan narasi besar seperti Transisi Energi, Konservasi Lingkungan, Mitigasi Perubahan Iklim, Hilirisasi Tambang, serta implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, secara substantif berperan sebagai legitimasi hukum terhadap proses akumulasi kapital melalui pencaplokan tanah rakyat (Bachriadi & Lucas, 2001; Rachman, 2011). Dalam konteks ini, fungsi sosial tanah sebagai alat produksi dan penopang kesejahteraan kolektif menjadi terabaikan.
Studi Kasus PSN dan Otoritarianisme Pembangunan NTB
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi etalase nyata dari bagaimana proyek-proyek pembangunan nasional—yang diklaim berorientasi pada kesejahteraan rakyat—justru berubah menjadi instrumen perampasan ruang hidup masyarakat. Sejumlah proyek di berbagai wilayah NTB mengindikasikan pola sistemik di mana negara dan korporasi berkoalisi dalam menciptakan bentuk-bentuk baru dari akumulasi kapital melalui perampasan (accumulation by dispossession), sebagaimana dikemukakan oleh Harvey (2005).
- PSN Mandalika dan Meninting
Kasus di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Mandalika dan pembangunan Bendungan Meninting menegaskan bagaimana pembangunan pariwisata justru melahirkan bentuk baru dari kolonisasi ruang hidup. Di Mandalika, lebih dari 2.000 warga dan 186 pedagang kecil—kebanyakan perempuan—kehilangan sumber penghidupan akibat pembatasan ruang ekonomi dan penggusuran paksa oleh PT Injourney Tourism Development Corporation (ITDC) yang menggandeng aparat keamanan swasta. Hal serupa juga mengancam 224 warga di Dusun Ebunut, Muluk, dan Pedau. Proyek yang mestinya mendatangkan kemakmuran ini justru menjadikan warga sebagai objek penggusuran demi estetika dan efisiensi kapital (Data AGRA, 2025). Di Bendungan Meninting, yang terdampak setidaknya ada tiga desa yakni Desa Geria, Desa Gegerung, dan Bukit Tinggi. Alih fungsi hutan dan lahan mengakibatkan kaum tani kini harus dihadapkan dengan krisis air bersih. Perempuan tani di tiga desa tersebut menjadi korban utama; mereka kini harus berhadapan dengan krisis air, kehilangan sumber penghasilan, dan terpaksa menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dengan sistem perlindungan dari negara yang minim (Data SP Mataram, 2025). - Sambelia: Transisi Energi Tanpa Keadilan Sosial
Di Kecamatan Sambelia, konflik agraria mencuat dalam skema perluasan konsesi PT Sadhana Arifnusa dari 1.810 menjadi 2.000 hektar melalui perubahan izin dari Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Proses ini disertai kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap 602 anggota Kelompok Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Sambelia (Data AGRA NTB, 2025). Ironisnya, lahan yang disengketakan tersebut kini direncanakan menjadi lokasi Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk memasok bahan baku co-firing dalam PLTU—bagian dari agenda transisi energi nasional. Sayangnya, transisi ini tidak disertai jaminan terhadap keadilan ekologis dan sosial, melainkan hanya memperluas korporatisasi atas sumber daya alam. - Gunung Rinjani: Komodifikasi Konservasi dan Pengabaian Hukum
Di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), proyek-proyek konservasi telah direduksi menjadi kendaraan kapitalisasi pariwisata, seperti pembangunan kereta gantung, geothermal, glamping, dan sea plane di sekitar Segara Anak. Kondisi ini terjadi bersamaan dengan pengabaian terhadap hak-hak pekerja lokal, seperti porter asal Sembalun yang mayoritas adalah buruh tani tanpa jaminan kerja layak. Di sisi lain, meskipun petani Sembalun telah memenangkan gugatan terhadap PT Sembalun Kusuma Emas atas sengketa 150 hektar lahan HGU, pemerintah tidak kunjung mengeksekusi putusan hukum, menunjukkan lemahnya supremasi hukum di hadapan modal (Data AGRA NTB, 2025). - Korleko: Ekstraktivisme dan Krisis Sosial-Ekologis
Konflik agraria di Desa Korleko memperlihatkan bagaimana proyek tambang Galian C selama lebih dari 13 tahun berdampak luas terhadap kerusakan lingkungan, krisis air, dan degradasi pertanian di sembilan desa sekitar. Selain menimbulkan kerugian ekologis, aktivitas ini turut mengikis identitas budaya masyarakat tani yang kehidupannya selama ini bersandar pada tanah sebagai sumber keberlanjutan hidup. Kasus Korleko menegaskan bahwa ekstraktivisme bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap kedaulatan komunitas lokal (Data Korleko Melawan).
Situasi di atas menjadi cermin satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran tentang bagaimana pembangunan dijalankan tanpa partisipasi bermakna, tanpa keadilan distribusi, dan tanpa penghormatan terhadap hak-hak dasar. Maka, dibutuhkan konsolidasi gerakan rakyat lintas sektor—mahasiswa, petani, buruh, dan masyarakat adat—untuk menuntut keadilan agraria, reforma pendidikan, serta perlindungan ruang hidup. Keadilan sosial hanya dapat tercapai apabila tanah dan pendidikan kembali dipandang sebagai hak rakyat, bukan sebagai sarana eksploitasi oligarki.


